[Nusantara] Nursolikin A Rachim : Adakah Persoalan Islam dan Demokrasi?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Sep 20 13:12:04 2002


Nursolikin A Rachim : Adakah Persoalan Islam dan
Demokrasi?

Direktur Lembaga Studi Sosial Keagamaan dan 
Kebijakan Strategis Al-Yasini Pasuruan


DISKURSUS Islam dan demokrasi mulai mendapat tempat
signifikan dalam
pemikiran politik Islam modern. Dalam upaya untuk
menemukan suatu basis
ideologis yang diterima oleh kalangan dunia Islam,
para pemikir dari
berbagai kalangan muslim mulai merambah misi baru
untuk merekonsiliasi
perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok politik.
Walau saling
memperkuat sebenarnya potensi pertentangan itu ada
antara Islam dan
demokrasi, yaitu terletak pada bagaimana kedua
substansi itu 
ditafsirkan.
Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa menyebut Islam
berarti 
menunjukkan
unsur teologis. Sedangkan menyebut demokrasi (sebagai
istilah umum 
tanpa
atribut Barat ataupun Islam) berarti mengacu pada
sistem gagasan 
'sekuler'
yang tanpa gagasan teologis pun dapat bertahan. Jika
salah, apalagi
keduanya, substansi itu dibatasi secara kaku,
terjadilah kontradiksi 
antara
Islam dan demokrasi.
Masa depan Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh
bagaimana teologi 
Islam
dapat memberi makna pada arus kemajuan. Untuk itulah,
Islam tidak dapat
tidak mengupayakan suatu teologi transformatif
sehingga Islam 
memberikan
ruang kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi
perkembangan zaman. Di
sini, Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan
terhadap misalnya
sekularisasi, martabat manusia, solidaritas, kerja
sama antaragama 
mengingat
adanya pluralitas agama.
Termasuk di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka
untuk memegang 
syariat
secara wajar. Artinya, sumber-sumber syariat itu perlu
dilihat secara
proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek
historis. Dengan 
demikian,
dapatlah ditemukan mana yang sungguh-sungguh perenial
dan mana yang 
bersifat
spasial dan temporal. Jadi, dapat dibedakan antara
yang mutlak dan 
relatif
sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang
cenderung 
menimbulkan
ciri ideologi dalam Islam).
Usaha reinterpretasi terhadap Islam atau membuat
semacam teologi
transformatif itu juga akan memantapkan kekuatan
politis Islam, baik 
dalam
tataran teori maupun dalam implementasinya. Secara
teoretis dapatlah
disimpulkan bahwa Islam tetap memandang demokrasi
sebagai bagian 
penting
peradaban manusia. Dalam ungkapan yang lebih lugas
bahkan dapat 
dikatakan
Islam dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (meskipun
tentu saja dapat
dibedakan), sebagaimana doktrin Islam menunjuk adanya
keterkaitan yang
begitu kuat antara Islam dan negara. Karena itu,
secara teoretis 
hubungan
Islam dan demokrasi tidak pernah dicemaskan. Relasi
antara Islam dan
demokrasi juga lebih bersifat positif.
Setidak-tidaknya syariat 
demokrasi
lebih menonjol jika dibandingkan dengan syariat
nondemokratis.
Praksis dalam Islam
Lain halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi
ditilik dari sisi
politik praktis. Kadangkala yang terjadi justru
syariat nondemokratis 
yang
lebih menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syariat
itu tidak sesuai 
dengan
semangat demokrasi. Kalau sudah pada taraf
implementasi, biasanya
pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan.
Usaha teoretis untuk
secara murni menghayati Islam dapat saja direduksi
sebagai suatu 
kegiatan
politik belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan
sebagai prinsip tauhid,
kegiatan politik sebenarnya menjadi manifestasi Islam
sebagai gejala
teologis.
Dalam hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi
Islam tersebut memang
tidak dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah
Indonesia menyaksikan 
bahwa
Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang sering
kali oleh 
pengamat
disederhanakan sebagai Islam kultural dan Islam
skriptual. Lepas dari
polemik penyederhanaan itu, dapat dikatakan bahwa
praktik yang 
dilakukan
oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi
perkembangan demokrasi di
Indonesia. Tentu saja, pertama-tama karena Islam
memiliki basis massa 
yang
sangat besar.
Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di
Indonesia bergantung 
pada
solidaritas Islam. Kalaupun dimasukkan juga unsur
militer, militer pun
(karena sebagai angkatan bersenjata secara teoretis
tidak memiliki
legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga
pada gerak 
Islam.
Kalau demikian, tidak dapat tidak Islam harus menjadi
promotor bagi
perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini akan
efektif selama Islam 
tidak
membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena
itu, Islam tetap
dituntut menjadi Islam yang demokratis.
Dalam praktik sehari-hari agaknya Islam demokratis
bukanlah realitas 
semu di
kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah
dihayati oleh 
kelompok
besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana
demokratis itu tidak 
terjadi
dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti
bahwa di tingkat 
elite
Islam mengalami kemacetan. Elite Islam tidak perlu
dibatasi pada 
pimpinan di
pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini
para kaum 
terpelajar,
pers, maupun tokoh (pemimpin) umat lokal.
Dengan mengandalkan bahwa budaya politik demokratis
(bukan) sekadar
penghayatan nilai-nilai demokrasi, kiranya dapatlah
ditegaskan perlunya
konsolidasi di tingkat elite Islam. Tentu saja, karena
begitu 
beragamnya
elite Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang
mudah dan cepat 
dicapai.
Pada kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu
dilakukan justru dengan
membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukan
suatu dialog
antaragama.
Dialog itu tidak cukup dilakukan dalam tataran
teologis (sehingga yang
berdialog hanyalah para teolog) tetapi juga perlu
mencakup tingkat 
politis.
Dalam hal ini, diperlukan semacam koalisi yang dapat
menunjang
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sebagai negara
yang mau tidak 
mau
dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga. Dengan
strategi ini, Islam 
tetap
memiliki peluang untuk mewujudkan syariat demokratis,
sambil 
mengembangkan
Islam yang demokratis.
Seiring dengan intensitas kajian tentang hubungan
sintesis antara Islam 
dan
demokrasi, persoalannya kini mulai bergeser bukan lagi
menyangkut
kompatibilitas Islam dengan demokrasi, melainkan
bagaimana demokrasi 
dapat
built-in dalam tradisi kaum muslimin, baik secara
paradigmatik, etik, 
maupun
epistimologis. Sebab, hanya dengan demokrasi Islamic
political cause 
dapat
diperjuangkan, sehingga kepentingan-kepentingan Islam
dalam arti luas
(sosial, ekonomi, dan politik) akan dapat terlindungi
dengan lebih 
baik.***


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com