[Nusantara] Rebecca Khoo : : Hura-Hura Tikus-Tikus BPPN

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Sep 26 10:12:27 2002


Setelah tahun lalu melaporkan penghamburan dana untuk Humas, 
Konsultan dan Training yang mencapai ratusan milyar per posnya oleh 
BPPN, muncullah lagi laporan hura-hura yang luar biasa ini.
 
'Kami dibayar U$ 300,000 hanya untuk foto-copy dokumen salah satu 
perusahaan konglomerat kakap di bawah BPPN. Cukup kirim beberapa 
junior assistants dan office boys untuk kerja gampang berupah besar 
begini'. Cerita seorang konsultan dari foreign firm sekitar 2 tahun 
lalu.
 
Tiap tahun, officer2 BPPN mendapat jatah training yang lantas dipakai 
untuk training ke luar negeri yang tidak ada impactnya untuk 
pekerjaannya, dengan pocket money ratusan US$ sekali jalan yang 
dipakai hura2 shopping di Orchard atau Mong Kok.
 
Pegawai2 BPPN yang direkrut dari eks2 pegawai BBO/BTO bergaji 
standard, tapi pegawai yang terkategori 'professional hire' (baca : 
pegawai yang ditarik masuk pegawai lain yang sudah lebih dulu masuk 
melalui jalur khusus) sangat tinggi, padahal yang dilakukan orang2 
ini hanya pushing files from desk to desk. Datang siang2 terus 
berpura2 sibuk sore hari, berlembur2 sampai malan untuk earn credit, 
earn off time pay dan memboroskan listrik.
 
Katanya di bawah Putu Ary Suta sudah mulai ada penghematan, cost-
cutting, efficiency, ketimbang zaman 1001 malam di bawah Cacuk. 
Kenyataannya sang Putu ini saja menghabiskan Rp 200 juta hanya untuk 
urusan nembak2in pelor ke udara.
 
Tak heran para Ketua BPPN kalau dipecat nggak ribut2, soalnya nggak 
rugi, biarpun periode kerjanya cuma sebentar -- sudah menikmati uang 
bensin sebulan Rp 15 juta, pesangon Rp 400 juta plus uang sewa rumah 
Rp 200 juta -- yang tentu saja masuk kantong sendiri sebab mereka kan 
punya rumah, bukan gelandangan.
 
Pikirnya, wong jabatannya juga nggak lama, mendingan aku kuras 
sebanyak mana bisa. Sama seperti tikus2 BPPN lainnya -- wong BPPN ini 
umurnya juga disepakati hanya 5-6 tahun, mesti pesta-pora selagi bisa 
dan kuras sebanyak-banyaknya !
 
Brgds,
 
 
Becky.
 
==================================================================
Majalah TEMPO
No. 30/XXXI/23 - 30 September 2002

Laporan Khusus
Hura-Hura di Wisma Danamon

Inilah pengeluaran ala BPPN: untuk mempercantik kantor ketua dan 
wakilnya Rp 1,2 miliar, renovasi ruangan Rp 2 miliar, dan Rp 20 juta 
sebulan untuk peluru latihan menembak. 
 
DUA tahun silam, seorang ahli keuangan yang lama malang-melintang di 
mancanegara dibuat terbengong-bengong oleh perlakuan istimewa yang 
diterimanya di negeri sendiri, yang jelas-jelas sedang dilanda krisis 
ekonomi. Ketika itu ia dikontrak untuk mengepalai sebuah unit khusus 
di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Bukan dampak krisis berupa 
gunungan pekerjaan yang jadi penyebabnya. Yang bikin ia melongo 
adalah ruang kerjanya yang superluks, lapang, dan sejuk, dengan mebel 
kelas satu plus kamar mandi pribadi. Mirip ruang kerja seorang CEO di 
negara maju. "Itu kantor termewah yang pernah saya tempati," katanya 
terus terang. Yang membuatnya lebih takjub ialah betapa kamar 
mengkilap itu masih juga bolak-balik dipermak. Sekali waktu karpetnya 
diganti, kali lain pegangan pintunya dipercantik dengan gerendel dari 
jenis brons. "Mereka terus melakukan renovasi," tuturnya sambil 
geleng-geleng kepala. 
 
Kisah itu bukanlah dongeng di siang bolong. Data keuangan autentik 
yang diperoleh TEMPO menunjukkan betapa kas Badan Penyehatan 
Perbankan Nasional (BPPN), yang notabene berisi duit negara, telah 
dihambur-hamburkan dalam skala mencengangkan. 
 
Salah satu yang paling mencolok adalah sebuah proyek besar yang masih 
berlangsung hingga kini: mendandani ruang kerja Ketua BPPN Syafruddin 
Temenggung dan wakilnya, Sri Sumantri Slamet, di lantai 24 dan 30 
Wisma Danamon Aetna Life. Biaya renovasinya: Rp 1,2 miliar. Perlu 
dicatat, ongkos ini setara dengan biaya pembangunan 16 gedung sekolah 
dasar negeri atau 48 puskesmas di pelosok desa. Lebih "hebat" lagi, 
renovasi ini dilakukan bukan karena selama ini bagi Syaf dan Sumantri 
hanya tersedia tikar selembar. 
 
Ruang kerja ketua sebelumnya, I Putu Gde Ary Suta, di lantai 30 Wisma 
Danamon Anggana, sesungguhnya tak kurang mewah karena dipermak lagi 
begitu Putu dilantik. Sebelumnya kamar ini diwarisi Putu dari 
pendahulunya,Cacuk Sudarijanto, dan juga telah direnovasi begitu 
Cacuk berkantor di situ. Celakanya, hobi permak gedung ini sudah 
menjadi kebiasaan-kalau tak mau dikatakan sudah mewabah. Data 
menunjukkan, dalam tempo satu setengah tahun-dari Januari tahun lalu 
sampai Juni kemarin-beberapa divisi juga main rombak sana rombak sini.

Total nilainya Rp 2 miliar. Ini jelas pemborosan luar biasa, kata 
sumber TEMPO. Wisma Danamon bukanlah sebuah bangunan lapuk yang perlu 
sebentar-sebentar ditambal agar tak bocor di kala hujan. Gedung ini 
adalah sebuah pencakar langit super-mentereng di kawasan elite 
Sudirman, Jakarta, yang baru ditempati empat tahun lalu. Pengecekan 
TEMPO menunjukkan, data pengeluaran duit itu autentik. 
 
Kontraktor PT Batara Mega Krida Kencana mengakui memang telah 
merenovasi kantor Ketua dan Wakil Ketua BPPN. "Benar, sekitar empat 
bulan lalu. Salah satunya kantor Pak Syaf," kata Henry, bos Batara.

Ada dua ruangan yang dipermak, masing-masing seluas 250 meter 
persegi, meliputi pengerjaan plafon, dinding, dan lantai. Konfirmasi 
juga didapat dari PT Caturgriya Naradipa. Budiawan, pemimpin proyek, 
menyatakan perusahaannya pernah mendapat proyek renovasi interior di 
lantai 28 dan 31 Anggana serta lantai 2 dan 15 Aetna. Pekerjaan di 
dua lantai terakhir makan biaya paling besar, sekitar Rp 3 miliar, 
meliputi penggantian pintu, lantai, dinding, hingga mebel.

"Ada beberapa ruangan yang sebenarnya masih bagus," kata 
Budiawan, "Tapi katanya tidak sesuai dengan selera dan minta 
dibuatkan baru." Selain soal permak kantor, banyak hal "ajaib" lain 
yang dibebankan ke kas BPPN. Salah satunya adalah pembelian senjata, 
berikut pelurunya, untuk Putu Ary Suta-saat ia duduk di kursi ketua. 
Dan nilainyapun "nauzubilah".

Pada 9 Maret lalu, misalnya, tercatat pengeluaran Rp 1,5 juta untuk 
pembelian 100 butir pelor. Ada apa gerangan? Ada yang mengancam jiwa 
Putu?

Sama sekali tidak. Ternyata peluru itu buat dia berlatih menembak. 
Dan Putu getol betul menyalakkan pistolnya. Tiap bulan, setidaknya Rp 
20,3 juta mesti dirogoh untuk membeli 1.600 butir peluru, khusus buat 
bos BPPN yang juga mengembangkan hobi mengoleksi kendaraan militer 
itu. Putu menjabat selama 10 bulan. Jadi, berapa total duit yang 
dihamburkan buat urusan tembak-menembak ini, silakan dikalkulasi 
sendiri. 
 
Kas BPPN menyediakan segalanya. Kartu Halo nomor "cantik" senilai 600 
ribu perak pun bisa dibeli pakai duit negara. Salah satunya tertera 
dalam surat permintaan bernomor 0483/PNAT/HRD/0302 pada Maret 
kemarin. Surat itu menyebutkan kartu telepon seluler ini dibeli untuk 
Wakil Ketua Sri Sumantri, yang konon bergaji Rp 150 juta sebulan dan 
merupakan pejabat BPPN tersugih dengan kekayaan senilai Rp 13,8 
miliar plus US$ 76 ribu. 
 
Upah petinggi BPPN memang setinggi langit. Ketua BPPN Cacuk 
Sudarijanto mengaku beroleh gaji pokok Rp 75 juta. Ini di luar macam-
macam tunjangan: Rp 15 juta uang bensin bulanan dan Rp 200 juta 
ongkos kontrak rumah setahun. Selain itu, ia juga masih menikmati 
pesangon sekitar Rp 400 juta, yang didapat dari klaim asuransi 
jabatan dalam bentuk dolar dan dinikmati mulai dari jajaran deputi 
BPPN. 
 
Asas pemerataan juga berlaku di BPPN. Paling tidak, untuk jajaran 
menengah dan bawah, duit digelontorkan buat pesta-pora. Hal itu 
terjadi sewaktu memperingati Proklamasi, ketika sebuah pesta rutin 
digelar. Tahun ini ia diberi tajuk "Gebyar Tujuh Belasan". Acara 
bergoyang-ria itu diadakan di suatu malam Minggu, 31 Agustus lalu, di 
Gedung Patra Jasa, Jakarta. Semalam suntuk, sekitar 1.000 staf BPPN 
dihibur artis top sekelas Rita Effendi dan Cici Paramida, seraya 
diiringi band Purwacaraka. 
 
Acara semacam ini, menurut kalkulasi seorang manajer event organizer, 
setidaknya menyedot dana Rp 200 juta. Tim auditor Badan Pemeriksa 
Keuangan pun termasuk yang kecipratan fulus. Selama pemeriksaan 
digelar, tiap suap makanan mereka ternyata selalu dibayari oleh 
lembaga yang mestinya galak dipelototi itu. Untuk pos ini tercatat 
ada pengeluaran senilai Rp 235 juta.

Bambang Wahyudi, anggota Badan Pemeriksa, mengakui pihaknya secara 
rutin mendapat "uang makan" dari BPPN meski tiap hari pun mereka 
telah beroleh ongkos jalan Rp 15 ribu per orang dari Badan Pemeriksa. 
Tapi, katanya lagi, "Ini kan biasa, tak akan mempengaruhi 
pemeriksaan."

Dompet BPPN juga tercatat menyalurkan Rp 123,5 juta sebagai "dana 
operasional Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya". Di antaranya, 
setoran untuk asisten intelijen senilai Rp 76 juta pada Januari dan 
Mei lalu. Pengeluaran BPPN memang mencengangkan.

Menurut seorang pejabat BPPN yang telah melihat rencana anggaran 
2003, di tahun depan pengeluaran telah dipatok Rp 1,4 triliun, 
termasuk di dalamnya Rp 15 miliar biaya kehumasan untuk memoles wajah 
BPPN yang babak-belur di media. Sayang, ketika ditanya ihwal 
kebenarannya, Syafruddin, melalui Kepala Divisi Komunikasi Raymond 
van Beekum, menolak menjelaskan duduk soal penggunaan uang negara 
ini. Alasannya?

"Pertanyaan Anda tidak relevan," katanya dalam nada menyepelekan. 
Putu Ary Suta juga begitu. Berkali-kali dikontak, sekretarisnya cuma 
mengatakan, "Nanti dulu."

Gerakan "diam itu indah" juga ditempuh Kepala Penerangan Kodam Jaya, 
Letkol Apang Sopandi. Menyatakan akan mengecek dulu duduk soalnya, 
Apang tak menjawab pertanyaan TEMPO. Cuma, menurut Apang, asisten 
intelijen yang menjabat di masa fulus itu mengucur adalah Kolonel 
GedeSugiarta. Lalu, ada kaitan dinas apa antara BPPN dan instansinya? 
Apang berkata, "Kalau dipikir secara logis sih memang tidak ada."

Itulah soalnya. Sederet tanda tanya di atas, yang dibilang 
Raymond "tak relevan", jelas merupakan persoalan serius. Inilah bukti 
betapa keuangan BPPN, lembaga yang ditugasi menyehatkan perbankan, 
ternyata dikelola dengan cara-cara tak sehat. Tak aneh, ketika 
mengaudit laporan keuangan BPPN 1999 dan 2000, firma Hans Tuanakotta 
& Mustofa menganugerahkan status disclaimer alias tak dapat 
memberikan pendapat.

Penyebabnya, "Karena informasi yang tidak lengkap, ketidakpastian, 
danketerbatasan ruang lingkup audit." Raymond agaknya perlu menyimak 
penilaian ekonom Chatib Basri sesaat setelah mencermati data yang 
diperoleh TEMPO. 
 
"Ini gila," kata Chatib, gemas. "Lembaga yang diberi tugas 
menyelamatkan harta negara malah sembarangan menghambur-
hamburkannya." 
 
(Karaniya Dharmasaputra, Multazam, Dara Meutia Uning, Rommy Fibri) 
 
Catatan: merupakan rekapitulasi dari data rinci pengeluaran dana.
Sumber: data BPPN