[Nusantara] Victor Silaen : Menyikapi Isu Terorisme di Indonesia

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Sep 26 06:36:20 2002


Victor Silaen : Menyikapi Isu Terorisme di Indonesia

Dalam beberapa hari terakhir ini, isu terorisme
menjadi topik menarik 
yang
banyak disoroti oleh media massa di Indonesia. Isu
tersebut dibawa 
masuk
oleh laporan Central Intelligence Agency (CIA) yang
telah dimuat oleh
mingguan Time dan telah beredar ke mana-mana.
Laporan itu menyebutkan, Omar Al-Farouq yang
tertangkap di Indonesia
beberapa bulan silam telah diserahkan kepada Amerika
Serikat (AS). 
Dalam
pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan
intelijen AS, 
Al-Farouq
mengatakan bahwa dirinya adalah anggota terkemuka
jaringan teroris 
Al-Qaeda.
Laporan Time yang belum lama beredar di Indonesia itu
kemudian disusul
dengan berita tentang ditangkapnya seorang warga
negara Jerman 
keturunan
Arab bernama Seyam Reda oleh aparat kepolisian
Indonesia. Ketika 
diperiksa,
Reda mengaku sebagai wartawan televisi kabel
Al-Jazeera—stasiun 
televisi
yang selama ini diketahui telah beberapa kali
menyiarkan pidato Osama 
bin
Laden, pe-mimpin tertinggi Al-Qaeda.
Perihal apakah dia juga terkait, baik langsung maupun
tidak langsung, 
dengan
Al-Qaeda, hingga kini masih harus ditunggu hasil
pemeriksaan aparat 
keamanan
dan intelijen Indonesia.
Menurut laporan Time, Al-Farouq mengaku berencana akan
membunuh 
Megawati
Soekarnoputri sebelum menjadi presiden. Ia bahkan
mengaku pernah 
melakukan
aksi pengeboman di beberapa tempat di Indonesia,
antara lain di pusat
belanja Atrium Senen, Jakarta, pada Agustus 2001.
Dalam peristiwa itu seorang bernama Dani alias Dodi,
yang bernama asli
Taufik Abdul Halim, telah dijatuhi hukuman oleh
pengadilan Indonesia.
Dani sendiri adalah seorang warga negara Malaysia,
anggota Kelompok
Mujahidin Malaysia, yang setelah masuk ke Indonesia
secara ilegal 
bersama 10
warga Malaysia lainnya kemudian bergabung dengan
Laskar Jihad Mujahidin 
di
Maluku.
Pemuda yang diduga anggota teroris internasional ini
pernah tinggal di
Pakistan selama tiga tahun dan mengaku benci kepada
kaum Nasrani (lihat
Tempo edisi 20-26 Agustus 2001). Dalam keterangannya
yang lain, ia juga
mengaku bahwa peledakan bom di Gereja Santa Anna,
Jakarta Timur, 
sepekan
sebelumnya, merupakan hasil kerja kelompoknya.
Itu baru sedikit contoh saja, belum lagi
peristiwa-peristiwa lainnya. 
Tapi
jelas, ancaman terorisme itu sungguh mengerikan kita
semua. Apalagi 
jika
pengakuan Al-Farouq benar, bahwa dia pernah berencana
akan membu-nuh
Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, apa reaksi gian masyarakat Indonesia?
Alih-alih merasa 
takut
atau panik, yang lalu berpikir serius untuk
mengantisipasi pelbagai hal 
yang
berkait dengan kemungkinan terorisme di sini, mereka
malah menuduh AS 
cuma
ingin mengintervensi kebijakan politik dalam negeri
Indonesia, dan ada 
juga
yang mengatakan AS ingin menjadikan Indonesia sebagai
kaki-tangannya 
dalam
memerangi terorisme internasional.
Hal itu sungguh sebuah paradoks! Dan sayangnya, tak
sedikit di antara
orang-orang yang berkomentar sumbang terhadap AS itu
berlatar 
pendidikan
tinggi. Paradoksnya apa dan bagaimana?
Tak lama setelah serangan terorisme terhadap AS
terjadi (yang kemudian
disebut "Peristiwa 911"), Pemerintah AS secara resmi
mengumumkan hasil
investigasinya bahwa Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama
bin Laden adalah
pihak yang diduga kuat sebagai pelaku utama tindakan
biadab itu.
Lalu, apa reaksi sebagian orang Indonesia? Alih-alih
menyatakan 
simpati,
mereka malah menilai AS telah sembarang menuduh. Jika
benar AS bersikap
demikian, tentu sangatlah baik jika orang-orang
Indonesia yang menuduh 
AS
seperti itu berupaya keras mencari kebenaran yang
sesungguhnya.
Tapi, alih-alih melakukan hal itu, sebagian di antara
mereka malah
mengelu-elukan Osama bin Laden bak seorang pahlawan.
Apa dan siapa 
Osama bin
Laden itu padahal mungkin mereka tak tahu sama sekali.
Aneh bukan? Yang
lebih aneh lagi, di Lampung bahkan muncul sebuah forum
"kagetan" 
bernama
Front Osama, yang diketahui ikut terlibat dalam
aksi-aksi demo terhadap 
AS.
Selanjutnya, mereka melakukan aksi sweeping di
sejumlah tempat yang 
dianggap
ada kaitannya dengan AS (termasuk terhadap sejumlah
warga negara AS 
yang
tengah berada di Indonesia).
Tindakan mereka jelas merugikan secara ekonomi,
termasuk citra 
Indonesia di
mata orang asing. Puncaknya, mereka lalu merencanakan
jihad untuk 
membela
Afghanistan yang tengah dibombardir AS dan sekutunya.
Bersamaan dengan 
itu,
mereka lalu meminta Pemerintah RI untuk memutuskan
hubungan diplomatik
dengan AS.
Secara rasional, jihad yang bertujuan mulia itu
padahal akan lebih 
bermakna
jika ditujukan untuk memerangi para penjahat
sosial-politik-ekonomi di 
dalam
negeri sendiri. Bukankah di negeri ini banyak
koruptor, banyak pengedar
narkoba, banyak pelanggar hak asasi manusia, dan yang
sejenisnya? Jadi,
mengapa harus repot-repot berjihad ke negeri orang?
Cara berpikir 
seperti
apa, sebenarnya, yang mereka gunakan?
Singkatnya, gerakan protes sebagian orang Indonesia
terhadap AS pun 
berakhir
juga. Lalu, bencana alam (atau musibah yang diundang?)
pun datang: 
banjir di
berbagai pelosok Indonesia, termasuk di Jakarta.
Mereka yang sebelumnya 
giat
berdemo memprotes AS, entah di mana rimbanya waktu
itu.
Yang jelas, AS termasuk di antara para dermawan yang
berbelas kasihan
menyaksikan korban-korban bencana alam itu. Tanpa
memandang bulu, 
mereka
bertindak konkret: memberi bantuan. Adakah aksi protes
dari orang 
Indonesia
terhadap perbuatan AS yang terpuji itu? Tidak.
Tapi, itu tentu mudah dipahami. Bantuan, masakan
diprotes? Tapi, di 
dalam
hal itulah sesungguhnya paradoks sebagian orang
Indonesia tadi terlihat
jelas. Jika apa yang dilakukan AS memberi keuntungan
bagi kita secara
materil, bahkan juga non-materil, kita berdiam diri
saja (termasuk 
dalam
kategori itu adalah sikap yang terkadang tak tahu
berterima kasih).
Sebutlah, misalnya, bantuan-bantuan kemanusiaan dan
pendidikan yang 
selama
ini telah banyak diberikan AS. Bahkan yang tak
jelas-jelas memberi
keuntungan pun, asalkan citradiri kita ikut terangkat
karena AS, 
dijamin tak
akan ada aksi protes yang akan kita lakukan terhadap
mereka. Sebutlah,
misalnya, kesukaan menyantap junkfood ala AS. Oh,
betapa bangganya.
Mengenakan pakaian atau benda-benda lain produksi AS,
nah itu baru 
trendy.
Sesungguhnya masih banyak contoh yang dapat
dikemukakan untuk 
menggambar-kan
betapa paradoksnya sebagian orang Indonesia dalam
bersikap terhadap AS.
Tuduhan mereka terhadap Osama bin Laden dan Al-Qaeda
sebagai pelaku 
utama
"Peristiwa 911" itu, misalnya, sebenarnya apa yang
merugikan kita 
sehingga
kita layak memprotes AS?
Aksi militer yang dilakukan AS terhadap Afghanistan,
contoh lain, 
sebenarnya
apa kaitannya dengan kita sehingga kita lalu tergerak
untuk berjihad 
membela
Afghanistan? Kalaulah alasannya ada-lah rasa
kemanusiaan, boleh jadi 
ini
sikap yang terpuji—meski harus dicermati secara
rasional bahwa aksi 
militer
AS terhadap Afghanistan itu sendiri sebenarnya
dilandasi rasa 
kemanusiaan:
untuk membebaskan rakyat Afghanistan dari penindasan
rezim Taliban.
Itu jelas bukan alasan di balik aksi jihad sebagian
orang Indonesia 
tadi.
Karena sesungguhnya, yang menjadi alasan adalah
kesamaan agama semata. 
Hal
ini pun sesungguhnya harus dicermati secara rasional:
agama sebagai 
pedoman
hidup atau agama sebagai identitas belaka?
Kalaulah agama sebagai pedoman hidup yang menjadi
alasan, sesungguhnya 
kita
justru harus prihatin terhadap nasib jutaan rakyat di
bawah 
pemerintahan
rezim Taliban itu. Sebagian besar mereka hidup di
dalam ketidakbebasan 
dan
kesengsaraan.
Bukankah itu justru merupakan hal-hal yang harus
diperangi oleh 
agama—agama
manapun? Sedangkan jika agama sebagai identitas yang
dijadikan alasan, 
maka
di dalam hal inilah kita perlu belajar secara kritis
untuk 
memilah-milah
identitas mana yang boleh dikedepankan dan di dalam
konteks apa.
Mengapa dua orang Ambon yang beragama Kristen dan
Islam mudah 
berkonflik di
Maluku, sedangkan jika mereka sedang studi di AS
justru berteman akrab?
Karena di Maluku mereka mengedepankan agama sebagai
identitas, 
sementara di
AS justru identitas kebangsaanlah yang diaktifkan.
Itulah yang dimaksud dengan kritis memilah identitas
mana yang boleh
dikedepankan dan di dalam konteks apa. Di tengah
kehidupan yang kian 
modern
dan majemuk ini, harus disadari bahwa agama sebagai
identitas 
seyogianya
lebih sering dan lebih banyak dikebelakangkan atau
dinonaktifkan saja.
Alasannya, karena ia selalu siap memicu konflik di
tengah proses-proses
interaksi antarindividu maupun kelompok yang beraneka
ragam. Dan jika
konflik berdasar perbedaan agama itu sudah terjadi, ia
merupakan 
sejenis
konflik yang terbesar, terpanjang, dan tersulit untuk
diselesaikan di
sepanjang sejarah dunia ini.
Kembali pada isu terorisme yang diekspor AS ke
Indonesia selama 
beberapa
hari terakhir ini, lalu bagaimana sepatutnya kita
bersikap? Pertama,
jaringan terorisme internasional dewasa ini, apakah ia

direpresentasikan
oleh Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden atau
oleh organisasi 
apa
saja dengan pimpinan siapa saja, sesungguhnya ia harus
membuat kita 
waspada.
Dengan sikap seperti itu, aka selanjutnya kita
bertindak proaktif dan
antisipatif. Bahwa dugaan AS tentang adanya sel-sel
jaringan terorisme 
itu
di Indonesia tidak benar, walahuallam. Tapi,
berdasarkan fakta bahwa 
bom
demi bom sudah berulang kali meledak di negeri ini,
tidakkah kita lebih 
baik
bagi kita untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berorientasi 
preventif?
Kedua, secara jujur harus diakui bahwa selama ini kita
telah menerima 
banyak
keuntungan dan mengambil manfaat dari upaya menjalin
hubungan yang baik
dengan AS.
Karena itu, dengan tidak mengurangi sikap kritis,
mengapa kita tidak
bersikap kooperatif terhadap AS dalam upayanya
memerangi terorisme 
global
itu?
Ingatlah, AS sudah pernah melontarkan pertanyaan besar
bagi 
negara-negara di
dunia:"You are either with us or againts us?" Beberapa
negara, seperti
Pakistan, Filipina, Malaysia, dan Singapura, telah
menjawabnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita
sekarang menjawabnya 
secara
tegas, dan lalu menin-dak-lanjutinya secara konkret?
Ataukah memang
Indonesia sejenis bangsa ambigu, yang di dalam banyak
hal tak pernah 
jelas
pendiriannya?

Penulis adalah Dosen Fisipol UKI dan kandidat Doktor
Ilmu Politik UI.

=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com