[Nusantara] "Ideas" <ideas@cianjur> : Alternatif Solusi Kemelut Bangsa
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Sep 20 06:12:01 2002
"Ideas" <ideas@cianjur> : Alternatif Solusi Kemelut
Bangsa
Bung Moderator Yth,
Terimakasih atas ajakan Anda untuk bergabung.
Dan selaku penulis-lepas, izinkanlah saya berbagi
usulan proyek di bawah ini. Mudah-mudahan para
anggota milis Nasional lain ada yang tergugah.
Merdeka!
B. Utomo
ANEKA "LOMBA PRESTASI Rp. 1 MILYAR":
Gagasan Program MENSEJAHTERAKAN Bangsa
Oleh: Bambang Utomo - <ideas@cianjur.wasantara.net.id>
DASAR PEMIKIRAN
* "Hasil nyata" dari Gerakan Reformasi di Indonesia
sejauh ini - yang belum
kunjung (untuk tidak menyebutnya menyimpang) dari
tujuan luhurnya semula.
* Masih maraknya berbagai aktivitas negatif di
masyarakat seperti: demo
unjuk rasa yang silih-berganti, adu kepentingan
antarpimpinan kelompok di
pusat disusul adu jotos antarbawahan di daerah, anarki
sosial, konflik SARA,
pelanggaran HAM (+ pengingkaran TAM - Tanggungjawab
Asasi Manusia),
tindak kriminalitas, terorisme, bom, pengerahan massa,
"perang saudara",
politik uang, janji-janji kosong, dan lain sebagainya.
* Kian terpuruknya berbagai aspek kehidupan bangsa,
baik karena kekeliruan
kebijakan pemerintah di masa lalu, penegakan hukum
yang plin-plan sampai
sekarang, praktik KKN yang tetap berlangsung, ditambah
dampak krisis
ekonomi regional maupun global yang terus melanda
dewasa ini.
* Kekhawatiran berbagai pihak dalam menyimak dampak
berbagai krisis
tersebut terhadap kemungkinan disintegrasi atau
terpecah-belahnya keutuhan
dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) di masa depan.
Kemungkinan mana kian didorong oleh konflik
separatisme yang tak
berkesudahan di Aceh, serta potensi gerakan serupa
yang mulai muncul di
beberapa daerah lain.
* Telah diupayakannya aneka-ragam solusi pencegahan
oleh berbagai pihak
di masyarakat. Antara lain lewat ajakan:
Dialog-rembug-silaturahmi-dan--rekonsiliasi
nasional, curah pendapat, pertemuan informal tokoh
nasional kunci, pembentukan
aneka Forum (Rektor, Indonesia Damai), Sidang Istimewa
MPR, pergantian
Presiden dan Wakilnya, penetapan kabinet
"Gotong-Royong", pembentukan
Pansus DPR, Sidang Tahunan MPR sampai maksud
meng-amandemen serta
mengubah UUD 1945 -- dengan atau tanpa pendirian
Komisi Konstitusi.
Seperti kita ketahui, serangkaian upaya tersebut di
atas tidak atau belum
memberi hasil nyata yang diharapkan.
* Perlunya dicari pendekatan alternatif guna
melengkapi (bukan mengganti!)
langkah-langkah solusi tersebut di atas. Suatu
alternatif yang bisa menghasilkan
terobosan inovatif-konstruktif sebagai pelengkap
upaya-upaya korektif-rehabilitatif
yang sudah banyak dilakukan orang sampai sekarang.
Keduanya merupakan
pilihan aktivitas yang sepintas tampak serupa, tapi
sesungguhnya sangat berbeda
dampaknya bagi masyarakat. Betapa pun "suksesnya",
tindakan korektif-rehabilitatif
itu lebih berfungsi menyambung hidup (survival).
Sedangkan langkah inovatif-konstruktif
akan mampu memajukan kesejahteraan (prosperity)
kehidupan bersama. Namun
sayangnya, tradisi berpikir di masyarakat kita
cenderung mendorong orang
memprioritaskan upaya-upaya mempertahankan, ketimbang
memajukan kehidupan.
Ya, bahkan konsep ketahanan nasional yang kita
terapkan sejauh ini pun lebih
berorientasi "membela negara" ketimbang
"mensejahterakan rakyat"....
* Kepercayaan penyusun bahwa betapa pun buruknya sikon
masyarakat kita saat ini,
pasti masih ada orang maupun pihak-pihak yang peduli,
mau dan mampu ikut
menyumbang ke arah memajukan kesejahteraan bangsa.
Namun sayangnya,
"potensi kebaikan" termaksud kalah kuat dibanding
"aktualisasi keburukan" yang
berlangsung di masyarakat. Kenyataan mana menuntut
ditemukannya semacam
strategi dan taktik untuk bisa menyeimbangkan, kalau
mungkin bahkan mem-plus-kan
arus kebaikan sosial di kemudian hari.
* Hasil studi Griya Gagasan (nama Perpustakaan,
Lembaga Studi & Biro Pelatihan
dan Konsultasi yang penyusun kelola) tentang
kecenderungan manusia selaku
"mahluk yang gemar bermain" pada umumnya, serta dampak
hadirnya lomba
sebagai sejenis permainan sosial penting di hampir
semua kebudayaan di dunia.
Artinya, secara subyektif tanpa diselenggarakannya
lomba atau sayembara apa
pun, bisa-bisa saja ada sementara 'oknum' di
masyarakat yang terpanggil untuk
berprestasi di bidang tertentu tanpa pamrih duniawi
hari ini (meskipun bisa jadi
mereka sangat mendambakan "hadiah" di akhirat nanti).
Tetapi secara obyektif
dengan hadirnya lomba berkala, apalagi yang nilai
hadiahnya besar, pasti akan
menarik minat dan keikutsertaan banyak pihak di
masyarakat. Belum lagi
kemungkinan memilih bidang-bidang kehidupan sosial
tertentu, terutama yang
penting-tapi-terabaikan, yang sengaja ingin kita
rekayasa pembudidayannya.
Sejarah penuh bukti, bahwa terselenggaranya tradisi
lomba berhadiah telah
meningkatkan aktivitas dan prestasi masyarakat di
bidang yang bersangkutan - baik
yang para pemenangnya dipertandingkan di suatu tempat
(semisal Olimpiade 4-tahunan)
maupun yang diseleksi dan dinilai secara diam-diam
(seperti halnya Hadiah Nobel
setiap tahun). Memang idealnya, apabila masyarakat
dalam kondisi normal atau sehat,
lomba-lomba pemacu kreativitas demikian tidak mendesak
digalakkan (meskipun kalau
kita simak, begitu banyak tradisi lomba dan sayembara
berhadiah diselenggarakan orang
di negeri-negeri maju). Bahkan mungkin tidaklah
berlebihan untuk menyimak
jumlah-ragam-dan-mutu hadiah yang beredar sebagai
salah satu indikator kemajuan
suatu masyarakat atau bangsa.
* Melihat-memperhatikan-dan-menimbang bahwa pemberian
hadiah kepada mereka
yang berjasa di masyarakat perlu dibudayakan sebagai
semacam upaya "balas budi"
secara sosial. Mengapa? Karena hal sebaliknya,
tindakan "balas dendam" kepada
orang-orang yang bersalah berupa aneka ragam hukuman
(sejak kurungan penjara
sampai kursi listrik!), sudah sejak lama hadir di
masyarakat. Sangat tidak adil, bukan?
Bahkan sementara kalangan masyarakat kita--maupun di
negeri orang--ada yang
masih menempatkan tindakan balas dendam sebagai
tradisi yang patut dijunjung
tinggi (contohnya: "Carok" di Madura, "Siri" di Bugis
atau "Vendetta" di Italia).
Dengan kata lain, kebudayaan telah mendidik kita untuk
menuntut "ganti rugi"
(lengkap berikut "bunganya") atas setiap pengalaman
buruk yang diakibatkan
orang lain kepada kita; sementara semua pengalaman
yang menguntungkan kita serap
habis tanpa kewajiban memberi ganjaran apa pun. Betapa
tidak adilnya! Padahal
andaikan keseimbangan di bidang keadilan sosial
termaksud berlangsung, seluruh
masyarakat juga yang akan menikmati manfaatnya. Karena
itulah, kembali Griya
Gagasan memberanikan diri mencanangkan sebuah
alternatif indikator
kemajuan/kemunduran masyarakat yang bisa sama-sama
kita uji kesahihannya
sebagai berikut:
"Suatu masyarakat akan MAJU apabila tindakan balas
budi yang terjadi
di antara anggotanya lebih banyak daripada praktik
balas-dendam.
Sebaliknya, masyarakat mana akan MUNDUR jika
balas-dendamlah
yang lebih banyak terjadi ketimbang balas-budi".
(Kedermawanan Baru, 1985)
MENGUSULKAN: Menyelenggarakan aneka sayembara atau
lomba berhadiah besar
(diusulkan "Rp 1 Milyar") untuk berbagai bidang
prestasi sosial maupun kemanusiaan
di Indonesia. Adapun prestasi sosial-kemanusiaan yang
dimaksud adalah: segala
kegiatan individu maupun kolektif yang membawa manfaat
bagi kehidupan orang banyak.
Dan semakin besar, luas dan berkelanjutan dampak
manfaat tersebut, kian tinggi pula
nilai prestasi yang bersangkutan -- termasuk jumlah
uang yang layak menyertainya.
BEBERAPA PERSIAPAN YANG DIPERLUKAN:
1. Membentuk Kelompok Studi yang terdiri dari
pemikir-pemikir kreatif serta pakar
ilmuwan lintas disiplin. Fungsinya adalah sebagai
"Think Tank" dan sekaligus
komite-pengarah sejak tahap persiapan, pemilihan jenis
lomba, pengumuman,
pelaksanaan, seleksi pemenang, penganugerahan hadiah
sampai pemantauan hasil
aneka lomba termaksud. Dan demi efektivitasnya,
disarankan agar kelompok pemikir
mana bukan hasil bentukan "dari atas" oleh pemerintah
(seperti pola yang lazim
selama ini), melainkan dimunculkan "dari bawah" --
sebagai wujud kepedulian
pihak-pihak yang berkepentingan di masyarakat.
2. Melestarikan & Merintis Tradisi Lomba. Khusus untuk
tradisi yang sudah ada
(semisal Piala Kalpataru untuk bidang Lingkungan
Hidup, Upakarti di bidang
Industri Kecil atau Adinegoro di bidang jurnalistik,
Citra di bidang
perfilman, dan lain sebagainya); sebaiknya tetap
dilestarikan -- sambil
menambahkan nilai uang yang memadai pada hadiahnya. Di
lain pihak, aneka
lomba baru pun hendaknya segera dirintis -- khususnya
untuk bidang-bidang
penting yang belum punya tradisi hadiah sampai
sekarang. Sekali lagi, sebagai
mahluk yang gemar bermain, tanpa hadiah yang bernilai
ekonomis pun, tentu ada
pihak-pihak yang mau mengikuti "permainan lomba"
semata-mata demi simbol-simbol
psikologik (misalnya sistem kepangkatan) yang
menyertainya. Tapi dengan adanya
hadiah uang besar, pasti jauh lebih banyak lagi mereka
yang akan tergiur
mengikutinya. Dan memang peranserta sebanyak mungkin
pihak di masyarakat
itulah yang menjadi maksud usulan program ini.
3. Dukungan Formal. Agar lebih efektif, berhubung
nilai-nilai feodalisme
yang masih dianut di Indonesia, tentunya program ini
memerlukan dukungan politis
dari pemerintah. Baik secara langsung misalnya lewat
instruksi Presiden kepada
semua Menteri dan kepala daerah agar menggalakkan
serta merintis tradisi lomba
berhadiah di lingkungan departemen/wilayah
masing-masing. Jelas, betapa akan
sangat bermanfaatnya apabila seluruh hirarki
pemerintahan di tanah air berkenan
menteladani dimulainya "Gerakan Balas Budi Sosial"
berupa lomba aneka prestasi
termaksud sesuai lingkup dan skala tugas
masing-masing. Umpamanya: "Hadiah
Rp 1 Milyar" Ibu Presiden dan Bapak Wapres di pusat,
"Hadiah Rp 500 Juta" dari
Gubernur di tiap propinsi, "Hadiah Rp 100 Juta" dari
Bupati di tiap Kabupaten,
"Hadiah Rp 25 Juta" di tiap Kecamatan, Hadiah "Rp 10
Juta" di tiap Kelurahan,
Hadiah Rp 5 Juta di tiap Desa, dst. Untuk mengambil
contoh kemungkinan tersebut
terakhir saja, bisa Anda bayangkan dampak "revolusi
positif" yang bakal terjadi
jika setiap tahunnya terselenggara lebih dari 60.000
lomba berhadiah sesuai
jumlah desa di seluruh tanah air tercinta. Ya, mengapa
tidak?
4. Kesiapan Finansial. Tak kalah penting kiranya
diupayakan tersedianya dana
yang memadai dari berbagai pihak (pemerintah, swasta
maupun badan-badan
internasional) demi keberhasilan program ini. Dan
untuk mencegah hal-hal yang
"diinginkan" (maksud saya yang tidak dinginkan),
sumber dananya tentu bukan
kocek pribadi sang pejabat (kalaupun hal itu
"mungkin"); melainkan dari anggaran
resmi/APBD (bukan pula yang non-budjeter) atau lewat
dana kolektif masyarakat
yang bisa dihimpun (misalnya lewat loterei yang murni
acak berkala; bukan judi
"tebak angka" terselubung!). Dan sekali lagi, sangat
dianjurkan agar hadiah uang
yang disediakan cukup tinggi nilainya agar mampu
serta-merta mengalihkan minat
dan perhatian masyarakat luas mengikuti aneka jenis
lomba termaksud. Lalu
mengapa "Rp 1 Milyar"? Penetapan jumlah tersebut
sebenarnya sekedar simbol
yang dianggap punya makna psikologik "tertinggi" bagi
masyarakat Indonesia
dewasa ini. Buktinya banyak kaum produsen yang memakai
angka sejumlah
tersebut dalam kampanye promosinya, seperti: "Hadiah
Rp 1 Milyar Extra-Joss"
untuk atlet Indonesia peraih Medali Emas Olimpiade
2000 Sidney, "Jepret 1 Milyar
Fujifilm", "Tawa 1 Milyar Ciptadent", "Beasiswa Plus
Rp 1 Milyar So Klin", "Andaikan
Kudapat Satu Milyar Bank HSBC-Visa", dan yang paling
populer belakangan ini
adalah acara "Who Wants To Be A Millionaire-nya Bank
Mandiri" di RCTI. Ya, kalau
beberapa produsen barang dan jasa komersial saja mampu
menyelenggarakannya,
mengapa sebagai bangsa kita tidak? Padahal terbukti
kita sanggup mengeluarkan
Rp 20 Milyar untuk biaya penyelenggaraan sebuah Sidang
Tahunan MPR - terlepas
dari ada tidaknya manfaat konkret yang dihasilkannya.
5. Partisipasi Seluruh Masyarakat. Kunci keberhasilan
program aneka lomba nasional
ini terletak pada peranserta berbagai pihak di
masyarakat. Sebagai pengandaian lain,
alangkah baiknya apabila setiap asosiasi profesi yang
ada di tanah air mau melestarikan
(jika sudah ada) serta merintis (yang belum punya)
lomba prestasi di bidang masing-masing.
Juga betapa akan melegakannya jika semua partai
politik terdaftar di Indonesia terpanggil
mencanangkan sayembara berhadiah di bidang prestasi
kemasyarakatan sesuai visi
serta misinya -- anggaplah sebagai semacam pendidikan
politik "pra-kampanye" menjelang
Pemilu 2004 y.a.d. Di lain pihak, donor-donor asing
(NGO) pun mungkin perlu diimbau
peransertanya dalam menyelenggarakan sayembara
berhadiah sesuai sektor nirlaba pilihan
masing-masing. Percaya atau tidak, paling tidak
mekanisme demikian bisa meminimalkan
(kalaupun belum menghapus) praktik penyalahgunaan
bantuan "gratis" oleh LSM-LSM
domestik yang menjadi badan perantaranya selama ini.
Dan berhubung otomatis akan
dikontrol oleh para pemenangnya, dana program
sayembara itu sangat sulit dikorupsi
dibanding umpamanya proyek menolong korban banjir di
ibukota, bukan?
6. Keterlibatan Pers. Jelas peranan media massa, baik
cetak maupun elektronik, akan sangat
membantu keberhasilan program ini. Namun berhubung
kecenderungan umum di dunia pers
lebih memprioritaskan pemberitaan hal-hal negatif
(sesuai rumus jurnalistik: "Bad news = Good news")
ketimbang informasi positif; maka pada gilirannya
mungkin kampanye aneka lomba yang diusulkan
di sini memerlukan kemampuan pihak penyelenggara
menerbitkan media komunikasinya sendiri
berupa: poster iklan layanan masyarakat,
tabloid/majalah, serial sinetron, sandiwara radio,
media
Internet, dan sebagainya.
KESIMPULAN
Meskipun gagasan intinya telah lama penyusun
pikirkan (Kedermawanan Baru, 1985), urgensi
penyelenggaraan program aneka lomba berhadiah ini
sesegera mungkin lebih didorong keprihatinan
penyusun menyimak betapa timpangnya banjir "energi
destruktif" dibanding aliran "energi
konstruktif" yang beredar di masyarakat kita saat ini.
Jelas, kondisi mana akan berakibat mudah
gagalnya upaya-upaya penanggulangan terbaik mana pun
yang kita coba lakukan -- baik secara
kolektif maupun individual. Pada gilirannya,
kegagalan-demi-kegagalan tersebut akan semakin
memperluas rasa pesimisme dan apatisme di kalangan
masyarakat. Karena itu, adalah keyakinan
penyusun bahwa apa yang sangat kita perlukan sekarang
bukan menambah lagi solusi-solusi
rehabilitatif untuk sekadar me-NORMAL-kan berbagai
krisis nasional yang ada (survival);
melainkan serangkaian inovasi yang mampu me-MAJU-kan
atau mensejahterakan (prosperity)
bangsa Indonesia di masa depan. Aneka lomba berhadiah
besar yang diusulkan di sini hanyalah
satu di antara alternatif program yang kiranya mampu
memancing dan memacu aktivitas konstruktif
berskala luas di masyarakat kita yang sedang "sakit
parah" dewasa ini. Sebuah ajang perubahan
secara cepat atau "Revolusi yang Positif" tanpa musuh,
bukan jenis revolusi penuh konflik
dengan ancaman "pertumpahan darah" seperti yang banyak
dikhawatirkan orang bisa terjadi.
Kebetulan, sejak lama penyusun mengamati betapa
kuatnya dampak sosial suatu lomba
berkala dalam "menghidupkan" sektor kegiatan tertentu
di masyarakat. Sekali sebuah penghargaan
sosial berlanjut menjadi tradisi, maka akan terpaculah
berbagai kemajuan tanpa henti di bidang
yang bersangkutan - baik di tingkat lokal ("panjat
pohon Pinang" menyambut HUT Kemerdekaan),
nasional (Kalpataru), regional-ASEAN (Hadiah Magsaysay
dari Filipina) maupun internasional
(Nobel dari Swedia) - untuk menyebut beberapa contoh.
Bukti serupa bisa kita simak di bidang lain,
misalnya popularitas olahraga tinju di masyarakat kita
belakangan ini (yang kini bahkan sudah
merebak ke kalangan siswa SMU!) pasca hadirnya acara
berkala "Gelar Tinju Profesional" berhadiah
uang lumayan di TV. Belum lagi ditambah tayangan jenis
lomba perkelahian bebas "The Ultimate
Fighting Championship" terbaru, (yang versi
Indonesianya pun sudah mulai ditiru oleh TV lokal
kita) --
padahal apatah manfaat sosial maupun kemanusiaan dari
lomba-lomba demikian?
Contoh lomba lain yang sangat populer di dunia
namun patut kita pertanyakan manfaat
kemanusiaannya adalah tradisi rekor GUINNESSS -- yang
di sini pun sudah ditiru oleh MURI
(Museum Rekor Indonesia)-nya Jamu Jago di Semarang.
Seringkali orientasi aneka "prestasi
Guinness" sekedar ingin menjadi nomor satu atau "yang
ter..." di seluruh dunia -- tanpa
pertimbangan manfaat kemanusiaan apa pun yang
dihasilkan bidang bersangkutan. Contohnya:
rambut terpanjang, gigi terkuat, teriakan terkeras,
push-up terbanyak, berdiri di atas
satu kaki atau melipat tubuh terlama, dan lain
sebagainya - termasuk, ma'af, menaklukkan
puncak gunung tertinggi-Himalaya--yang menjadi dambaan
begitu banyak pendaki gunung di
seluruh dunia. Karena itulah-sekali lagi--usulan ini
ingin membatasi aneka lomba prestasi
yang dimaksud untuk bidang-bidang karya nyata yang
bernilai sosial-kemanusiaan. Dan
"manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang" (the
greatest good for the greatest number
of people) kiranya tetap bisa dijadikan tolok-ukur
dasar dalam menilai peringkat prestasi
yang bersangkutan.
Bahwa kepedulian serta tindak kesetiakawanan
sosial masih tetap ada di masyarakat tak
perlu kita ragukan. Namun sekali lagi, amat
disayangkan pengejawantahannya terlalu berorientasi
ke upaya-upaya korektif-rehabilitatif; bukan
inovatif-konstruktif seperti yang dimaksud usulan ini.
Rangkaian upaya tersebut pertama adalah misalnya:
menolong para Korban Bencana, membela
si Teraniaya, menyembuhkan si Sakit, menormalkan si
Cacat, menyantuni si Miskin, menyekolahkan
si Bodoh, menghancurkan Musuh, dan semacamnya.
Serangkaian tindakan sangat terpuji yang jelas
berbeda fungsi serta dampaknya dibanding upaya
konstruktif-inovatif yang dimaksud di sini, yakni:
menghadiahi mereka yang berjasa di masyarakat -- tanpa
bermaksud mengurangi nilai kemuliaan
rangkaian tindak kedermawanan tersebut sebelumnya.
Menolong mereka yang tidak atau kurang
beruntung adalah upaya GENTING yang sangat diperlukan,
namun menghargai serta melestarikan
aneka prestasi sosial adalah hal PENTING yang tak
boleh dilupakan oleh setiap masyarakat.
Tanpa mengingkari kemungkinan adanya pihak-pihak
yang justru menghendaki merebaknya
konflik sosial serta terpecah-belahnya Republik
Indonesia demi kepentingan masing-masing
(baik di dalam bahkan juga di luar negeri), penyusun
percaya bahwa masih cukup banyak pihak di
masyarakat yang peduli dan rela berkorban
mempertahankan keutuhan integritas dan kedaulatan
negara kita tercinta. Kepada merekalah pertama-tama
usul "Aneka Lomba Rp 1 Milyar" ini
penyusun persembahkan. Dan mengingat, menyaksikan dan
merasakan masih rawannya aneka
"konflik nasional" di negeri kita sampai sekarang,
penyusun sangat berharap usulan ini bisa segera
sampai ke tangan, pikiran dan hati pihak-pihak yang
memiliki kemauan dan kemampuan untuk
bersama-sama membantu perwujudannya. Ya, kalau hukuman
terberat (sampai "tewas dibakar
hidup-hidup"!) sudah tega kita terapkan kepada para
pelaku (bahkan kerapkali baru tersangka!)
kejahatan di masyarakat, mengapa hadiah bernilai besar
bagi pahlawan-pahlawan sosial belum
kunjung kita relakan?
"Marilah kita kerahkan seluruh kemampuan berpikir
untuk berbuat kebajikan,
sebagaimana kaum penjahat memakainya dalam tindak
kriminal mereka!"
- Cotton Mather dalam "Essay to Do Good"
___________
* Penjabaran dari satu di antara beberapa gagasan
proyek sosial-kemanusiaan yang diusulkan
dalam buku "TERAMPIL BERPIKIR" (Griya Gagasan &
Milenia Populer, 2001) karya penyusun.
Bagi mereka yang berminat, bisa memperolehnya di
toko-toko buku terdekat di kota Anda.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi:
Perpustakaan Griya Gagasan -- P.O. Box
24SDL -- Cianjur -- Jawa Barat 43253 atau E-mail:
<ideas@cianjur.wasantara.net.id>. Terimakasih.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com