[Nusantara] Gigih Nusantara : RI Menuai Badai

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Mon Sep 23 05:36:04 2002


Gigih Nusantara : RI Menuai Badai 
 
Dalam pepatah Jawa ada ungkapan 'ngundhuh wohing
pakarti', yang terjemahannya adalah bahwa apa yang
kita alami dalam kehidupan kita ini adalah buah dari
apa yang pernah kita buat sebelumnya. Kalau kita
banyak berbuat baik, insya Allah, kita akan mendapat
ganjaran yang kadang tak kurang baiknya. Sebaliknya,
jika kita berkelakuan manyun, ya, jangan harap orang
akan bermanis-manis kepada kita, siapapun kitanya. 

Dalam bahasa Indonesia lebih seru, dengan peribahasa
'siapa menabur angin, dia akan menuai badai'. Jelas
sekali, pembalasan lebih kejam. Kelihatannya, bangsa
ini, saat ini, sedang menuai badai. Bayangkan, bahkan
Arroyo saja, presiden Filipina yang terlihat sangat
lembut, siap-siap mengusir 12.000 WNI. Kurang apa ?

Sebenarnya banyak sekali peribahasa, pitutur (anjuran,
arahan) serta wewaler (larangan) yang bersumber dari
agama, atau kebudayaan dan adat istiadat, yang cukup
kaya dan beragam, di negeri ini. Jika saja pelajaran
Budi Pekerti, yang sempat aku peroleh di SD dulu masih
ada, kiranya hal-hal diatas, perubahasa, pituru,
wewaler, dll. sebagainya itu, akan akrab di telinga
kita, setidaknya, dan akan menjadi rambu yang ikut
mengatur bagaimana langkah dijejakkan, tangan diayun,
dan lidah saat bercengkerama. Sayang, pelajaran itu
raib begitu saja, tanpa pernah meninggalkan alasan,
kenapa nian dibuang. Ah... 

Soal 'melangkah pelihara kaki, bercakap pelihara
lidah', dan agar 'di situ langit dijunjung' ketika
kita berada di mana saja, aku kira bukan pepatah
remeh. Sebab dengan dua hal itu saja sudah akan
membuat kita diterima di pergaulan bangsa-bangsa. Di
mana pun kita berada. Bisa di daerah lain di negeri
sendiri, lebih-lebih di negeri orang, dengan adab dan
kebiasaan yang berbeda. Sedang di kampung sendiri saja
kita juga tak boleh semau gue. 

Sulitnya memperoleh penghasilan untuk menafkahi hidup
keluarga, memaksa banyak sekali tenaga kerja bangsa
Indonesia yang harus rela meninggalkan kampung
halaman. Dan setiap mereka hendak pergi, selalu dua
hal di ataslah yang paling penting untuk diperhatikan.
Ati-ati, di negeri orang. 

Tapi apa lacur, meski boleh dipakai alasan bahwa tidak
semua melakukan perbuatan tercela di rantau, tapi
berita-berita kelakuan tak benar cukup banyak
terdengar. Ya, maklum, 'karena nila setitik' memang
akan membuat 'rusak susu sebelanga'. Dan ketika
belanga-belanga susu itupun tercemar, bahkan bukan
hanya 'nila setitik', maka daripada repot, mending
belanga0belangan susu itu, tercemar atau tidak,
dibuang saja. Inilah gambaran nasib WNI yang sedang
menanti pengusiran dari sejumlah negeri rantau. 

Benar, mereka yang berangkat itu adalah yang sudah
merasa sulit untuk memperoleh nafkahnya di negeri
sendiri, namun tetap harus dijaga, bahwa mereka akan
berada di negeri orang, maka sebaiknyalah semua
kelakuan tak benar itu ditinggal di rumah saja, sebaik
melangkah ke luar rumah. 

Pada umumnya pula, para WNI, dalam hal ini TKI, tidak
memiliki kompetensi yang cukup yang sesuai dengan
standar profesi yang akan mereka geluti. Tak ubahnya
rasa 'Soto Lamongan' di Jakarta, yang entah-entah
rasanya gimana itu, wong mereka itu, meski benar
berasal dari Lamongan (terkenal sotonya), tapi semula
mereka bukanlah tukang masak yang betul. Akibatnya,
tahu sendiri. Mereka mengalami penekanan-penekanan
yang mau tak mau mereka terima. Upah yang rendah,
kondisi kerja yang buruk, pemerasan, dan lain
sebagainya. Ya, apa mau pulang dengan tangan hampa,
malu bukan? 

Para WNI (dhi. TKI), dengan kualifikasi seperti itu,
ya, mana bisa diterima dengan 'welcome', kecuali harus
menerima kondisi yang serba minim tadi. Bahkan, memang
sejak semula sudah diniatkan oleh para calo tenaga
kerja untuk hal seperti itu. Memang sengaj mencari
orang-orang yang masuk kategori 'terpaksa', supaya
mudah diperas. Sudah bodoh, miskin, masuk jebakan
pula. 

Kini, hampir sebagian besar negara, yang tadinya
begitu ramah dan menyambut gembira kehadiran tenaga
kerja dari sebuah bangsa yang 'besar', 'ramah-tamah',
'ulet' dan 'Pancasilais', telah dibuat repot, bahkan
marah, sehingga mereka terpaksa melakukan penerapan
hukum, yang oleh sementara orang di sini, terutama
mereka yang 'asal njeplak', sebagai tindakan jahat dan
tidak manusiawi. Sebenarnya, siapa sih yang salah, apa
pemerintah negeri sahabat tadi? 

Berbagai tindakan kriminal, bahkan aksi-aksi menentang
kebijakan pemerintah, sampai huru-hara, mereka
lakukan, seperti kebiasaan yang mereka contoh dari
saudara-saudara mereka yang dibiarkan melakukan hal
yang sama, teriak-teriak mengacung-acungkan pedang dan
tidak diapa-apakan, di dalam negeri Indonesia. Mereka
mengira, mereka bisa melakukan hal yang sama di negeri
orang, dan minta supaya tidak diapa-apakan, seperti di
Indonesia. Kok nyimut (kata arek Suroboyo)... 

Sebagai mereka yang butuh mencari nafkah, mestinya
membekali dirinya sendiri untuk bisa diterima dengan
baik, memperoleh upah dengan wajar, bahkan lebih,
membina hubungan baik untuk jangka waktu yang panjang.
Jangan asal berangkat, tanpa bekal, lalu kacau di
rantau. 

Sebagai perusahaan pengerah tenaga kerja, mestinya
mereka juga menjaga reputasi dengan baik, agar
tenaga-tenaga kerja yang mereka kirim memiliki
kualifikasi yang tidak membuat perusahaan ini masuk
daftar hitam sebagai tak kompeten. Pelatihan-pelatihan
dan seleksi ketat mesti dilakukan. hanya, lagi-lagi,
kebiasaan jalan pintas, model bisnis yang 'hit and
run', dan berlomba untuk cari untung besar yang
sesaat, sudah sangat mewarnai kelakuan pengusaha
PPJTKI ini. Jangan harap, sudah. 

Pemerintah RI, yang seharusnya dapat dituntut untuk
menanggung nafkah para pencari kerja, dengan
ketidakmampuannya menyediakan lapangan kerja dalam
negeri ini, mestinya juga harus tahu diri. banyaknya
TKI yang merantau menunjukkan bahwa pemerintah memang
tak mampu menampung mereka dalam penyediaan lapangan
kerja dalam negeri. Kepergian yang amat terpaksa ke
luar negeri mencari kerja hendaknya dipersiapkan oleh
pemerintah dengan membesut, mengasah dan mengolah,
para calon TKI ini dengan sikap, mental, moral dan
keahlian profesional, agar tak *censored*a berhasil
memperoleh nafkahnya saja, ettapi juga mampu bersaing
dengan tenaga kerja yang berasal dari negara lain, dan
tuntutan profesionalitas yang kian hari kian meningkat
itu. 

Jika tidak, ya silahkan saja menikmati berita ini,
'Arroyo siap memulangkan 12.000 tenaga kerja'. Bahkan
bukan 'memulangkan', tetapi 'mengusir'. Presiden
wanita yang ramah itu saja sudah dibuat kesal. Jangan
lagi harap dari negerinya Dr. M yang terkenal lugas,
atau PM Goh yang tak ingin negerinya yang bersih jadi
cacat. Belum lagi yang di Arab, Hongkong, Korea,
Taiwan. Siap-siap saja kapal TNI AL untuk diisi bahan
bakar, menjemput mereka. Tragis. (gn)  


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com