[Nusantara] Indra J Piliang : Fungsi Intelektual: Kapal Selam atau Ikan Paus?
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Sep 28 10:49:08 2002
Fungsi Intelektual: Kapal Selam atau Ikan Paus?
Indra J Piliang
Sejumlah partai politik baru lahir seiring dengan
semakin tingginya
arus
apatisme politik di kalangan masyarakat. Uniknya,
partai baru ini
didirikan
oleh kalangan yang sering disebut sebagai pakar,
ilmuwan atau kaum
intelektual. Terlihat sekali betapa fungsi kaum
intelektual sudah jauh
berubah, tidak lagi sekadar menjalankan fungsi
kenabian, melainkan
dibutuhkan di lapangan politik praktis, baik sebagai
intelektual
organis
(Antonio Gramsci) maupun menjadi tombak revolusi (Ali
Syariati).
Dalam banyak aspek, kaum intelektual kini seakan
mengulangi
perkembangan
Indonesia pada awal pergerakan nasional, yakni
menjadikan diri sebagai
politikus, sekaligus tetap sebagai kaum intelektual.
Intelektual
seperti ini
tidak hanya menunggu momentum, tetapi juga
menciptakannya. Ia tak
sekadar
berdiri di pengkolan jalan seperti preman menunggu
taksi dicegat
penumpang,
lantas minta "uang parkir" sambil memegangi kaca
spion. Melainkan ia
turut
menjadi sopir guna merasakan kehidupan jalanan,
kemacetannya, sekaligus
polusi udara yang diciptakan, juga sambung-sinambung
lingkaran mafia
pertaksian, mulai dari izin armada baru yang mudah
keluar, sampai
perlakuan
tak manusiawi kepada sopirnya.
Persoalannya, apakah kaum intelektual seperti ini
memiliki cukup
kesabaran?
Sejumlah politisi baru itu tetap menjadikan dirinya
sebagai pengamat,
sekaligus politikus yang belum punya kursi di parlemen
dan
pemerintahan.
Dalam masa transisi itulah, mereka berprofesi ganda.
Di sinilah letak
masalahnya, dengan dua profesi, berpikir sekaligus
bertindak, bisakah
sudut
kearifan muncul?
Kapal Selam
Dari sinilah, saya ingat istilah kapal selam yang
sungguh berbeda
dengan
salah satu jenis Empek-empek Palembang yang paling
besar dan
mengenyangkan.
Kapal selam ini, murni kapal selam dalam dunia laut,
terutama di bidang
kemiliteran, atau demi kepentingan ilmu pengetahuan.
Kalau dibayangkan
kapal
selam seperti ini dalam menjalankan tugasnya dekat
dengan laut, malah
hidup
di laut, dalam kedalaman samudera. Ia bertemu berbagai
jenis makhluk,
biota,
juga beraneka benda yang tenggelam. Radarnya berfungsi
menunjukkan arah
kapal, dan sasaran.
Sekalipun kapal selam identik dengan benda laut,
tetapi ia bukanlah
bagian
dari laut itu sendiri. Laut dan kehidupannya dikenal
sebagai objek.
Dalam
perkembangannya, objek apabila disematkan kata sifat,
menjadi objektif,
lalu
proses dan hasilnya disebut objektivitas dan
objektivikasi. Sedangkan
orang
dan kinerjanya dalam kapal selam, lengkap dengan
perangkat
teknologinya,
bahkan torpedo yang dibawanya, dinamakan
subjek-subjektif-subjektivitas-subjektivikasi. Butuh
data sasaran yang
akurat, informasi yang lengkap, sebelum sebuah
tindakan dilakukan oleh
kapal
selam, sebut saja tembakan torpedo ke arah kapal musuh
di permukaan
laut
atau pangkalan asing di darat.
Dengan seluruh kecanggihannya, apa yang berlangsung
dalam kapal selam
itu
adalah bagian dari pekerjaan intelektual. Bisa jadi
merupakan gabungan
dari
pemikiran dan tindakan sekaligus. Alangkah konyolnya,
ketika kapal
selam itu
hendak menabrak karang, atau masuk terlalu jauh ke
palung laut terdalam
di
Laut Banda dan Tasmania, kaum intelektual yang ada di
kapal membiarkan
saja,
untuk tak mempengaruhi objeknya. Selama manusia masih
mempunyai naluri
untuk
hidup, berkembang biak, selama itu pula organ-organ
dalam dirinya akan
memandu ke arah keselamatan diri, juga kesejahteraan,
kedamaian,
kemakmuran,
dan juga kebebasan.
Begitu pula kaum intelektual yang hidup di tengah
spesies manusia
lainnya,
di darat, baik yang kemudian dikenal sebagai negara,
kampung, kota,
komunitas tribal, atau katakanlah organisasi politik.
Tak mungkin kaum
intelektual itu punya kekebalan atau imunitas (seperti
perubahan UUD
1945
yang memberikan hak imunitas kepada anggota DPR),
kalau ia berinteraksi
dengan manusia, pranata, lingkungan, atau organisasi
di sekitarnya. Tak
terkecuali untuk kehidupan politik. Ketika pikiran
kaum intelektual itu
mendapatkan respons dari, katakanlah, komunitas
politik, saat itulah
fungsi
intelektual organis berjalan.
Ketika sebuah teks lahir, katakanlah karya intelektual
tertentu yang
menyigi
persoalan teramat mikro, seperti pengaruh kalimat
"Emang Gue Pikiran"
di
kalangan anak baru gede (ABG) pada psikologi
perkembangan atau
interaksi
sosial pengucap- nya -, saat itu pula fungsi
intelektual organik
berjalan.
Buah karya intelektual berupa teks, juga suara,
pancaran aura, bahkan
bahasa
tubuh, adalah organisme hidup yang mencari jalannya
sendiri. Ketika
buah
karya itu dikawal oleh sang penciptanya, saat itu juga
teks itu menjadi
kerdil, atau malah mati muda dan mengalami aborsi.
Padahal, mestinya
dibalik. "Kesatuan teks terletak bukan dalam
asal-usulnya, tetapi dalam
tujuannya, tetapi tujuan itu tidak lagi bersifat
pribadi...kelahiran
pembaca
harus diimbangi oleh kematian pengarang," tulis Roland
Bartes tahun
1968.
Ketika seorang intelektual ingin menjalankan ide-ide
profetiknya dengan
lurus, dalam genggamannya, saat itu pulalah ide-ide
itu kegosongan
makna.
Ikan Paus
Lalu, mari kita lihat kehidupan ikan paus yang
bernapas dengan
paru-paru.
Sebagai raja samudera, ikan paus membutuhkan semburan
air
terus-menerus,
juga menyembul ke permukaan, untuk bernapas. Ketika
ikan paus itu
terjebak
dalam gunungan es di Kutub Utara atau Selatan, matilah
ia. Padahal,
ikan
paus adalah subjek dan objek dari kehidupan laut.
Pergerakannya teramat
jauh, dari kutub ke kutub, melintasi tujuh samudera,
tak kenal lelah.
Dalam
film televisi yang dulu saya tonton di waktu kecil,
terdapat ikan paus
yang
teramat besar, bisa menelan kapal selam ukuran kecil.
Bahkan dalam
cerita
Pinokio, ikan paus ini bisa menelan apa saja, termasuk
si pencipta
Pinokio
yang tetap hidup dalam usus ikan paus, sampai Pinokio
datang
menyelamatkannya.
Dengan kemampuannya yang mahahebat itu, ikan paus tak
butuh makhluk
lain. Ia
hanya butuh perubahan suhu air laut untuk menandakan
ke mana akan pergi
untuk mengejar makanan dari biota laut. Kesulitan ikan
paus baru terasa
ketika ia gagal menangkap arah perubahan suhu air
sehingga tak bertemu
makanannya yang membutuhkan suhu air laut tertentu.
Ikan itu akan
terombang-ambing dalam suasana ecstasy, lantas ada
yang mati terdampar.
Begitu banyaknya makanan, tetapi pilihan ikan paus
sangat terbatas.
Dengan
pergerakannya yang lamban, hanya bermodal mengangakan
mulutnya
lebar-lebar
menyaring makanan, sulit bagi ikan paus untuk
berkompetisi, apalagi
mengejar
ikan yang jauh lebih gesit.
Itu juga yang terjadi, apabila kaum intelektual
memaksakan diri. Dengan
kemampuannya yang dahsyat, dengan perangkat disiplin
ilmu yang
dimiliki,
kaum intelektual bisa melakukan banyak hal sekaligus.
Ia bisa meloncat
ke
banyak partai, berenang ke arus yang berbeda, juga
melintasi jauhnya
horizon
kehidupan. Ia bisa melakukan refleksi, sekaligus
beraktivitas. Keduanya
sanggup dilakukan berbarengan, ibarat makan sambil
minum.
Tetapi, benarkah itu yang terjadi? Tanpa pengendapan,
ketelitian, juga
kepedulian, bisakah banyak hal dilakukan sekaligus?
Kalau kita baca
riwayat
kaum intelektual yang membentuk republik ini, kapan
dan di manakah
mereka
ketika mengeluarkan pikiran-pikiran terbaik? Apakah
ketika mereka ada
di
mimbar, panggung, pemerintahan, parlemen, atau di
layar televisi?
Bukan,
melainkan satu kata: penjara. Penjara Tanah Merah
Digul, Bandaneira,
Bangka,
Glodok, Suka Miskin, bahkan Rumah Tahanan Militer
(RTM) Guntur adalah
tempat
penyemaian pikiran-pikiran terbaik kaum intelektual
bangsa ini. Sebut
saja,
satu demi satu: Soekarno, Muhammad Hatta, Tan Malaka,
Sutan Sjahrir,
Ida
Agung Anak Agung, bahkan generasi Soedjatmoko, Buya
HAMKA, Muhammad
Natsir,
dan Pramoedya Ananta Toer. Ruang sempit mirip kapal
selam (saya ingat
kelompok kapal selamnya Soe Hok Gie) itulah yang
meluaskan cakrawala
berpikir kaum intelektual kita.
Kalau bukan penjara, kemiskinan adalah ibu kandung
beragam pemikiran.
Itu
yang terjadi pada Mahatma Ghandi, Bunda Theresa, Agus
Salim, bahkan
juga
yang terjadi pada manusia paling hebat di akhir abad
20, Nelson Mandela
(27
tahun di penjara). Itu juga yang terjadi pada pendiri
agama-agama
besar.
Bahkan itu juga yang terjadi pada Antonio Gramsci
(1891-1939) yang
dipenjara
pada tahun 1926-1937 di bawah rezim fasis Mussolini di
Italia, Ernesto
Che
Guevara (1928-1967) yang rajin berkelana merasakan
ganasnya kemiskinan
daratan Amerika Selatan hingga menderita penyakit
asma, dan Ali
Syariati
(1933-1977) yang dipenjara tahun 1964 dan 1973 oleh
rezim boneka Syah
Reza
Fahlevi di Iran.
Sulit menemukan adanya pemikir brilian yang hidup
dalam alam biasa.
Ketika
filsuf-filsuf Yunani menemukan filsafat kehidupan,
bahkan anggur yang
mereka
minum harus dituangkan oleh para perempuan pelayan,
kecuali beberapa
saja
yang tidak biasa, terutama Socrates yang suka berjalan
di pasar-pasar.
"Saya
punya pelayan, maka saya berpikir. Saya berpikir, maka
saya ada,"
begitulah
kira-kira. Di Indonesia, "Saya punya pengikut, maka
saya berpikir. Saya
berpikir maka saya berkuasa." Padahal ketika ilmu
pengetahuan baru
ditemukan, ia lahir dari pengamatan terus-menerus pada
soal-soal kecil,
bertahun-tahun. Kerja-kerja mikro, menghasilkan
karya-karya makro.
Memang, dalam sejarahnya, peran setting historis
pemikiran tentang
peran
kaum intelektual mutlak diperlukan. Karya Julien Benda
(1867-1956)
tentang
Pengkhianatan Kaum Intelegensia dapat dihubungkan ke
dalam kehidupan
kaum
intelektual Prancis kala itu. Tindasan akibat
pendudukan Nazi Hitler
selama
Perang Dunia Kedua (sebagai "balasan" Jerman atas
pendudukan oleh
Prancis
setelah kalah dalam Perang Dunia Pertama) harus
dibayar mahal dengan
tampilnya Charles De Gaule sebagai Presiden Prancis,
serta bangkitnya
kembali semangat liberte, egalite dan fraternite dalam
bentuknya yang
lain.
De Gaule tampil sebagai "Napoleon kecil", terutama
dalam negara-negara
jajahan Prancis, antara lain Aljazair. Ketika kaum
intelektual
berpaling,
saat itulah Benda menerbitkan bukunya.
Karya Gramsci dan Syariati juga punya setting
historis. Teori hegemoni
negara yang dikembangkan Gramsci terkait dengan
hegemoni "Fuhrer"
Mussolini
di Italia, yang menghancurkan individu dan basis
sosial masyarakat. Itu
pula
yang terjadi dengan Syariati, ideolog yang sempat
belajar dan mengajar
di
Prancis, lalu kembali ke Iran menumbuhkan virus-virus
untuk menjinakkan
dan
melumpuhkan kekuasaan Reza Pahlevi. Artinya, yang
ingin saya katakan
adalah
karya intelektual tak akan pernah mengalami vacuum of
power. Ketika
karya
itu teralienasi dari masyarakatnya, ia tak lebih dari
sekadar bungkus
kacang
yang langsung dibuang.
Kalau kita lihat konteks kehidupan kaum intelektual
Indonesia sekarang,
terasa begitu kaburnya, terutama di bidang politik.
Banyaknya peristiwa
politik tak masuk akal, bukankah refleksi dari jauhnya
pengaruh rasio
dalam
kehidupan politik? Politik telah mengalienasi
karya-karya intelektual,
bahkan juga nilai-nilai intelektual. Pusat politik
adalah massa,
kolektivisme massa, bahkan memuncak dengan
militerisasi sipil. Politik
adu
massa ini sungguh mengkerdilkan rasio. Selama
masyarakat nyaman dengan
kehidupan politik seperti ini, selama itu pula
stagnasi politik
terjadi. Tak
ada perubahan, kecuali jalan di tempat, atau malah
mundur ke belakang,
seperti yang kita lihat dari kerja- kerja legislatif
dan eksekutif
kita.
Dari sinilah saya melihat bahwa tugas terpenting dari
kaum intelektual
itu
justru menjadikan politik sebagai sesuatu yang
rasional. Politik yang
menyehatkan akal, dan berbeda dengan politik akal
sehat. Kalau politik
yang
menyehatkan akal, segala sesuatunya dinilai dari
logika yang digunakan.
Sangat masuk akal apabila Menteri Agama Said Agil
Munawar mengundurkan
diri
dari kabinet, karena kasus Batutulis. Juga sangat
rasional Akbar
Tandjung
nonaktif dari jabatan Ketua DPR. Ketika Munawar tak
mundur, juga Akbar
tak
nonaktif, yang terjadi itu tindakan dan keputusan yang
tidak
menyehatkan
akal. Sebaliknya, karena argumen legal-formal,
mengutak-atik peraturan,
maka
yang digunakan menyerang harapan publik adalah politik
akal sehat. Akal
yang
dipolitikkan, bukan politik yang masuk akal. Tidak ada
aturan bahwa
sudah
menjadi jampi-jampi baru yang menggunakan akal sehat.
Nah, tugas kaum intelektual adalah terus-menerus
meneriakkan politik
yang
menyehatkan akal, sehingga sesuatu tindakan tertentu
yang bertentangan
dengan itu, akan langsung dianggap janggal, aneh,
bebal, dan
sebagainya.
Ketika masyarakat sudah sampai pada kesimpulan
demikian, lantas
melakukan
suatu tindakan, misalnya tidak lagi peduli kepada
keberadaan
elite-elite
politik, satu tugas kaum intelektual sudah selesai.
Tentu, tugas lain
lebih
banyak datang, agar politik yang menyehatkan akal ini
juga terjadi pada
bidang lain: menuntut trasparansi anggaran, membuka
daftar gaji dan
fasilitas politisi, mengumumkan biaya perjalanan
pejabat negara keluar
negeri dan membandingkannya dengan prioritas
kesejahteraan rakyat,
serta
hasil yang dicapai, dan sebagainya. Di sinilah kaum
intelektual
memainkan
perannya, menganyam kesadaran masyarakat untuk
menyehatkan rasionya.
Sekrup Kekuasaan
Sebaliknya, kalau hanya mengandalkan politik akal
sehat, itulah yang
terjadi
selama ini. Inilah yang disebut sebagai pelacuran
intelektual. Ia hanya
menjadi bagian kecil dari sekrup dari mesin besar
kekuasaan. Siapa yang
tak
mengenal begitu banyaknya kaum intelektual jenis ini,
apabila dicatat
satu
demi satu riwayat hidupnya? Langgengnya sistem
otoriter Orde Baru tak
terlepas dari peran intelektual semacam ini.
Seakan-akan, tak ada yang
tak
bisa dirasionalisasikan dalam dunia politik, bahkan
tindakan yang
jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat. Kaum
intelektual jenis ini
hanya
berkehendak merasionalisasikan apa yang terjadi di
kalangan politisi,
juga
di dunia politik. Skeptisisme dianggap sinisme.
Mengambil jarak diejek
sebagai pelarian, atau bahkan ketidak-mampuan untuk
"bermain politik".
Yang lebih ironis, kaum intelektual jenis ini seperti
berfungsi seperti
insang ikan, jala rapat, atau pukat harimau. Ia hanya
menyaring satu
peristiwa politik, untuk kemudian menyusunkan dalam
sebuah logika, lalu
dilemparkan kepada publik untuk diterima. Publik
dianggap sebagai
sesuatu
yang anonim, nobody. Seakan, Indonesia adalah dirinya,
dan dirinya
adalah
Indonesia. Entah mengapa, bahasa-bahasa itu yang kini
banyak terbaca,
dari
mulut kekuasaan. "Separatisme di negara manapun wajib
dienyahkan! Kalau
tak
suka gambar Presiden dan Wakil Presiden, silakan
pindah warga negara!
Partai
politik adalah satu-satunya yang dikenal sebagai
medium demokrasi!
Sistem
presidensiil terbukti sanggup mendekatkan negara ke
rakyat! Bentuk
Negara
Kesatuan tak bisa diubah!"
Saringan pendapat semacam ini, apalagi dengan cara
mengambil
kesimpulan,
adalah awal petaka bagi dunia intelektual Indonesia.
Akan sangat mudah
kita
kembali tergelincir pada kesimpulan semacam itu.
Padahal, seperti ikan
paus
yang sulit membersihkan jamur di tubuhnya, sikap ini
lambat laun akan
membawa kematian pada si ikan, juga pada dunia
intelektual. Tentu, saya
tetap respek dan hormat kepada yang memilih jalur
politik, dan partai
politik. Butuh keberanian yang berlebih, untuk berbeda
dengan massa,
mengambil jalur alternatif yang tak ingin menciderai
rasio masyarakat.
Bayang-bayang kegagalan nyata terlihat, sementara
kemenangan amatlah
sulit
diraih, mengingat ketatnya sandera atas kehidupan
politik dewasa ini,
terutama di level peraturan dan bahkan konstitusi.
Padahal, di luar kehidupan politik, masyarakat sedang
tumbuh dengan
caranya
sendiri, termasuk dunia intelektual dengan maraknya
penerbitan. Tugas
kaum
intelektual di luar politik jauh lebih besar. Ketika
masyarakat tak
lagi
bersandar kepada mitos, nilai-nilai feodal, bahkan
perbudakan, saat
itulah
politik dikepung oleh rasionalitas masyarakat.
Sikap yang sama juga pantas diberikan kepada kaum
intelektual yang
memilih
tidak berpolitik. Mereka yang hanya menjadikan
kehidupan politik
sebagai
dunia yang penuh pesona, tapi tak hendak memasukinya,
hanya mengamati
dari
ruang kapal selam pribadinya. Mereka yang mencoba
memperbaiki
bagian-bagian
kecil. Pada dasarnya saya tetap percaya, semakin lebar
public sphere,
semakin kerdil ruang hegemoni negara. Seekor ikan paus
atas gurita yang
rakuspun tak akan bisa apa-apa, apabila teluk
tempatnya berenang sangat
sempit. Butuh sekitar tiga minggu ketika nelayan,
penduduk, dan
pemerintah
Kepulauan Mentawai di Sumbar berusaha mengeluarkan
seekor paus yang
terjebak
sempitnya Teluk dan Selat Sikakap. Yang penting, baik
sebagai ikan paus
atau
kapal selam, kaum intelektual sebaiknya menghindari
frase sambil
menyelam
minum air. Sebab, air laut berbahaya bagi kesehatan,
apabila diminum
berlebihan. Wallahu Alam.
Penulis adalah peneliti Departemen Politik dan
Perubahan Sosial CSIS,
Jakarta.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com