[Nusantara] Rakyat Miskin Semakin Menderita

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Feb 15 05:12:03 2003


Rakyat Miskin Semakin Menderita 
Oleh Susidarto 

"Menabur Angin, Menuai Badai". Rasanya judul buku
kontroversial, yang pernah populer beberapa tahun
lalu, kembali rele- van untuk menyebut kebijakan yang
ditelorkan pemerintah Megawati di awal 2003 ini.
Pemerintah telah menabur kebijakan non-populis,
akhirnya badai besar yang dituai. Pemerintah tampaknya
tidak pernah berhitung cermat dan cerdas, bahwa
eskalasi resistensi masyarakat terhadap kebijakan
kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL) dan
telepon serta harga-harga lainnya, sungguh sangat
fantastis. 

Hampir semua "komponen" masyarakat bergerak, utamanya
"disponsori" oleh para pengusaha, yang terancam
mengalami penurunan profit (keuntungan). Setelah
Istana dibombardir dengan berbagai aksi turun jalan
(demontrasi), baik dari kalangan mahasiswa, LSM maupun
pengusaha, maka paling akhir para pengusaha papan
atas, yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) juga ikut "berdemo" dalam bentuk dialog dengan
pemerintah. 

Para pengusaha yang relatif sudah berkecukupan ini
ternyata juga tidak mau kalah dengan orang-orang
miskin. Mereka ikut meminta jatah kompensasi kenaikan
harga BBM, TDL dan telepon tersebut. Bahasa vulgarnya,
mereka juga meminta jatah subsidi dari pemerintah. Lho
kok sami mawon? Lalu apa bedanya orang (pengusaha)
kaya dengan orang miskin? Kok kedua-duanya meminta
keringanan dalam bentuk stimulus ekonomi? 

Namun, fenomena lucu inilah yang dijumpai di negeri
ini. Orang-orang kaya tampak semakin "rakus", terlihat
dari berbagai manuver mereka menghadapi kenaikan BBM,
tarif listrik dan telepon ini. Mereka meminta berbagai
keringanan pajak, bea masuk serta keringanan tarif
lainnya. Mereka seolah tidak mau merugi, dan dengan
mengatasnamakan rakyat kecil, mereka seolah
memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Anehnya, pemerintah
tampaknya gentar dan ketakutan dengan para pengusaha
ini. Pemerintah meladeni dan mungkin meluluskan
permintaan mereka, walau mungkin akan menurunkan
pendapatan negara, jauh melampaui besarnya pencabutan
subsidi. Akhirnya, kebijakan pencabutan subsidi BBM,
yang bertujuan menaikkan pendapatan negara, menjadi
gagal. 

Bagaimana dengan keberadaan orang-orang miskin?
Mereka, yang selama ini tidak memiliki akses ke Istana
(termasuk ke wakil rakyat sekalipun), ternyata lebih
banyak diam. Kaum duafa dan kelompok marjinal ini
seolah hanya nrimo (menerima) dan pasrah dengan
keadaan. Mereka adalah kelompok yang selama ini masuk
ke dalam keluarga prasejahtera, dan miskin. Keluarga
miskin yang jumlahnya banyak ini, jelas akan semakin
bertambah banyak dengan kenaikan harga dan tarif ini.
Kualitas kehidupan mereka semakin bertambah terpuruk,
frustasi dan semakin miskin, karena kenaikan tarif
serentak ini akan segera diikuti dengan meroketnya
harga komoditas lainnya. 

Memang, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini,
pemerintah memberikan subsidi kepada kelompok kurang
mampu sebesar Rp 4 triliun (2003), naik dari Rp 2,8
triliun (2002). Namun, jumlah ini terlampau kecil
untuk mengcover kebutuhan rakyat miskin. Itu pun belum
dikurangi dengan berbagai kebocoran di sana-sini, yang
akhirnya mengurangi jatah subsidi yang seharusnya
diterima masyarakat. Padahal, pemerintah mencabut
subsidi BBM sebesar Rp 16 triliun, yakni dari Rp 30,3
triliun (2002) menjadi hanya Rp 14,6 triliun (2003).
Sisanya, yakni setelah dikurangi dana kompensasi,
dipergunakan untuk menutup defisit APBN. 

Namun, dana ini menjadi tidak ada artinya, apabila
pemerintah jadi memberikan stimulus fiskal pada para
pengusaha di atas. Fenomena yang muncul akhirnya
adalah ketidakadilan ekonomi. Orang-orang kaya, yakni
mereka yang selama ini berkecukupan, terus saja
dielus-elus, dibantu, sementara itu rakyat miskin
justru menjadi "sapi perah". Keadilan dan nurani
pemerintah, seolah menjadi tumpul dengan munculnya
lobi tingkat tinggi para pengusaha. Fenomena itu
setidaknya merupakan bentuk kolusi tingkat tinggi,
yang berlindung di balik kenaikan harga BBM. 

Pengusaha domestik, ternyata tidak cukup tangguh dan
cenderung cengeng, terlihat dari permintaan mereka
untuk terus-menerus disubsidi. Seharusnya, mereka
cukup malu dengan rakyat yang tidak terlalu banyak
omong. Ketidakadilan ekonomi tidak hanya sebatas itu.
Fenomena subsidi kepada orang kaya ternyata sudah lama
terjadi, bahkan akan semakin menjadi-jadi. Setelah
pemerintah terus menerus tersandera untuk membayar
bunga obligasi sebesar Rp 53 triliun (2002) lalu, di
tahun 2003, hal yang sama masih saja terjadi. Bukankah
pembayaran bunga obligasi -- akibat krisis ekonomi
perbankan --, merupakan subsidi dari pemerintah
(merupakan uang rakyat)? 

Kalau saja pemerintah tidak mem bail-out perbankan
sebesar Rp 650 triliun, bukankah subsidi yang
diberikan kepada rakyat kecil bisa bertambah besar?
Fenomena ketidakadilan ekonomi semakin bertambah parah
setelah Presiden Megawati mengeluarkan Inpres yang
memberikan kewenangan kepada Ketua BPPN untuk meneken
surat Release & Discharge (R&D) kepada obligor kakap.
Ini juga merupakan bentuk "subsidi" gila-gilaan
terhadap konglomerat, yang nyata-nyata sudah merugikan
negara ratusan triliun rupiah. Hati masyarakat kembali
disayat-sayat oleh realitas yang ada di depan mata. 

Kembali pemerintah dan para penyelenggara negara
seolah tidak memiliki kepekaan nurani terhadap
ketidakadilan ekonomi. Pemerintah seharusnya membayar
harga dan berlaku adil terhadap masyarakat, tanpa
pandang bulu. Ekonomi subsidi yang salah sasaran,
yakni subsidi terhadap komponen harga (komoditas)
memang sudah saatnya dihapus. Subsidi kepada para
pengguna sudah tepat sasaran. Hanya saja, jumlah
nominal sebesar Rp 4 triliun sungguh terlalu kecil
untuk mengcover berbagai kenaikan harga komoditas
lainnya. Sementara di saat yang sama, subsidi yang
diberikan kepada para pengusaha konglomerat, sungguh
sangat besar. 

Semestinya, para pengusaha ini ikut berbagi beban dan
mungkin harus berkorban membantu masyarakat miskin.
Sudah selayaknya, mereka tidak hanya lip service dan
menggunakan masyarakat miskin untuk kepentingan
kelompoknya. Semua pihak harus ikut berkorban, dan
mereka yang sudah kaya selayaknya paling banyak
berkorban. Dalam konteks ini, ekonomi subsidi
hendaknya hanya diberikan kepada mereka yang
berkekurangan dan tidak mampu secara ekonomi. Prinsip
dari subsidi ini adalah melakukan optimalisasi
terhadap besar cakupan peserta program, minimalisasi
kebocoran, dan biaya administrasi dengan kendala
anggaran yang dialokasikan untuk program tersebut. 

Melakukan optimalisasi tiga fungsi obyektif tersebut
tidaklah mudah. Misalkan, kita menginginkan tingkat
kebocoran minimal maka biaya admisnistrasinya
cenderung membengkak dan begitu pula jika cakupannya
diperluas, maka biaya administrasinya harus diturunkan
maka probabilitas kebocorannya pun akan meningkat
pula. Untuk itu, transparansi penyaluran dana menjadi
sangat penting untuk diperhatikan. Perlu dicarikan
mekanisme panyaluran dana yang efektif dan efisien.
Masing-masing provinsi, departemen teknis, atau
kelompok masyarakat hendaknya jangan saling berebut
untuk menjadi yang "paling" miskin, dan layak menerima
bantuan. 

Data studi kemiskinan yang jujur dan fair perlu
dipakai untuk penyaluran dana kompensasi BBM ini. Kita
semua hendaknya belajar jujur terhadap orang miskin,
karena mereka sesungguhnya memerlukan bantuan itu.
Kondisi mereka sungguh sudah SOS (save our soul), dan
banyak di antaranya yang sudah dalam kondisi kritis,
potensi kehilangan generasi (lost generation) dan
mungkin busung lapar. Mereka sungguh perlu dikasihani,
bukan dimanipulasi. Dalam jangka panjang, berbagai
bentuk ekonomi subsidi langsung kepada komoditas
sebaiknya dihilangkan. 

Kita masih memiliki banyak pilihan lain untuk membantu
masyarakat miskin dan menegakkan aspek keadilan.
Misalnya, melalui mekanisme pemerataan dan
redistribusi pendapatan yang lebih baik dan adil. Di
antaranya adalah melalui sistem perpajakan yang
progresif, pengenaan pajak kekayaan, kemudahan akses
perbankan bagi koperasi dan UKM (misal, dengan suku
bunga subsidi layaknya KLBI), atau upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat miskin lainnya. Berbagai
terobosan cerdas semacam inilah, yang justru ditunggu
oleh masyarakat miskin, yang selama ini seolah
terpinggirkan dari wacana perekonomian global. *** 

 

(Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi, bekerja di
perusahaan konsultan PT Zeus Citra Int). 





=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com