[Nusantara] Indra J. Piliang : Mayat Demokrasi dan Sinema Dafirun
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Sep 23 05:00:25 2002
Indra J. Piliang : Mayat Demokrasi dan Sinema Dafirun
Pada hari pemilihan Gubernur DKI, teman lama datang
dari Wonosobo. Ia
bekas
komandan Pasukan Berani Mati (PBM) Abdurahman Wahid.
“Pencalonan
Sutiyoso
ibarat partai yang berjalan diatas mayat pendukung
Megawati dalam
Tragedi 27
Juli 1996,” katanya. Ia yang punya pengalaman mencekam
saat mengawasi
jajak
pendapat di Timor Timur melihat luka-luka pendukung
setia PDI Pro Mega
di
daerah. Penulis hadir sehari sebelum kantor PDI Pro
Mega di Jln
Diponegoro
diserbu. Airmata menetes mendengar cerita wong cilik
yang menjual ayam,
kambing, dan apapun kekayaan mereka untuk ke Jakarta.
Rombongan-rombongan
itu datang dari Bali, Jatim, Jateng, Lampung dan
Sumut. Kawan sesama
aktivis
FKSMJ patah tulang iganya oleh aparat saat keluar dari
sekretariat
ketika
tragedi itu. Tuduhan “makar” itu menjadi turning point
radikalisasi
FKSMJ
dalam mata rantai pergerakan mahasiswa, sepanjang
1998.
Kawan lain, aktivis Partai Amanat Nasional (PAN) yang
getol mengepung
kantor
bupati di Jateng, setahun lalu mengibaratkan sinema
elite politik
sebagai
zaman Dafirun. “Gabungan era Dajjal, Fir’aun dan
Qorun. Genggaman
neraka dan
sorga di tangan Dajjal, kekejian pembantaian bayi oleh
Fir’aun, dan
kerakusan terhadap harta yang dilakukan Qorun!” Tanpa
bersusah-payah,
penulis mengenali filosofi aktivis masyarakat Jawa.
Kekayaan dimensi
alam
bawah sadar labirin pikiran masyarakat Jawa yang
mengagumkan itu, dari
dulu
jadi sumber mata air ilmu yang tak kering ditimba
untuk diteliti
ilmuwan.
Apakah memang zaman itu hadir? Kini kian massif
pemurukan, pembusukan,
dan
penistaan atas publik. Demokrasi membatu. Ia bangkit
laksana legenda
Malin
Kundang. Demokrasi durhaka kepada ibu-kandungnya,
rakyat. Ketika rasio
dan
etika politik tak lagi bisa didesakkan, mitologi
berpijak. Mitologi
memang
khas budaya Indonesia. Dalam banyak hal mitologi
sebetulnya bahasa alam
ghaib, dunia langit, yang berbicara atas namanya
sendiri. Sayang, kita
tak
segairah manusia abad renainsance yang membangun dunia
Eropa dari alam
mitologi Yunani.
Jutaan belalang yang mengepung Lampung, lantas hilang,
pertanda
kejadian
tiba-tiba: bergantinya rezim dan datangnya krisis.
Jutaan ulat pernah
menggunduli kebun buah-buahan di Tanjung Barat, Pasar
Minggu, konon
akibat
si empunya kebun “pelit”. Beberapa pekan sebelum
Soeharto jatuh, tetua
adat
Baduy berjalan kaki ke DPR, lalu melumurkan sesajian.
Pers
“merekamnya”,
tapi gagal mengulasnya. Sekarang, tikus, ulat, segala
macam penyakit,
mempusokan ratusan ribu hektar lahan-lahan pertanian,
juga tragedi asap
dan
kekeringan.
Manusia moderen banyak yang keliru memaknai
tanda-tanda zaman. Banjir
bulan
Januari dan Februari 2002, yang ditiriskan dari langit
Jakarta, juga
tak
dimaknai lagi. Banjir itu, lamat-lamat mengingatkan
kita pada kisah
Nabi
Nuh. Orang tak pernah tahu, kenapa bumi yang
dua-pertiganya tertutupi
oleh
lautan ini, tiba-tiba tertutupi seluruhnya. Darimana
air itu datang?
Ilmu
pengetahuan menjelaskan perubahan iklim, mencairnya
kutub es di
Utara-Selatan, panas bumi akibat pergeseran
planet-planet, dan
tembusnya
atmosfir oleh meteor (batu-batu angkasa atau batu-batu
Ababil, dalam
riwayat
Arab). Ilmu pengetahuan selalu datang telat menjawab
fenomena alam.
Tanda-tanda itu juga tak ditangkap elite politik.
Demokrasi Yunani yang
tidak melibatkan budak dan perempuan, serta terbatas
pada hak
bangsawan,
kini tampil sama purbanya. Demokrasi abad XXI tanpa
aspirasi publik,
apa
bedanya dengan 3-4 abad sebelum Masehi?
Aspirasi rakyat tertumpuk pada DPR Daerah Jakarta. 84
orang itu, seolah
wakil suara 8,4 Juta rakyat Jakarta. Masing-masing
anggota merasa
mewakili
100.000 suara. Dengan perhitungan itu, 47 pemilih
Sutiyoso dimaknai
mewakili
4,7 Juta penduduk. Terdapat juga aspirasi 3,7 Juta
suara yang menentang
Sutiyoso. Sutiyoso benar menyebut jumlah pendukungnya
jauh lebih banyak
dari
yang anti padanya dengan selisih 800.000. Itu kalau
matematika konyol
yang
digunakan.
Demokrasi ini, telah gagal menangkap hati rakyat.
Penolakan berbagai
lapisan
masyarakat, mulai ulama, kyai, mahasiswa, kaum
profesional, sampai
tukang
becak, hanya dilihat sebagai aspirasi yang “biasa
dalam demokrasi”.
Korban
tragedi 27 Juli 1996 hanya dihitung dari naik-turunnya
jumlah penduduk
“pendatang tak ber-KTP DKI”. Demokrasi, ternyata
mengorbankan demos-nya
sendiri. Krasi (kratein) dipadankan dengan kerasi. Tak
peduli puluhan
nyawa
melayang dalam mesin besar demokrasi itu. Yang didapat
hanyalah
mayat-mayat.
***
Pelajaran mahal Sutiyoso demi jabatannya adalah
kesabaran. Ia tak
hilang
akal, semangat, dan percaya diri. Hikmah kegigihan
Sutiyoso bagi
penentangnya adalah agar memiliki kesabaran serupa
untuk tak berhenti
bersikap. Terutama penolakan keras pretelan atas
hak-hak asasi, asali
dan
usalli manusia. Demokrasi, baik demi maksimalisasi
kratein semata,
maupun
demi demos, nyatanya butuh kesabaran dan konsistensi
perjuangan.
Membayangkan reinkarnasi Dajjal, Fir’aun dan Qorun
adalah bentuk
kepasrahan
dan kekalahan. Fir’aun dan Qorun sudah dihukum
sejarah. Dajjal, dalam
mitologi agama, adalah mahkluk akhir zaman yang datang
entah kapan.
Dajjalpun bisa dibunuh oleh Imam Mahdi. Menyebut rezim
sebagai Dafirun
adalah awal penyakit pikiran. Tak mungkin dunia hanya
diisi para
pembunuh
bayi-bayi (langsung atau tak langsung) dan penghamba
harta. Dunia
seindah
ini, tak pantas isinya Dajjal semua. Manusia juga
diisi jiwanya dengan
roh
malaekat oleh-Nya. Dunia jadi arena tarung bebas
kebaikan dan
keburukan,
dalam dimensi masing-masing. Menyebutnya sebagai
jelmaan akhir zaman
merupakan bentuk alienasi dari kesadaran kemanusiaan
sendiri untuk
mengambil
pilihan, dan mengubahnya.
Tanpa adanya keburukan, mustahil terlihat sisi
kebaikan. Demokrasi,
hanyalah
satu kata dari beragam kata dalam aktivitas kehidupan.
Sekalipun
demokrasi
kini banci dan jadi mantera yang pesonanya,
pemakaiannya, bahkan
penyebutannya melebihi ingatan terhadap aktivitas
apapun, bersikap
fatalis
adalah musuhnya. Vandalisme, berupa perusakan
bangunan, hanya akan
memunculkan ongkos politik baru. Runtuhnya pagar DPR
Daerah, misalnya,
dimata anggota DPR Daerah hanya sebatas kertas-kertas
anggaran. Makin
banyak
kerusakan fasilitas sosial terjadi, makin kurang
anggaran perbaikan
kualitas
hidup jasmani dan rohani, sehingga terbuka peluang
untuk tak melakukan
apa-apa oleh Pemerintahan Daerah dan DPR Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
Tugas suci untuk memiliki kesabaran yang berlebih
penting demi
demokratisasi. Tugas itu, antara lain, menyelamatkan
sebanyak mungkin
korban
yang sudah jatuh akibat prosesi demokrasi.
Pengungkapan berbagai
tragedi
masa lalu, pencarian korban-korban hilang, pendesakan
proses
transparansi
peradilan, adalah bentuk dari pembaruan aktivitas.
Ketika DPR Daerah
sudah
menjatuhkan pilihan, tersedia peluang mengontrol
pilihan itu, agar
tragedi
pembajakan politik tidak terulang. Bisa jadi, desakan
itu dilakukan
lewat 38
suara anggota DPR Daerah yang tidak menjatuhkan
pilihannya pada
Sutiyoso.
Pengepungan gedung DPR Daerah oleh berbagai aliansi
masyarakat, bisa
diteruskan dalam bentuk lain, yaitu pengepungan atas
kinerja DPR Daerah
agar
proses apapun yang terjadi mengedepankan pemihakan
atas kaum miskin
kota.
Mata harus lebih dipelototkan pada janji program
Sutiyoso beberapa
menit
setelah terpilih, yaitu memberantas korupsi, kolusi,
dan nepotisme;
memerangi kemiskinan, prioritas pendidikan dan
perumahan kaum miskin,
perbaikan sarana trasportasi rakyat dan segudang janji
lain.
Janji-janji itu telah menjadi kontrak sosial yang
disaksikan puluhan
wartawan, dibaca jutaan penduduk, dan dicatat
malaekat. Apabila ada
satu sen
uang negara yang dikorupsi, satu keluarga dimiskinkan,
satu peserta
didik
ditelantarkan, selama pemerintahan Sutiyoso, berarti
janji itu sudah
dikhianati. Pengkhianatan adalah satu dosa besar.
Masyarakat, tentu tak
akan
dimakan sumpah oleh janji-janji itu, melainkan orang
yang berjanjilah
yang
kena kutukan, karma dan hukuman apabila janji-janji
itu dikhianati.
Tanpa
diawasi rakyatpun, janji-janji itu sudah diucapkan
lidah Sutiyoso, dan
tak
bisa dicabut lagi. Siapa yang bisa menipu malaekat
yang hanya setia
kepada
Tuhannya?
Panitia Pemilihan Gubernur menyediakan clearing house
yang tak banyak
gunanya. Arena itu tak bisa jadi political cleaning of
the sin
(pencucian
dosa politik). Mobilisasi suara publik gampang terjadi
mensahkan
pilihan
DPR Daerah itu, terbukti dari ratusan spanduk di
gang-gang Jakarta.
Tapi,
sesedikit apapun celahnya, warga Jakarta berhak
berupaya dan
berikhtiar.
Tentu dengan catatan: kesabaran yang berlebih,
penghindaran vandalisme
dan
pelanggaran hukum, dan pembangunan kekuatan-kekuatan
alternatif diluar
partycracy. Membangun Jakarta masa depan, pada
prinsipnya bukanlah
tugas
pemerintahan semata. Sudah saatnya mengukuhkan sikap
bahwa masyarakat
tak
punya tergantung berlebihan pada pemerintah.
Ketergantungan, hanyalah
bentuk
lain yang lebih buruk dari matinya demokrasi.
Jakarta @ September 2002.
Indra J. Piliang, peneliti CSIS, Jakarta.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com