[Nusantara] A Muhaimin Iskandar : Otonomi Daerah dan Ancaman Disintegrasi
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Sep 26 06:36:36 2002
A Muhaimin Iskandar : Otonomi Daerah dan Ancaman
Disintegrasi
Wakil Ketua DPR
MUNCULNYA kebijakan otonomi daerah sebagai kelanjutan
konsep
desentralisasi,
tidaklah terjadi begitu saja. Secara umum kebijakan
ini muncul karena
penerapan konsep dan praktik pembangunan yang tidak
berangkat dari
kebutuhan
masyarakat lokal (local needs). Model pembangunan
bercorak sentralistik
yang
diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru sama sekali
tidak berorientasi
pada
penguatan basis dan sistem ekonomi kerakyatan.
Selain itu, kebijakan ini muncul sebagai respons dari
semakin
melebarnya
kesenjangan dan semakin tersebarnya ketidakadilan.
Selama ini, model
pembangunan lebih menekankan pada aspek pertumbuhan
(developmentalism),
ketimbang aspek pemerataan. Walhasil, berimplikasi
negatif dengan
semakin
lebarnya disparitas yang tentunya memunculkan
ketidakadilan.
Alasan inilah, selain masih banyak alasan lainnya,
yang mengilhami
pemikiran
tentang mendesaknya pemberian hak yang lebih luas
kepada daerah dengan
solusi desentralisasi wewenang dalam bentuk otonomi
daerah. Namun,
pemberian
otonomi kepada daerah bukan untuk menggemukkan
birokrasi pemerintahan
daerah
dan bukan pula menjadikan birokrasi daerah sebagai
centered power
(pusat
kekuasaan). Melainkan memberikan keleluasaan kepada
pemerintah daerah
untuk
memfasilitasi peran serta, prakarsa, aspirasi, dan
pemberdayaan
masyarakat.
Alasan ini pula yang sekaligus menjadi dasar filosofi
dari munculnya UU
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
UU 5/1974.
Sebagai
paketnya kemudian muncul UU 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sekaligus sebagai
pengganti UU 32/1956.
Namun, di tengah maraknya tuntutan agar pemerintah
daerah diberikan hak
yang
luas, muncul kekhawatiran dan kecemasan seputar
munculnya gejala dan
potensi
disintegrasi bangsa. Kecemasan ini masuk akal,
mengingat sampai hari
ini
kecenderungan pecahnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) terus
menguat dan masih menggema di sejumlah daerah.
Kebijakan desentralisasi melalui UU 22/1999 sebetulnya
bukan hanya
upaya
koreksi total dari kebijakan lama yang sentralistik,
namun yang lebih
penting, sebagai langkah untuk meredam gejolak dan
semangat pemisahan
dari
NKRI. Kebijakan sentralistik yang lebih menonjolkan
keseragaman
daripada
keragaman terbuki gagal dan menciptakan kesenjangan,
ketidakadilan, dan
ketidakpuasan yang sangat mendalam.
Dalam konteks ini, kecemasan bakal semakin menguatnya
potensi
disintegrasi
apabila kewenangan daerah diperluas, sebetulnya
tidaklah beralasan.
Sebaliknya, model sentralistik dan memaksakan
keseragaman, tanpa
memberikan
wewenang kepada daerah dan tanpa mempertimbangkan
kondisi, potensi, dan
resources suatu daerah, malah akan semakin memperkuat
disintegrasi
serta
ancaman bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Secara normatif, UU 22/1999 sebetulnya juga
menyinggung persoalan
kedaulatan
dan eksistensi negara. Hal ini tecermin dalam Pasal 1
(poin e) bahkan
dalam
Pasal 22 poin a. Persoalannya, memang tidak
sesederhana seperti bunyi
pasal-pasal tersebut meski, sekian pasal di atas telah
memberikan porsi
kepada antisipasi disintegrasi bangsa. Namun munculnya
kebijakan ini
tidak
secara otomatis menghilangkan semangat memisahkan diri
dari NKRI.
Persoalan
krusialnya terletak pada masih kuatnya
benturan-benturan kepentingan
dan
masih kuatnya perbedaan penafsiran tentang kewenangan
antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, terutama dalam mengelola
sumber dayanya.
Sampai hari ini masih terjadi perbedaan penerjemahan
yang tajam antara
pusat
dan daerah. Situasi seperti ini memang sulit
dihindari, karena dominasi
peran pemerintah pusat, setidaknya sampai hari ini
masih terjadi,
sehingga
menekan dan mematikan inisiatif dan prakarsa daerah.
Sebaliknya,
pandangan
daerah yang ekstrem dan hanya melihat kepentingan
masing-masing tanpa
memerhatikan daerah lain dan kepentingan nasional,
juga mengakibatkan
konflik kepentingan.
Kedua pandangan ekstrem tentang penafsiran kepentingan
tersebut sangat
mengganggu upaya implemenasi kebijakan otonomi daerah.
Hubungan
pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah cenderung konfliktual
dan tidak mampu
melakukan kerja sama dengan penuh pengertian. Model
hubungan ini justru
kontraproduktif, yang berakibat pada lambannya
pembangunan di sejumlah
daerah.
Demikian pula di bidang politik, menurut pandangan
pemerintah pusat,
pengaturan jabatan-jabatan politik di daerah sudah
cukup luas. Namun
daerah
masih menganggap campur tangan pusat masih tinggi
sehingga menghambat
pelaksanaan otonomi daerah dan pengembangan demokrasi.
Akibanya, timbul
tuntutan-tuntutan atau gugatan dari daerah yang pada
akhirnya bukan
tidak
mungkin mengarah kepada disintegrasi.
Perbedaan kepentingan antara kebebasan
mengimplementasikan otonomi dan
memelihara terjaganya eksistensi negara, biasanya
menimbulkan
kekhawatiran
dari pemerintah pusat akan terjadinya upaya memisahkan
diri dari daerah
apabila daerah diberi keleluasaan terlalu jauh.
Kecemasan ini sering
tumbuh
menjadi kecurigaan berlebihan dari pusat yang akhirnya
akan memunculkan
konflik kepentingan yang berlarut-laut.
Karena itu, problemnya, sebagai derivasi dari
persoalan krusial di atas
adalah sejauh mana keleluasaan otonomi dapat diberikan
kepada
pemerintah
daerah, agar daerah mampu berfungsi otonom, mandiri,
berdasarkan asas
demokrasi dan kedaulatan rakyat tanpa mengganggu
stabilitas dan
integrasi
bangsa. Idealnya kemandirian daerah otonom yang kuat
justru diharapkan
menjadi penyangga bagi tetap terjaganya eksistensi
negara.
Secara formal, kewenangan daerah tertulis dalam Pasal
7 UU 22/1999.
Ditegaskan pula bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai
berbagai
ketentuan
kewenangan ini akan ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Kalau kita cermati pasal ini, memang belum ada
kejelasan mengenai
kewenangan
pusat dan daerah. Justru, kewenangan pusat masih
sangat luas, bahkan
pusat
memiliki kesempatan untuk tetap terlibat jauh dalam
urusan daerah,
seperti
pada Pasal 7 ayat 2 di atas yang bersifat 'karet'.
Sekian banyak pasal
di
atas rawan memunculkan multitafsir kewenangan dan
kepentingan dari
pemerintah pusat maupun daerah. Akibatnya, pasal-pasal
ini sering kali
justru memunculkan konflik kepentingan dan kewenangan.
Ditambah oleh
semakin
kompleksnya persoalan di lapangan atau pada
implementasinya yang
tentunya
lebih ruwet.
UU 22/1999 secara ideal merupakan langkah strategis
untuk
mengantisipasi dan
mencegah makin berkembangnya gejolak separatisme dan
disintegrasi
bangsa.
Namun, masih banyak persoalan yang mengganggu pada
tingkat
implementasinya.
Hal ini berkaitan dengan realisasi konsep otonomi
daerah di lapangan
yang
masih tersendat-sendat karena belum rincinya pembagian
wewenang antara
pusat
dan daerah. Belum siapnya aparatur baik di tingkat
pusat maupun di
daerah,
munculnya sentimen kedaerahan (primordialisme) yang
berlebihan, dan
buruknya
koordinasi antara aparat pusat dan daerah.
Oleh karena itu, jika sejumlah persoalan di atas tidak
bisa dituntaskan
secepatnya, maka upaya mengantisipasi potensi
disintegrasi bangsa
tampaknya
masih menjadi tanda tanya besar. Selain itu, lambatnya
menyelesaikan
sejumlah kendala ini juga akan menghambat pelaksanaan
kebijakan ini
yang
akan menambah lebarnya kesenjangan dan ketidakadilan.
Mendorong daerah
untuk
lebih aktif dalam melakukan kegiatan operasional UU
ini merupakan
langkah
penting, meski kadang-kadang harus melalui trial and error.***.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com