[Nusantara] Gerakan Anti-Megawati

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 08:48:18 2003


Gerakan Anti-Megawati 
Denny JA 

Akankah Megawati jatuh sebelum Pemilu 2004? Seandainya
ia selamat, akankah Megawati terpilih kembali melalui
pemilihan presiden langsung di tahun 2004? Pertanyaan
itu muncul secara spontan ketika melihat meluasnya
gerakan anti-Megawati. Tak hanya pendukung PDI-P dan
pemuja Megawati yang kaget dengan gerakan politik
mutakhir itu. Mereka yang peduli dengan tumbuhnya
demokrasi di Indonesia juga harus merenung, apa yang
sesungguhnya terjadi. 

Telah muncul berbagai aksi yang melibatkan dan
merangkum banyak kalangan politik. Koalisi Nasional
dideklarasikan. Di dalamnya terdapat berbagai komponen
politik, mulai dari tokoh partai baru dan partai
kecil, juga buruh, dan mantan aktivis mahasiswa tahun
1980-an. 

Lahir pula Front Ampera, dengan komponen politisi dan
tokoh yang jauh lebih berpengaruh. Rachmawati
Soekarnoputri, beserta Abdurrahman Wahid, dan aneka
kelompok dari kalangan Islam, kumpul bersama
purnawirawan, dan kelompok ekonomi kerakyatan, serta
berbagai tokoh mahasiswa yang masih aktif. Perbedaan
platform politik seolah telah dinisbikan oleh hadirnya
musuh bersama di kalangan mereka. Mengapa kekuatan
anti-Megawati semakin lama semakin banyak? 

Tiga Gerakan 

Sungguhpun sama-sama anti-Megawati, gerakan politik
mutakhir itu punya motif dan target politik yang
beragam. Sebagian murni, sebagian dimobilisasi, dan
sebagian dipolitisasi. Semua bercampur-baur menjadi
satu. Namun demi kepentingan analisis, aneka motif itu
dapat diurai. 

Pertama, sebagian dari gerakan anti-Megawati berasal
dari gerakan protes dan kontrol publik biasa. Mereka
marah terhadap situasi. Bukan kenaikan harga BBM,
tarif dasar listrik dan telepon itu yang menjadi the
prime cause dari gerakan, tetapi mereka merasa adanya
ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. Tak lagi
penting apakah benar pemerintah sudah tidak adil,
namun persepsi itu sudah terbentuk. 

Subsidi atas BBM memang dapat menghemat uang negara
sebesar 17 triliun rupiah, tetapi mereka tahu, utang
konglomerat hitam itu jauh lebih besar, lebih dari 80
triliun rupiah. Muncul persepsi, pemerintah memilih
mengurangi subsidi, akibatnya harga BBM, listrik dan
telepon naik. Tetapi, pada saat yang bersamaan,
sebagian utang para konglomerat hitam itu juga
dikurangi dan tindakan pidana mereka diampuni. 

Mereka meyakini, pemerintah memilih kongkalikong
dengan konglomerat hitam, dan mengorbankan rakyat
banyak. Mereka yakin pula, kongkalikong dengan
konglomerat hitam itu pasti juga ada unsur KKN yang
membuat tebal kantong sebagian tokoh penguasa. 

Sementara subsidi untuk rakyat banyak dikurangi,
pemerintah juga membiarkan korupsi meluas. Tak hanya
publik, bahkan lembaga internasional seperti
Transparency International berpandangan korupsi di era
reformasi justru bertambah buruk. Mereka menyaksikan
pemerintah Megawati tidak bertindak keras terhadap
misalnya Jaksa Agung, yang oleh trial by the press,
sudah dinyatakan berbohong tentang kekayaannya
sendiri. 

Sungguhpun mereka anti-Megawati, tetapi gerakan mereka
dapat dikatakan murni, berdasarkan kalkulasi rasional
yang mandiri. Terlepas apakah persepsi politik dan
ekonomi mereka benar atau salah, namun mereka memang
bertindak atas nama hati nuraninya sendiri. Rasa
ketidakadilan itu yang membuat mereka turun ke jalan.
Umumnya mereka adalah intelektual, aktivis LSM papan
atas, dan mayoritas gerakan mahasiswa. 

 

Kedua, ada pula gerakan anti-Megawati yang sudah
dengan target politik tertentu. Mereka membaca situasi
bahwa publik sedang berada dalam kemarahan kolektif.
Mereka juga melihat memang banyak kebijakan, sikap
pribadi, serta gaya kepemimpinan Megawati yang dapat
dijadikan target kemarahan. Kemarahan publik itu
mereka mobilisasi dengan tujuan memburukkan citra
Megawati secara maksimal. 

Hal yang lumrah pula di alam demokrasi bahwa politisi
saling bersaing. Mereka akan memanfaatkan semua
situasi yang potensial untuk saling memburukkan.
Semakin menjelang pemilu, sikap saling
memburuk-burukkan di kalangan elite itu semakin
intensif. Bahkan dalam politik Amerika Serikat pun
dikenal istilah negative campaign. Istilah itu merujuk
pada teknik kampanye yang negatif, dengan sasarannya
hanya untuk memburuk-burukkan citra lawan politik. 

Di kalangan kelas menengah atas, popularitas Megawati
memang sudah jatuh secara mencolok. Jajak pendapat
harian Kompas membuktikannya. Setelah 18 bulan
memerintah, ketidakpuasan publik atasnya sangat
tinggi. Untuk beberapa kasus ketidakpuasan itu bahkan
melampaui angka 90 persen. 

Tetapi metodologi jajak pendapat hanya menggunakan
responden yang memiliki telepon. Sementara, pemilik
telepon di Indonesia hanya 5-7 persen. Berarti lebih
dari 90 persen publik luas tidak terwakili dalam jajak
pendapat itu. Sangat mungkin publik luas yang tidak
memiliki telepon punya pandangan berbeda. 

Survei yang dibuat IAIN (sekarang UIN, - Red) Syarif
Hidayatullah Ciputat misalnya, dengan metodologi face
to face, dan semua populasi dijadikan responden (tidak
hanya pemilik telepon), memang menunjukkan hasil yang
berbeda. 

Megawati tetap menjadi tokoh yang paling mungkin
dipilih kembali pada 2004. Rakyat dari kalangan bawah
rupanya tidak serasional kalangan menengah atas. Bagi
pengikut yang fanatik, mati dan hidup yang penting
ikut Mbak Mega. 

Bagi lawan politik, itu saat yang tepat untuk kampanye
anti-Megawati. Mereka meyakini jumlah pengikut fanatik
Megawati dapat diperkecil. Didengang-dengungkan bahwa
wong cilik sudah ditinggal oleh Megawati. Komunitas
nasionalis dan pengagum Bung Karno juga dipecah dengan
menampilkan Rachmawati Soekarnoputri sebagai tokoh
oposisi atas Megawati. 

Pendukung jenis protes itu adalah aktivis partai
besar. Mereka berkepentingan agar jago mereka yang
memang dalam pemilihan presiden di tahun 2004. Dengan
upaya memecah-belah kelompok nasionalis, dan
memperluas oposisi, pada waktunya di tahun 2004,
Megawati diharapkan terpuruk citranya, tidak hanya di
kalangan kelas menengah atas (pemilik telepon), tetapi
juga kalangan luas. 

Sungguhpun ingin menghantam Megawati secara sengaja,
namun gerakan jenis itu tidak ingin menjatuhkan
Megawati di tengah jalan. Bagi mereka jauh lebih
menguntungkan Megawati tetap berkuasa, toh
kekuasaannya tinggal setahun lagi. Lebih baik mereka
mengambil-alih kekuasaan melalui pemilu dengan cara
mengalahkan Megawati yang sudah terpuruk. Jika
Megawati jatuh di tengah jalan, ibarat bola liar,
kursi kekuasaan dapat jatuh ke tangan pihak lain. 

Jenis Ketiga 

Ada pula jenis gerakan anti-Megawati yang ketiga.
Kelompok ini tidak hanya protes atas kebijakan buruk
Megawati seperti kelompok pertama. Kelompok ini juga
tidak hanya ingin memburukkan citra Megawati agar tak
terpilih kembali dalam pemilu 2004. Lebih dari itu,
kelompok ini memang ingin menjatuhkan Megawati beserta
Hamzah Haz di tengah jalan. Jika mereka mampu, sebelum
pemilu tahun 2004, bahkan jika bisa di awal tahun ini
juga, Megawati dan Hamzah Haz lengser dari kekuasaan. 

Kelompok itu juga memperkenalkan konsep presidium
nasional. Jika Megawati dan Hamzah Haz lengser atau
dilengserkan, presidium nasional itu akan
mengambil-alih pemerintahan. Kemungkinan pemilu
diundur sampai 2005 atau 2006. Presidium nasional
diharap mengkonsolidasikan kekuasaannya dahulu. Sangat
mungkin pula pemilu itu ditunda untuk waktu yang lebih
lama jika presidium yang baru tak yakin dapat menang
dalam pemilu. 

Kelompok ketiga ini datang dari kalangan yang lebih
kecil dan radikal. Umumnya mereka politisi kelas dua
yang mustahil dapat meraih kekuasaan melalui pemilu.
Mereka bukan datang dari partai besar. Mereka berharap
terjadi revolusi. Hanya revolusi yang mungkin membawa
mereka ke puncak kekuasaan. Sebagian kecil aktivis
mahasiswa berhasil pula diradikalisasi untuk menempuh
jalan revolusi itu. 

Mereka memiliki spirit antipartai yang cukup tinggi.
Pemilu dianggap hanya menjadi mekanisme pembenaran
orang partai untuk berkuasa. Sementara kualitas dan
orientasi orang partai dianggap tidak hanya korup,
tetapi juga primordial dan terlalu partisan. Indonesia
tak akan pernah lebih baik walau dilakukan
pemerintahan baru yang dipilih melalui pemilu 2004. 

Secara benar ataupun salah, mereka membayangkan
presidium nasional adalah jawaban yang dibutuhkan.
Presidium itu terdiri atas tokoh yang kredibel, dan
gabungan dari beberapa unsur. Yang terbaik jika
presidium itu dibentuk sendiri oleh MPR. Namun jika
terpaksa, presidium itu mengambil-alih kekuasaan untuk
sementara, demi kepentingan nasional yang lebih luas.
Substansi perubahan Indonesia dianggap lebih penting
daripada formalisme prosedur politik melalui pemilu. 

Dari kaca mata demokrasi, aksi protes jenis pertama
dan jenis kedua masih dapat dibenarkan. Setiap warga
dan kekuatan politik dibolehkan untuk protes dan marah
kepada pemimpinnya, sejauh masih dalam koridor hukum
demokrasi. 

Bahkan setiap pesaing politik dibolehkan pula ikut
memburuk-burukkan lawan politiknya, sejauh data dan
faktanya akurat. Justru kritik dan deklarasi keburukan
lawan politik membuat politisi akan semakin hati -hati
dengan track record-nya. 

Dari kaca mata demokrasi, aksi protes jenis ketiga
yang tidak sehat. Tradisi menjatuhkan presiden dalam
sistem presidensialisme tak akan berujung ke mana pun,
kecuali hancurnya pelembagaan politik negara itu.
Ketidakpedulian kepada lembaga pemilu juga tidak
membawa ke mana-mana kecuali rusaknya tradisi
demokrasi di negara tersebut. 

Di Amerika Serikat selama 200 tahun merdeka, tidak ada
presiden yang dijatuhkan di tengah jalan. Semua
pergantian kekuasaan dilakukan melalui pemilu. Hanya
Nixon yang pernah mengundurkan diri. Kecuali hanya
presiden yang melakukan kejahatan tingkat tinggi,
sebaiknya kita mentradisikan pergantian presiden hanya
melalui pemilu. Setidaknya hal itu juga membuat
pemilih bertanggung jawab dengan pilihan politiknya.
Jika tak ingin pemimpin yang buruk, harus hati-hati
memilih dan me- ngenal tokoh yang dipilih-nya. 

Pengganti presiden juga haruslah tokoh lain yang
dipilih rakyat melalui pemilu, bukan presidium
nasional yang tak dikenal dalam konstitusi. Konstitusi
dibuat sebagai aturan main yang melembagakan
demokrasi. Sekali prinsip konstitusi dilanggar, ia
akan membuka preseden pelanggaran berikutnya. Tidak
ada negara di dunia yang stabil dan maju jika
konstitusi ditradisikan untuk dilanggar. Sedangkan
presidium nasional adalah pelanggaran konstitusi
tingkat tinggi. 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Universitas
dan Akademi Jayabaya.


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com