[Nusantara] Krisis Konstitusi Belum Berakhir

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 08:48:19 2003


Krisis Konstitusi Belum Berakhir 
RH Siregar 

PADA awalnya aksi-aksi unjuk rasa menentang kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik
(TDOL) dan telepon berlangsung biasa-biasa saja. Tidak
ada yang luar biasa. Tapi ketika pemerintah bersikap
ngotot tidak mau kompromi atas kebijakannya, bahkan
Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono menuduh aksi-aksi
mahasiswa ada yang menunggangi, maka demonstrasi makin
meluas, dan juga berkembang ke arah penentangan lebih
keras dan ngotot. Keadaan makin memanas ketika
Presiden Megawati dalam pidatonya sebagai Ketua Umum
DPP PDI-Perjuangan pada peringatan HUT partai itu di
Kabupaten Badung, Bali, 12 Januari 2003 lalu membela
kebijakan menaikkan harga BBM, TDL dan telepon
tersebut. 

Presiden Megawati mengatakan, kebijakan menaikkan
harga BBM, TDL dan telepon memang tidak populis dan
memberatkan masyarakat. Namun kebijakan tersebut
bersifat konstruktif untuk jangka panjang membebaskan
bangsa Indonesia dari ketergantungan pada pihak luar.
"Saya lebih memilih kebijakan tidak populis tetapi
konstruktif untuk jangka panjang, daripada kebijakan
populis jangka pendek tetapi menjerumuskan. Ini memang
menyakitkan, tetapi akan menjadi obat karena tidak ada
pilihan lain", katanya menandaskan. 

Segera setelah itu, keadaan makin memanas. Tidak lain
karena argumentasi yang dikemukakan dalam pidato
pembelaan diri itu kurang tepat dan juga tidak
menjawab tuntutan masyarakat. Sebab siapa pun
mengakui, kebijakan subsidi memang tidak sehat, bahkan
hanya meninabobokkan masyarakat dan akibatnya
kalkulasi ekonomi tidak riil. Yang dituntut masyarakat
sebenarnya ialah, apa imbalan atas pengorbanan rakyat
akibat pencabutan subsidi tadi. Memang pemerintah
telah mengimbanginya dengan stimulus fiskal serta
kompensasi BBM secara langsung kepada anggota
masyarakat yang berhak menerimanya. 

Tuntutan Meluas 

Namun pengalaman di masa lalu mengenai penyaluran dana
kompensasi yang tidak mencapai sasaran, maka yang
dituntut masyarakat sebenarnya tidak sekadar mencabut
subsidi. Tetapi di samping mencabut subsidi, maka
serentak dengan kebijakan itu harus dilakukan
serangkaian tindakan nyata lainnya seperti
mengembalikan ratusan triliun rupiah uang negara yang
"dirampok" oleh para konglomerat. Tidak justru
mengampuni mereka dengan memberikan letter of release
and discharge (R&D) atau jaminan pembebasan dari
proses dan tuntutan hukum. Di samping tu, secara
konkret melakukan efisiensi terhadap semua BUMN,
termasuk bersikap tegas menindak para pelaku KKN. 

Tidak mengherankan apabila kemudian aksi-aksi unjuk
rasa makin meningkat. Tuntutan pun meluas. Tidak lagi
sekadar menolak kenaikan harga BBM, TDL dan telepon
tapi menuntut Presiden Megawati Soekarnoputri dan
Wakil Presiden Hamzah Haz mengundurkan diri. Seiring
dengan tuntutan mengundurkan diri itu, timbul wacana
membentuk presidium. Wacana itu segera mendapat
tanggapan. Seperti biasa, di sana-sini terjadi
pro-kontra. 

Mantan Presiden Gus Dur pun ikut bicara. Ada kalangan
politisi di luar pemerintahan mengajaknya membentuk
presidium untuk menggantikan pemerintahan Mega-Hamzah.
Ajakan untuk duduk di dalamnya ditolak, tapi apabila
pembentukan presidium tersebut konstitusional,
dipersilakan. Juga pakar Hukum Tata Negara Jimly
Asshiddiqie ikut memberi komentar dengan mengatakan
bahwa pembentukan presidium bila berpatokan pada
konstitusi, wadah itu tidak mungkin terbentuk. Sebab
pergantian pemerintahan yang sah harus dilakukan
secara konstitusional. Dan itu baru terjadi bila
Presiden dan Wakil Presiden melanggar konstitusi.
Dengan demikian, menurutnya dalam konteks politik saat
ini, pemerintahan Megawati tidak bisa digantikan
dengan dewan presidium (Pembaruan, 11/1/2003). 

Keberadaan Presidium 

Tetapi sebenarnya kalau kita mengacu pada ketentuan,
maka pergantian Presiden dan Wakil Presiden melalui
presidium sudah diformalkan melalui Tap MPR No VII/
MPR/1973. Pasal 5 Ayat (2) Tap MPR itu mengatakan,
sejak Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap,
maka Menteri-menteri yang memegang jabatan Menteri
Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri
Pertahanan-Keamanan secara bersama-sama melaksanakan
Jabatan Pemangku Sementara Jabatan Presiden yang
pengaturan kerjanya ditentukan oleh Menteri-menteri
yang bersangkutan. 

Namun Tap MPR No VII/ MPR/1973 pun tidak menyelesaikan
persoalan. Sebab tidak jelas, kapan Presiden dan Wakil
Presiden berhalangan tetap. Apakah "berhalangan tetap"
secara bersamaan itu terbatas hanya secara alami atau
juga karena dipaksa oleh tekanan massa seperti
jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu? Lagi
pula Tap MPR itu tidak secara tegas menyebutkan
presidium sehingga menimbulkan multiinterpretasi.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie,
dewan presidium tak mungkin terbentuk kalau berpatokan
pada konstitusi. Dewan presidium baru bisa terbentuk
bila terjadi revolusi sosial. 

Perlu dicatat bahwa Tap MPR No VII/MPR/1973 itu dibuat
karena UUD '45 tidak mengatur keadaan apabila Presiden
dan Wakil Presiden secara bersamaan tidak dapat
melakukan kewajibannya sebagai pimpinan pemerintahan.
Karena itulah materi Tap MPR No VII/MPR/1973 itu
dimasukkan ke dalam UUD '45 melalui Amendemen IV pada
Sidang Tahunan MPR bulan Agustus 2002 lalu. 

Dalam Pasal 8 Ayat (3) UUD '45 ditetapkan, "Sejak
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana
tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari
setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden
dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya". 

Krisis Konstitusi 

Dalam Pasal 8 Ayat (3) UUD '45 itu pun tidak secara
tegas dicantumkan perkataan presidium. Apakah karena
tidak disebut dengan tegas seperti itu dapat dikatakan
pembentukan presidium merupakan tindakan
inkonstitusional? Atau apakah yang dimaksud di sana
semacam triumvirat yang menurut Kamus Bahasa Indonesia
diartikan sebagai "tritunggal, tiga serangkai atau
pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh tiga
orang sebagai satu kesatuan". 

Kalau mengacu pada teks Pasal 8 Ayat (3) UUD '45 itu,
maka sekalipun di sana tidak terdapat perkataan
"presidium", namun apabila terjadi keadaan di mana
Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan tidak
dapat melakukan kewajibannya sebagai pimpinan
pemerintahan, maka pelaksanaan tugas kepresidenan
dilakukan secara bersama-sama oleh tiga menteri.
Karena yang melaksanakan tugas kepresidenan itu
terdiri dari beberapa orang yang berkedudukan sama,
maka dapat diartikan semacam presidium atau
triumvirat. 

Hanya saja tidak jelas dalam UUD '45, kapan terjadi
keadaan di mana "Presiden dan Wakil Presiden tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan". Apakah keadaan di mana Presiden dan
Wakil Presiden dipaksa turun dari jabatannya oleh
massa seperti yang terjadi terhadap Presiden Soeharto
pada 21 Mei 1998 dapat dikategorikan sebagai keadaan
di mana "Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan" seperti termaktub dalam Pasal 8 Ayat (3)
UUD '45? 

Jadi mengacu kepada Tap MPR No VII/MPR/1973 dan Pasal
8 Ayat (3) UUD '45, jelaslah, sekalipun konstitusi
tidak tegas menyebut presidium, namun pelaksanaan
tugas-tugas kepresidenan sementara oleh tiga menteri,
dapat diartikan sebagai suatu presidium. Atau
triumvirat yang melaksanakan tugas-tugas kepresidenan
sebagai satu kesatuan. 

Namun, mengingat keadaan bangsa dan negara dilanda
krisis multidimensi yang berkepanjangan, sangat mahal
harganya apabila mekanisme seperti itu terpaksa
diadakan sebagai akibat Presiden dan Wakil Presiden
secara bersamaan tidak dapat melakukan kewajibannya.
Karena sekalipun keberadaan semacam presidium ada
dalam konstitusi, namun kalau mekanisme seperti itu
terus-menerus dilakukan, akan sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sebab itu,
pemerintah yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum yang jujur dan adil serta transparan, jangan
sekali-kali mengabaikan kepen- tingan atau tuntutan
konstituen karena ada mekanisme yang dapat ditempuh
apa- bila Presiden dan Wakil Presiden dipaksa tidak
dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan seperti
dialami oleh mantan Presiden Soeharto. 

Tetapi kembali terbukti empat kali amendemen atas UUD
'45 selama tiga tahun terakhir tidak berhasil
mengatasi krisis konstitusi akibat multiinterpretasi.
Contohnya itu tadi seperti termaktub dalam Pasal 8
Ayat (3) UUD '45 yang mengatakan, "Jika Presiden dan
Wakil Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan", menimbulkan
multitafsir mengenai apa yang dimaksud dengan "tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan". Memang sangat berbahaya karena
krisis konstitusi sebagai akibat multiinterpretasi
memberi peluang terjadinya konspirasi politik melalui
penggalangan opini publik sehingga mekanisme yang
masih diperdebatkan akhirnya memenuhi asas legalitas
dan memperoleh legitimasi. 

 

Penulis adalah wartawan senior, pengamat politik dan
konstitusi .


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com