[Nusantara] SM Hardjo: Wapres Hamzah Haz Meletakkan "Bom Waktu".........
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 24 09:12:57 2002
Wapres Hamzah Haz Meletakkan "Bom Waktu" bagi Rakyat
Indonesia
Oleh SM Hardjo
PERNYATAAN Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz di
Tasikmalaya tentang
akan
dibubarkannya Keluarga Berencana (KB) di Indonesia
(Kompas, 28/8/2002),
disadari atau tidak, seolah meletakkan "bom waktu"
bagi penduduk
Indonesia
di masa datang. Bagaimana tidak? Apakah pernyataan itu
sudah dipikir
secara
matang? Atau, apakah hal itu sudah dibicarakan dengan
para ahli
kependudukan
(demografer), dan apa akibatnya untuk 10, 15, atau 20
tahun mendatang?
Sekarang saja, menurut para ahli, baik di Indonesia
maupun pakar
kependudukan di luar negeri, program KB di Indonesia
adalah salah satu
program KB paling berhasil di dunia. Namun, persoalan
kependudukan di
Indonesia masih belum bisa teratasi dengan baik. Kita
masih direpotkan
persoalan, berapa puluh juta keluarga yang masih hidup
di bawah garis
kemiskinan, berapa puluh juta anak-anak putus sekolah,
berapa puluh
juta
tenaga kerja menganggur dan mencari pekerjaan di dalam
dan luar negeri.
Ini
semua menghasilkan persoalan baru. Belum lagi aneka
persoalan
kependudukan
yang timbul di beberapa daerah, yang mengakibatkan
terganggunya
stabilitas
keamanan di daerah itu.
uuu
Lalu apa akibatnya bila program KB dibubarkan?
Para pakar kependudukan menyatakan, saat ini Indonesia
tengah mengalami
"transisi demografi periode terakhir", yaitu tahap
menuju periode
tingkat
kematian dan kelahiran yang stabil rendah. Keadaan ini
di Indonesia
bisa
dicapai dalam kurun waktu 30 tahun hingga 50 tahun,
sedangkan di
negara-negara Barat, pada masa-masa lalu, transisi
demografi ditempuh
dalam
waktu lebih lama, 100 tahun sampai 200 tahun.
Dalam hal ini, kita harus bersyukur, bangsa Indonesia
bisa mempercepat
kurun
waktu transisi demografi. Hal ini diperoleh berkat
upaya semua sektor
pembangunan nasional yang selama ini dilakukan
bersama, termasuk
pembangunan
di bidang KB dan Pendidikan. Menurut pakar demografi,
almarhum Prof Dr
N
Iskandar, proyeksi penduduk Indonesia selama 30 tahun
(1970-2000)-proyeksi
tinggi tanpa KB-akan mencapai sekitar 280 juta.
Tetapi, apa yang kita
lihat
kini?
Dari hasil Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk
Indonesia berjumlah 206
juta
jiwa. Ini menunjukkan, selama kurun waktu itu, bangsa
Indonesia dapat
menghambat pertambahan penduduk yang cukup besar,
yaitu lebih dari 70
juta
jiwa. Jumlah penduduk itu amat besar, sebesar penduduk
negara Vietnam
di
Asia atau Mesir di Afrika, Inggris atau Perancis di
Eropa, dan dua kali
penduduk Argentina di Amerika Selatan, serta empat
kali penduduk
Australia
dewasa ini.
Orang awam-tidak perlu seorang demografer atau ahli
ekonomi-mungkin
dapat
dengan mudah menghitung, berapa besar kebutuhan
pangan, sandang, papan,
dan
kebutuhan-kebutuhan pokok lain seperti sekolah,
prasarana, dan sarana
kesehatan, lapangan kerja dan lainnya, bagi penduduk
sebesar itu.
Meski bangsa Indonesia sudah mampu mencegah
pertambahan penduduk
sebesar 70
juta, namun saat ini kita masih direpotkan aneka
masalah yang belum
bisa
tuntas dipecahkan, khususnya masalah ketenagakerjaan.
Akhir-akhir ini,
perhatian kita disibukkan oleh kepulangan tenaga kerja
dari Malaysia.
Sampai-sampai Wapres Hamzah Haz sendiri, didampingi
beberapa menteri,
mengunjungi tempat-tempat penampungan TKI di Nunukan,
Kalimantan Timur.
Oleh karena itu, kehendak Wapres Hamzah Haz untuk
membubarkan KB dari
Indonesia, harus dikaji ulang. Kita hendaknya tidak
berpikir sesaat,
jangka
pendek, tetapi harus berpikir dan mempunyai visi jauh
ke depan. Apalagi
sebagai pejabat tinggi negara berpenduduk nomor empat
di dunia ini,
harus
lebih hati-hati dalam membuat pernyataan. Dampak
pernyataan itu akan
bergaung luas di negeri ini, dan gaung itu dapat
berakibat
menguntungkan
atau merugikan bangsa dan negara.
Kebijakan meniadakan KB di Indonesia apakah tidak
mengubah kebijakan
Negara
dari Pemerintahan yang "antinatalis" ke kebijakan
pemerintahan yang
"pronatalis". Apakah kebijakan demikian dapat
ditentukan oleh seorang
Wapres
saja? Apakah hal itu tidak harus lebih dulu dikaji
lebih mendalam oleh
para
pakar secara multidisiplin, dan mendapat pengkajian
saksama dan
pengesahan
dari DPR, baru kemudian dilaksanakan pemerintah?
SELAIN harus memiliki visi jauh ke depan, para pejabat
tinggi bangsa
juga
harus mempunyai waktu untuk mempelajari sejarah masa
lampau, baik
sejarah di
negeri sendiri maupun sejarah bangsa lain. Mungkin
kita masih ingat,
apa
yang oleh para pakar disebut Syndroma Rumania Kejadian
ini menunjukkan
kepada kita, bagaimana pemerintah negara Rumania
membubarkan program KB
saat
itu. Alasan pembubaran persis seperti dikemukakan
Wapres Hamzah Haz,
antara
lain negara sedang kekurangan dana, KB tidak segera
membuat orang
pintar dan
kaya, dan lain-lain.
Namun, apa yang terjadi 10, 15, dan 20 tahun kemudian?
Sebuah ledakan
tenaga
kerja yang amat besar, yang semuanya menuntut lapangan
kerja kepada
pemerintah. Tetapi Pemerintah Rumania saat itu tidak
sanggup
menyediakannya,
lalu terjadilah revolusi sosial terhadap rezim yang
berkuasa, dimulai
oleh
tenaga-tenaga yang sedang mencari pekerjaan. Padahal,
para pencari
pekerjaan
itu merupakan bagian terbesar penduduk Rumania.
Bila pernyataan Wapres itu segera dilaksanakan, maka
"bom waktu" itu
memang
tidak akan meledak tahun 2004 atau tahun 2009
mendatang, tetapi nanti,
10,
15, atau 20 tahun mendatang.
Inilah gunanya kita belajar pengalaman sejarah dari
orang lain, yang
jelek
dibuang dan yang berhasil mencerdaskan serta
mensejahterakan bangsa
kita
ambil. Tidak usah jauh-jauh, contoh saja Malaysia,
tempat ratusan ribu
tenaga kerja kita mengais rezeki di sana. Kita semua
mungkin masih
ingat,
bagaimana Malaysia pada tahun 1960-1970-an mendatang
guru-guru dan
tenaga
medis dari Indonesia. Tetapi, apa yang terjadi kini?
Di bidang
pendidikan
saja, kita tertinggal 20 tahun. Mengapa bisa demikian?
Dengan visi jauh ke depan serta menyimak dan
mempelajari pengalaman
serta
sejarah masa silam, kita akan mendapat kebijakan yang
menguntungkan
semua
pihak, bukan hanya menguntungkan beberapa gelintir
orang atau kelompok
saja.
Dalam membangun bangsa, kita tidak dapat bergerak
sendiri-sendiri,
harus
bekerja sama, dan bergerak secara sinkron.
Tidak ada satu orang, institusi, atau sektor di negeri
ini yang dapat
membangun bangsa menjadi cerdas dan kaya. Karena itu,
kita tidak bisa
mengikuti keinginan membubarkan KB dan dananya untuk
meningkatkan
pendidikan. Jadi bukan KB atau pendidikan, atau
sebaliknya, tetapi
harus KB
dan/dengan pendidikan atau sebaliknya.
Masalah miskin dana dan sarana, bisa diatasi dengan
membaginya secara
cermat
dan merata. Kita harus bergerak bersama,
bergotong-royong mencapai
tujuan
bangsa seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945.
Gotong-royong itu
dilakukan antarsektor pembangunan nasional, antara
pemerintah, swasta,
LSM,
dan tokoh agama/masyarakat, dan masyarakat sendiri.
Pepatah lama, sungguh amat pas untuk menghadapi
persoalan yang sedang
kita
hadapi. "Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul"
dan "Rawe-rawe
rantas,
malang-malang putung."
* SM Hardjo Pengamat Kependudukan, Dosen Mata Kuliah
Ilmu Kependudukan
di
beberapa universitas di Jakarta
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com