[Nusantara] OSHOU GATSU

Ki Denggleng Pagelaran fukuoka@indo.net.id
Wed Jan 8 03:36:09 2003


Berhubung posting NEN MATSU kemarin membuat beberapa
e-mailer 'tersinggung' dan ngelus dada dengan ungkapanku
'kekerdilan berfikir' tentang larangan niup terompet, maka
baiklah tak teruskan lagi tentang OSHOU GATSU, atau
tahun baru-nya sendiri di Jepang. Kenapa harus Jepang?
Ya, karena di Jepang inilah aku merasa bahwa pergantian
tahun solar (syamsiyah) yang kebetulan berimpit awal
dan akhirnya dengan kalender Masehi memperoleh makna
spiritual bagi pelaku-pelakunya (bangsa Jepang). Padahal
dalam berbagai tulisan dan anggapan, bangsa Jepang di-
kenal bangsa tanpa agama. Itu kalau mengabaikan Shintou
(Jalan Tuhan) atau Budha (dan Zen?) sebagai suatu ben-
tuk agama atau faham spiritualitas. 

Bahkan advisorku sendiri, ketika mengajakku merayakan
pergantian tahun di rumahnya, pernah bilang ketika kutanya:
"Agama Sensei ini apa, kok ketika tahun baru pergi ke
Otera (kuil Budha) sedang pada acara lain ke Jinja (
kuil Shintou)?" Dengan enteng dia jawab: "Sebagai orang
Jepang aku tidak perlu beragama baku. Agamaku adalah
NATURAL, karena itu yang aku pahami, bahwa manusia
itu meskipun mati, tidak akan pergi kemana-mana. Mereka
tetap ada di dunia ini. Lho ini, kalau kamu ingat teori keke-
kalan energi, kan klop?". 

"Lho, jadi menurut Sensei, manusia itu sebentuk ener-
gi?" Jawabnya: "Lebih dari sebentuk, tetapi dapat dimaknai
wadah energi. Coba saja kamu perhatikan, tadi pagi kamu
makan pagi, gohan + nattou + tamago + ikan bakar, itu
untuk apa? Untuk hidup kan? Hidup itu sebenarnya apa?
Bergerak, berfikir, berkomunikasi, berkreasi dan sebagainya
kan hakekatnya hubungan kait-mengkait antar energi
di dalam tubuh kita. Yang paling sederhana kan tenaga
hasil dari respirasi, pembongkaran energi kimia karbohidrat
makanan kita ke bentuk energi kalor, kimia-lagi, kinetik,
listrik dalam reaksi-reaksi biokimia, dsb. kan?"

"Lha tapi Sensei, mengapa manusia seperti kita ini
harus berbentuk seperti ini? Sensei sebagai Sensei
dan aku sebagai Denggleng Kitaro gini ini? Apa ada
super-energi yang mengikatnya?" 

"Lha itu mungkin saja kuasa Kami Sama, atau God
atau Arraa (maksudnya Allaah). Seperti mengapa 
manusia beda bentuk dengan hewan, dengan tumbuhan
tapi coba lihat dalam riset kita, betapa miripnya proses
pembentukan Zygote (embryo) biji anggur dengan
janin, bukan? Si bakal embryo itu tersimpan dalam
tempat yang kokoh, kebanyakan terletak terbalik
berlawanan pintu masuk dengan arah stigma dan stylus,
kemudian untuk mencapai 'sel telur' sperma harus 
dipandu dalam PTT (Pollentube Transmitting Tissues)
yang kalau ndak cocok biokimianya, arah tabung sari
acak-acakan, kemudian harus menembus sel sinergid,
baru bersatu dengnan sel telur dan sel kutub, mem-
bentuk embrio dan semacam nourishing-tissue berupa
endosperm... yang nanti luruh terhisap melalui funiculus
yang mirip dengan tali pusat kita.... benar kan? Sudah
kamu lihat irisan-irisan 'pistil' anggur kita?"

"Oh, ya? sudah kok, cuman belum diafdruk fotonya.
Tapi tadi Sensei bilang embryo disimpan pada tempat
yang kokoh, kok mirip dengan yang ada di kitab suci
agama saya ya, Sensei?"

"Hehehehe... Nggleng-nggleng, lha apa anggapanmu di
Jepang sini tidak memungkinkan seseorang membaca
'terjemahan' Koran?"

"Oooh iya ya, di Kinokuniya atau Maruzen kan banyak
buku-buku agama... lha terus nanti Sensei akan kemana?"

"Sudah saya katakan, kembali ke NATURE, ke alam 
ini, entah di tempat mana. Kalau boleh sih aku ingin tinggal di
hutan bambu atau air terjun di gunung atau di tebing
yang menghadap Jinja atau Otera, aku senang kete-
nangannya.... Kalau kamu mau kemana?"

Matrik aku.... bertanya yang nggak-enggak beginilah.
Ndak PD blas. Mau njawab ke alam akhirat, kalau 
ditanya mana arah dan alamatnya kan cumleng? Mau
jawab ke alam kubur, lha yang dikubur kan hanya
mayat? Kembali ke asal, lha kalau ditanya asalmu
dari mana, kan repot?

"Hehehehe..... bingung kan? Ya itu terserah kepercayaanmu 
lah. Sama dengan orang-orang Jepang yang merayakan 
O-bon itu, menganggap para arwah pulang kampung.... hehee.
Kalau aku sih Nggleng, yang penting itu ya ketika hidup
ini. Karena budaya bangsaku ini gila kerja, yaaa kerjalah
yang aku jalani. Kebahagiaan hidup inilah sebenarnya
kebahagiaan yang pantas diupayakan dan dicari. Itu
kepercayaanku lho.... Makanya aku senang dengan acara-
acara keagamaan di Jepang ini. Terutama pergantian
tahun. Lihat nih hidangan tahun baruan ala Jepang.
Semua mengandung makna. Ada renkon (umbi teratai)
yang bolong-bolong, maknanya dengan tahun baru ini
kita 'mengeker' masa depan setahun yang akan datang.
Ada satoimo (mbothe, tales kecil) yang sedang bertunas,
itu dibaca 'medetai' ya mengibaratkan dengan tenaga
baru ingin menyambut tahun yang akan tiba, ada 
lagi kacang, ada biji ginko, ada teri lima ekor, ada
rumput laut.... semua mempunyai makna yang mirip,
untuk menyambut tahun yang akan datang dengan
harapan yang baik...."

"Apa dengan begitu tahun baru di Jepang disebut
Oshougatsu Sensei?"

"Hahahaa... mungkin saja. Shou adalah benar dan
Gatsu adalah bulan, O partikel untuk menghormat
bahwa bulan yang benar ini milikmu.... hehehe.. kamu
ini... dah nih tak siapin khusus ikan tuna bakar, soalnya
kan kamu ndak boleh makan daging babi atau daging
hewan sembelihan yang tidak dibacakan doa secara
Islam?"
-----

Yah, itu hanya sebentuk perayaan pergantian tahun.
Tapi masihkan ada pergantian tahun lain, selain tahun
baru Masehi? Masih!. 

Seperti yang pernah aku kirimkan semula, bahwa 
bulan pertama Jawa dulunya bernama CRAWANA
(sering dibaca SURAWANA, maka jadilah bulan
Suro pada kalender jawa Sultan Agung), yang tanggal
satunya jatuh pada tanggal 12 Juli, dan berumur
32 hari. Hitungan bulan-bulan asli Jawa ini pada
kalender Jawa Sultan Agung, diubah menjadi Pra-
natamangsa, yang relatif berlaku 'ajeg' sepanjang
tahun, dan telah mengandung koreksi tahun kabisat
maupun koreksi besarnya.

Sayang bahwa suku Jawa kelihatannya memang tidak
mementingkan pergantian Tahun ini menjadi acara
yang meriah, melainkan lebih mementingkan pada
perigatan 'hari jadi masing-masing'. Karena dalam
hari jadi terkandung berbagai macam hitungan waktu,
mulai dari letak matahari, letak bulan, konfigurasi
bintang (wuku), konvigurasi planet (kuwera), dan lain-
lain konfigurasi antar benda langit. Sehingga setiap
hari jadi dianggap memiliki makna yang khas. 
Penyambutan tahun baru Jawa (tanggal 1 Suro) juga
lebih cenderung mirip-mirip dengan tahun baruan
model Cina, penuh introspeksi diri. 

Adalagi tahun baru Imlek, yang tahun ini diperkirakan
jatuh pada tanggal 1 Februari 2003. Saya kurang
faham dengan Imlekan ini, selain dulu ketika masih
SMP sering mendapatkan pembagian 'kue-ranjang'
dari teman-teman yang merayakannya. Ada Nyepi,
ada Waisyak... 

Jadi sebenarnya, aku menyatakan bahwa larangan
meniup terompet sebagai kekerdilan berfikir itu
adalah, pengambilan simbolnya. Kenapa terompet
dilarang, dengan alasan itu tidak dicontohkan oleh
Nabi, sehingga Terompet bukan simbol Islam.

Ya, jelas memang begitu. Akan tetapi bila hal itu
dinyatakan secara eksplisit oleh suatu lembaga
yang dianggap memegang 'otoritas' keagamaan,
kan jadi lucu? Apalagi ditambahi dengan keterangan,
'untuk pihak-pihak lain (selain ulama dan ustad) 
silakan menginterpretasikannya sendiri'. Kenapa
tidak (misalnya) sekalian: "ulama dan ustad
dilarang merayakan tahun baru secara ber-
lebihan" atau "Tahun baru bukan tradisi
keagamaan untuk ulama dan ustad"

-------------------------
Sayangnya bahwa Iedul Fitri sekarang ini sangat
berkesan kehura-huraannya, dan memakan banyak
biaya - apakah itu juga dulu dicontohkan Nabi?


KDP
-----------------------------------
Trusing karsa hardane wong lumaksana
Trusing karsa memayu hayuning bangsa