[Nusantara] Demokrasi Lokal dan Pemilu Langsung di Daerah

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 05:00:18 2003


Demokrasi Lokal dan Pemilu Langsung di Daerah
Oleh : Tri Widodo W Utomo
ARUS pemikiran yang menghendaki penguatan dan
percepatan proses demokratisasi lokal semakin
mengkristal akhir-akhir ini. Salah satu ide dasarnya
adalah perlunya pemilu lokal, yang tentu saja, diikuti
oleh parpol lokal. Meskipun di berbagai media mulai
ramai dengan polemik tentang perlu tidaknya dan untung
ruginya sistem pemilu langsung di daerah, namun
kecenderungan ke arah sana kelihatannya makin tidak
terhindarkan.

Hasrat untuk memunculkan parpol dan pemilu lokal
sesungguhnya merupakan manifestasi wajar terhadap
keinginan banyak pihak untuk lebih menghormati
keberadaan dan peran masyarakat sipil dalam sistem
politik dan ketatanegaraan di daerah. Terlebih lagi,
kebijakan desentralisasi luas lewat UU 22/1999 telah
digulirkan yang semestinya turut memperbaiki iklim
demokrasi. Namun, tampaknya, UU ini dipandang tidak
cukup memberi peluang bagi berkembangnya partisipasi
masyarakat secara langsung terhadap proses kebijakan
publik di daerah. Akibatnya, muncullah gagasan tentang
perlunya pemilu dan parpol lokal sebagai instrumen
demokrasi, yang memang sama sekali tidak diatur dalam
UU otonomi tadi.

Oleh karena itu, secara konseptual ide ini dapat
dikatakan sebagai terobosan penting dalam khazanah
politik dan administrasi publik di Tanah Air. Namun,
untuk dapat operasional, banyak aspek yang perlu
dikaji dan dipertimbangkan. Pertama, pada umumnya
dapat disimak bahwa para penganjur pemilu dan parpol
lokal tidak percaya lagi terhadap fungsi parpol
nasional sebagai wadah representasi kepentingan
rakyat. Memang harus diakui bahwa para politikus
(tokoh parpol) dewasa ini lebih banyak bertikai yang
mencerminkan tarik ulur kepentingan internal mereka.
Dalam keadaan demikian, wajar sekali jika timbul
keraguan tentang efektivitas pemilu dan parpol
nasional dalam menghasilkan tata kehidupan yang
demokratis dan sosok pemerintah yang bersih dan bebas
KKN.

Meski demikian, perlu disadari pula bahwa tidak ada
jaminan sama sekali bahwa model demokrasi lokal jauh
lebih bersih, aspiratif, dan efektif dibanding
demokrasi tingkat pusat. Seorang pengamat Indonesia di
Jepang justru melihat politikus lokal sebagai kendala
utama bagi proses demokratisasi. Ia mengatakan,
''politikus lokal kebanyakan lebih bersikap
tradisional, otoriter, dan didominasi oleh kelas elite
daerah yang berwawasan sempit, serta kurang terbiasa
dengan proses demokratisasi dan keterbukaan informasi
dibanding politikus nasional'' (Kimura, 1999). Di sisi
lain, dari berbagai sumber bisa kita amati makin
merebaknya korupsi di daerah sejak era otonomi secara
luas. Dengan kata lain, gagasan pemilu/parpol lokal
yang dipaksakan justru dikhawatirkan hanya memindahkan
sekaligus menyebarkan kebusukan di tingkat nasional ke
tingkat daerah.

Terkait dengan belum matangnya politikus lokal kita
ini, mekanisme pemilu lokal oleh parpol lokal boleh
jadi menghasilkan demokrasi perwakilan yang memiliki
akuntabilitas sangat rendah. Persepsi klasik kita
bahwa sistem perwakilan selalu berarti lebih
demokratis, dan demokrasi selalu berarti lebih
akuntabel, mungkin sekali keliru.

***

 

Kedua, para penganjur demokrasi lokal sering memakai
argumen bahwa dalam ukuran kecil seperti negara kota,
potensi demokrasi lebih besar ketimbang pemerintahan
rakyat dalam ukuran besar. Namun, sesungguhnya
paradigma ini sudah lama ditinggalkan, dan banyak
negara maju yang melakukan penggabungan daerah-daerah
kecil agar menjadi lebih besar, tanpa mengorbankan
nilai-nilai demokrasi. Jepang misalnya, dewasa ini
sedang giat melakukan amalgamasi dengan target
pengurangan municipality dari 3.232 menjadi hanya 257
(Hayashi, 2002). Demikian halnya di Eropa. Di Swedia,
unit pemda berkurang dari 1.006 pada tahun 1960-an
menjadi 284 pada 1980-an. Sementara itu, pada periode
yang sama, jumlah unit pemda di Belgia berkurang dari
2.663 menjadi 589; di Jerman dari 24.282 menjadi
8.426; dan di Inggris dari 1.288 menjadi 457 (Allen,
1990). Singkatnya, tidak ada korelasi positif antara
ukuran daerah/negara dan kadar demokrasi.

 

Ketiga, dorongan terhadap demokrasi lokal juga
bersumber dari keraguan terhadap efektivitas UU
otonomi daerah yang baru, yang hanya berkutat seputar
demokratisasi pemerintahan. Sehingga terjadi
penjarakan politik yang lebar dengan masyarakat
daerah. Namun, sekecil apa pun harus diakui bahwa UU
ini telah membawa perubahan yang cukup radikal dalam
tata hukum dan tata pemerintahan kita. Kewenangan atau
diskresi daerah yang jauh lebih besar dan perimbangan
keuangan yang lebih proporsional, adalah dua upaya
nyata untuk memberdayakan, memandirikan serta
mendemokrasikan daerah. Bahwa grassroot democracy
belum terjadi adalah betul, sebab desentralisasi yang
ada saat ini baru merupakan desentralisasi tahap
pertama (dari pusat kepada daerah). Untuk itu, yang
kita butuhkan selanjutnya adalah desentralisasi tahap
kedua (dari daerah kepada masyarakat). Namun, jelas
dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai pada
tahap ini. Jika kita telah sampai pada tahap ini, maka
konsep government yang telah berevolusi menjadi
governance akan berproses lagi menjadi community
governance atau citizen governance (Box, 1998). Dan
pada saat itulah, kita semua akan menyaksikan wujud
konkret demokrasi yang kita cita-citakan.

 

Keempat, dalam artikel berjudul Budaya Imitasi dalam
Birokrasi Lokal, saya melontarkan kritik terhadap
kebiasaan untuk menerapkan sistem nasional di tingkat
daerah. Salah satunya adalah ide mengadopsi sistem
pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan
kepala daerah (KDH) secara langsung (SH, 20/12/01).
Secara substansial, saya tidak menolak ide pemilihan
KDH secara langsung. Namun, terdapat empat hal yang
harus dijawab sebelum ide ini dilaksanakan, yaitu ada
tidaknya konsep kedaulatan rakyat per daerah,
mekanisme pertanggungjawaban KDH, tata laksana
hubungan KDH dengan DPRD, serta efektivitas jalannya
pemerintahan. Kegagalan menjawab keempat hal ini, bagi
saya sama artinya dengan tidak logisnya ide pemilihan
langsung. Dan jika sistem pemilihan KDH secara
langsung tidak diperlukan, maka pemilu/parpol lokal
juga tidak dibutuhkan.

 

Kelima, perlu dicermati secara hati-hati agar
demokrasi lokal tidak memperburuk semangat kedaerahan
dan egoisme regional. Dalam konsep negara kesatuan,
rakyat tidaklah terkotak-kotak berdasarkan batas-batas
teritorial. Sehingga rakyat Papua semestinya memiliki
hak untuk ikut menentukan format pemerintahan DKI, dan
sebaliknya.

Akhirnya, ada baiknya isu demokrasi lokal melalui
pemilu dan parpol lokal ini dijadikan sebagai wacana
dan debat publik sebelum dirumuskan secara formal
dalam peraturan perundangan. Kita perlu belajar dari
pemberlakuan otonomi daerah yang terburu-buru yang
berakibat banyaknya masalah dalam tahap
implementasinya. Oleh karena itu, sikap tergesa-gesa
perlu dibuang jauh-jauh agar demokrasi yang sedang
kita bangun benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak.
Dan tidak dipelintir oleh sekelompok elite untuk
kepentingan diri dan kelompoknya semata.***

Tri Widodo W Utomo, Graduate School of International
Development, Nagoya University, Jepang



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com