[Nusantara] Amir Machmud NS : Yang Lebih Teroris

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Sep 20 13:12:19 2002


Amir Machmud NS : Yang Lebih Teroris

APA reaksi Anda manakala Amerika Serikat (AS)
tiba-tiba begitu 
ketakutan
kepada kita? Agus Dwikarna, Agus Budiman, atau Abu
Bakar Ba'asyir yang
berjuang melawan paranoia Barat tentu merasakan
kenaifan dalih kampanye
memerangi terorisme. Itukah wujud trauma sang adidaya?
Seakan-akan terorisme telah hidup di sini, di "kita",
ketika AS 
tiba-tiba
menutup kedutaan dan konsulatnya. Bahkan majalah TIME
pun memperkuat
propaganda "ada apa-apa dengan sejumlah orang
Indonesia" lewat 
ringkasan
dokumen CIA tentang pemeriksaan terhadap Omar Al Faruq
yang 
disebut-sebut
sebagai senior Al Qaedah di Asia Tenggara. Al Faruq
dituding terlibat 
dalam
aksi-aksi terhadap kepentingan AS di sejumlah negara
Asia termasuk
merencanakan pembunuhan Presiden Megawati
Soekarnoputri.
Menutup kedutaan secara sepihak, apakah itu bukan
bentuk lain dari 
teror
opini? Memaparkan nama Megawati sebagai sasaran,
bukankah itu memuat 
tujuan
yang bersifat intelijen untuk mendorong agar
pemerintah Indonesia 
memiliki
keberpihakan yang jelas kepada AS?
Paranoia. Virus itu bakal menebar setiap kali 11
September datang, 
seperti
kepanikan ketika mereka memperingatinya untuk kali
pertama. Para tokoh
Amerika menyebut kerontokan menara kembar World Trade
Center sebagai 
wake up
call, kesadaran bahwa urat-urat terorisme telah
meruyak sebagai bahaya 
yang
digambarkan mengancam dan harus membelalakkan seantero
dunia.
* * *
KUTUKAN universal dan gugatan rasa kemanusiaan adalah
wajib dalam 
konteks
kejatuhan ribuan korban tragedi WTC juga tiap kali
meletupkan aksi. 
Namun,
benarkah memersepsi terorisme kini hanya dapat
berharap pada keadilan 
media
massa?
Paradigma itu bisa teraduk-aduk. Atas nama lensa
AS-kah, atau optik
nilai-nilai rasa keadilan umat manusia? Muncullah
hipokritas: paradigma
tentang demokrasi dan aktualisasinya tak pernah
sepadan dengan 
jargon-jargon
yang mereka tiupkan ke seantero jagat.
Aktualisasi demokrasi sangat bergantung pada
pemenangan arus opini 
dunia.
Opini akan terbentuk oleh "kesaktian" media dalam
mengonfigurasikan
keyakinan, ideologi, atau kepentingan-kepentingan. AS
dan Barat mampu
mencitrakan diri sebagai kampiun demokrasi dan HAM
yang tiada tara; 
pada
saat berbarengan juga memaksakan opini seakan-akan
belahan dunia 
tertentu
terutama Islam menjadi kendala penegakan dua matra itu
sebagaimana
digambarkan Samuel Huntington sebagai clash of
civilization. Dan, itu
berkembang dengan hak pencitraan yang tak berimbang.
Wacana tentang terorisme pun terpersepsi ke sejumlah
realitas. Realitas 
AS,
realitas masyarakat dunia yang merasa dipojokkan
secara sistematis oleh
propaganda Barat, dan betapa sulit menemukan realitas
objektif media.
Kerangka berpikir yang terkonstruksi kekuatan 
ekonomi-politik-sosial-budaya
menyebabkan "informasi" harus selalu "dicurigai"
sebagai "arus" yang 
tak
boleh ditelan mentah apalagi begitu saja dikunyah.
Betapa gampang misalnya, Presiden Bush Jr menuding
Irak, Iran, dan 
Korea
Utara sebagai "poros kejahatan" - negara-negara yang
dianggap 
menoleransi
terorisme dan menolak mengambil tindakan. Betapa tidak
introspektif 
Bush
terhadap tindakannya di Afghanistan. Jika ribuan
korban sipil di 
Afghanistan
itu dianggap sebagai "pengganti" korban tragedi 11
September 2001,
sepadankah dengan misinya untuk "mengambil" Usamah bin
Ladin? Dari 
optik
mana kita melihat justifikasi rencana serangan
Presiden Bush Jr ke Irak
untuk menjemput maut Saddam Hussein: orang yang telah
menjadi musuh 
sejak
Bush Sr berkuasa?
Apa pula realitas yang dapat dipersepsi dari sikap AS
terhadap konflik
panjang Palestina-Israel? Apakah demokrasi hanya boleh
disuarakan dari
bangsa yang bersatu kepentingan? Apakah HAM hanya
milik Israel, dan
Palestina hanya berhak atas vonis yang berkebalikan?
Autokritik PM Kanada Jean Chretien patut direnungkan.
Serangan ke WTC,
ujarnya, tak lepas dari sikap arogan Barat yang telah
mengakar melukai
banyak pihak. "Kita tak bisa mengumbar kekuatan untuk
menghina pihak 
lain,
karena mereka, rakyat negara miskin itu, juga
manusia". Chretien
memprediksi, bila arogansi itu berlanjut akan ada
gelombang konsekuensi 
yang
harus ditanggung masyarakat Barat 20 atau 30 tahun
lagi.
* * *
SULIT untuk tidak mengaitkan "euforia" perang
antiteror itu sebagai
"kesempatan" bagi AS dan negara-negara yang sepaham
untuk memojokkan 
Islam.
Itu memang peluang memperkuat definisi pencitraan
terorisme = Islam,
sehingga seorang Lee Kuan Yew pun merasa beralasan
menuding Indonesia
sebagai negara yang membiarkan teroris bergentayangan.
Kandungan politis statemen tersebut bukan hanya
menyangkut kredibilitas
sebuah bangsa. Ada sayap lain yang hendak
dikembangkan, ketika nama Abu
Bakar Ba'asyir dan Jamaah Islamiyah disebut-sebut
terkait dengan 
pernyataan
Lee. Secara tidak langsung, dia menggemakan
Islam-phobia lewat paranoia 
yang
juga pernah dilayangkan terhadap perkembangan
partai-partai Islam di
Malaysia. Negeri itu menegaskan sikap antisiswi
berjilbab. Bukankah hal
tersebut sebenarnya menjelaskan arah tudingan Lee?
Tanpa "kerja sama" menciptakan realitas tertentu, tak
akan mungkin 
terbentuk
citra A, B, atau C tentang sesuatu. Boleh jadi, ada
sejumlah realitas 
yang
memudahkan proses pengopinian sehingga - misalnya -
Islam identik 
dengan
nama-nama Arab, Timur Tengah identik dengan Islam, dan
Islam 
diidentikkan
dengan kekerasan. Proses itu berjalan sistematis
bahkan menyusup hingga 
ke
relung-relung budaya yang menjadi sulit berdiri di
posisi netral. 
Hollywood
pun sedemikian stereotipe dalam menciptakan kasting
dalam film-filmnya.
Pelaku teror adalah orang dengan nama dan fisik Arab.
"Kerja sama" itu hakikatnya adalah proses untuk
menggiring pemenangan 
opini.
Benarlah sebuah realitas sulit menjadi netral, sebab
telah 
terkonstruksi
oleh dominasi kekuatan politik-ekonomi.
Tebaran "kebencian" kepada orang-orang yang mengaku
humanis dan 
mengklaim
diri sebagai pendekar HAM sesungguhnya dibuka oleh
mereka yang tak 
pernah
mau merenung untuk mengubah dasar-dasar sikap dan
kebijakan politik 
luar
negerinya.
Adalah hak kita bersuuzan, laporan TIME sebagai
skenario adu domba yang
bersifat intelijen. Penyebutan Megawati sebagai salah
satu target 
sel-sel Al
Qaedah di Indonesia bukankah itu berinsinuasi untuk
merujuk sejumlah 
nama
yang selalu dikaitkan dengan Usamah? Propaganda
demikian bila tidak 
disikapi
secara arif oleh lingkaran Megawati, berpotensi memicu
disharmoni 
dengan
kelompok-kelompok Islam tertentu, dan secara luas bisa
memicu 
keterbelahan
antara "pihak sini" dan "pihak sana".
Pada sisi lain, mungkinkah pemaparan dokumen itu
terkait dengan 
skenario
rumit di dalam negeri? Human Right Watch pernah
menganalisis, 
keberpihakan
sikap politik sejumlah negara bukan lantaran takut
akan ancaman AS,
melainkan dijadikan momentum memperkuat kekuasaan.
Mahathir Mohamad,
Jenderal Musharraf, atau Arroyo misalnya, memiliki
dalih kuat untuk
memberangus segala yang dianggap sebagai ancaman atas
nama 
antiterorisme.
Mirip dengan skenario-skenario pada masa Orde Baru:
mendiskreditkan 
kelompok
tertentu, memberi stigma militan, dan kemudian
memberedelnya.
Tanpa mengurangi kewaspadaan, kita pantas berpikir
bijak: jangan sampai
paranoia orang-orang yang merasa berkekuasaan tak
terbatas justru
mengaduk-aduk harmoni antarkita (18j)
-Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka di Semarang.


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com