[pdiperjuangan] Fw: [Nasional] Akbar: Silakan Bentuk Dewan Kehormatan

Olga nebo Sylvie Gondokusumo pdiperjuangan@polarhome.com
Sat Sep 7 17:20:32 2002


----- Original Message -----
From: "a.supardi" <a.supardi@chello.nl>
To: <national@mail2.factsoft.de>
Sent: Thursday, September 05, 2002 9:20 PM
Subject: [Nasional] Akbar: Silakan Bentuk Dewan Kehormatan


> -----------------------------------------------------------------------
> Mailing List "NASIONAL"
> Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
> eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
> -----------------------------------------------------------------------
> STOP Exodus TKI !!  STOP Exodus bangsa kita  !!   STOP Exodus TKI !!
> -----------------------------------------------------------------------
>  ''Mungkin bagus juga tinggal di AS,'' Akbar tersenyum.
> (kutipan selesai)
>
> -----
>
> Sehari setelah Vonis Tiga Tahun
> Akbar: Silakan Bentuk Dewan Kehormatan
>
> Sehari setelah divonis tiga tahun, Akbar Tandjung kebanjiran tamu.
Semuanya
> ingin bertemu Akbar. Memberi dukungan moral. Setelah menerima tamu, Akbar
> keluar rumah. Putri bungsunya, Sekar Krisnauli, di dalam kamar. Bocah TK
itu
> sedang menyelesaikan tugas mewarnai gambar Tweeni. Usai mewarnai, Sekar,
> yang mengenakan kaos putih bergambar dan celana pendek biru tua, berteriak
> memanggil-manggil papanya. Kemarin, Bali Post berada di rumah Akbar
Tandjung
> di Widya Chandra, Jakpus.

> ''PAPA... papa....'' Tak ada suara menyahut. Lantas, dia keluar, mencari
> ayahnya di teras. ''Om, papa mana,'' katanya. Semua petugas dan ajudan
diam.
> Akhirnya, Kurniawan, staf Akbar, menjawab, ''Papa sedang keluar
sebentar.''
> Baby sitter datang dan merangkul Sekar. Gambar Tweeni dibawa ke dalam.
''Om,
> jangan... jangan. Buatnya susah... susah jangan... jangan...'' Dia
berlari,
> meminta kertas bergambar itu. Semua mata memandang haru pada bocah polos
> yang tak mengerti kalau ayahnya dinyatakan sebagai koruptor dan harus
> menjalani hukuman tiga tahun penjara.

> Menjelang petang, Akbar dan Nina datang. Keduanya sudah siap tampil di
> televisi, siaran langsung. Mungkin, ini pilihan pahit. Apalagi dengan
> predikat baru: terpidana. Tetapi, biarlah, toh masyarakat sudah tahu.
''Saya
> berkewajiban memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa vonis itu masih
> belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Saya masih mengajukan banding,
> sehingga saya masih harus menjalankan tugas-tugas saya, baik di DPR maupun
> di institusi partai,'' kata Akbar.

> Akbar memakai batik coklat tua. Dia duduk tenang di kursi. Guratan
wajahnya
> tetap tenang dan tabah. Seolah, vonis tiga tahun itu tak pernah turun. Di
> sampingnya, agak ke depan, duduk istrinya, Krisnina Maharani. Putri
> bangsawan Solo itu duduk agak gusar. Wajahnya masih belum pulih.
Garis-garis
> kesedihan itu masih tampak kuat. Juga pipi dan matanya yang masih merah,
> bekas tangisan yang belum hilang. Hanya sinar kecantikannya yang masih
> menutupi kesedihan itu. Nina, begitu dia akrab disapa, mengenakan batik
yang
> dulu pernah dipakai saat wartawan koran ini mewawancarainya secara khusus,
> saat Akbar masih di Rutan Kejaksaan Agung.

> ''Saat vonis dibacakan, saya sangat terkejut. Saya tidak menduga. Sebab,
> saya merasa tidak melakukan semua yang dituduhkan itu. Sejak semalam, saya
> memang kurang tidur. Saya salat tasbih (salat mohon keselamatan) di DPP
> hingga dini hari. Lalu saya pulang. Sampai di rumah, saya tidur sebentar
dan
> bangun sebelum subuh. Saya salat tahajud. Di persidangan, saya tak
> henti-hentinya membaca doa, membaca surat Al Fatihah dan surat-surat lain
di
> Alquran. Saya juga berdoa, ya Allah, saya ini sesungguhnya zalim pada diri
> saya sendiri, maka ya Allah, ampunilah saya,'' Akbar bicara dengan datar.
> Krisnina menyahut. Wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca. Saat vonis
> diputuskan, dia mengaku kaget bukan main. ''Masya Allah, saya tidak
> menyangka, hukuman ini terlalu berat bagi Bang Akbar. Saya berdoa, semoga
> Bang Akbar tetap kuat menerima cobaan yang berat ini,'' Nina menghela
napas
> dalam-dalam.

> Baik Akbar maupun Nina masih bisa sabar, teguh, kuat menghadapi ujian
berat
> ini. Tetapi, bagi anak-anak, ujian ini tak kuasa dirasakan. ''Kalau
> bertanya, siapa yang paling tak bisa menahan vonis Bang Akbar ini, anak
saya
> yang ketiga, Triana Krishandini (SMP kelas II),'' tutur Nina. Anak Akbar
ada
> empat. Yang sulung, Fitri Krisnawati (SMU). Adiknya, Karmia Krisanti
(SMU).
> Keduanya belajar di negeri Paman Sam yang saat ini sedang berlibur di
> Indonesia. Putri bungsu, Sekar Krisnauli (5), masih taman kanak-kanak.
> ''Yana -- panggilan Triana -- sampai bilang ke saya. Ma, dada saya rasanya
> seperti ditusuk-tusuk, sakit sekali. Bagaimana dengan perasaan Papa,''
Nina
> tak kuasa menahan haru. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya merona merah,
sedih,
> susah, bersekutu dengan suasana hatinya yang gundah.

> Hidup dalam setahun ini, sejak ditahan di rutan, imbuh Akbar, selalu
> diselimuti tekanan. ''Saya merasa hidup saya selalu dalam underpressure.
> Tetapi, tidak mengapa. Saya sadari, dalam politik, semua bisa terjadi.
> Masalah yang saya hadapi, juga banyak muatan politiknya. Saya coba
bercerita
> kepada nyonya (istrinya, Nina) terhadap masalah saya. Dan, syukurlah, di
> rumah, saya mendapat ketenangan itu,'' aku Akbar, mengomentari perlakuan
> istrinya.

> Nina mengimbuhi perkataan suaminya. Di rumah, dia memang ingin menciptakan
> suasana yang ringan. ''Saya tahu, tugas Bang Akbar sangat berat. Apalagi
> ditambah masalah ini. Saya mencoba untuk meringankan perasaan Bang Akbar.
> Kadang saya ingin agar Bang Akbar ikut bersenandung. Saya setelkan
radio,''
> Nina bisa tersenyum, sambil melirik suaminya. ''Saya enggak tahu, apakah
> saya sudah bisa meringankan beban yang Bang Akbar rasakan,'' katanya
seperti
> balik bertanya. ''Saya tenang selama di rumah,'' aku Akbar, menjawab
> pertanyaan sang istri.

> Selama lima bulan lebih menjalani persoalan Buloggate Rp 40 milyar
kerugian
> negara, kata Nina, tidak ada yang berubah pada diri suaminya. Pada
keluarga,
> Akbar tampil masih seperti yang dulu, saat kali pertama meminangnya.
''Tidak
> ada yang berubah. Dia tidak emosional, tidak pemarah. Cuma, bedanya,
> waktunya kini lebih sibuk. Tetapi, Bang Akbar masih bisa diajak sharing,''
> ungkap Nina, sambil sesekali melirik suaminya yang duduk tenang sambil
> senyum-senyum. ''Kehidupan yang berat memang seperti menjadi alur
kehidupan
> kami. Tetapi, syukurlah, Bang Akbar kadang masih nggodain anak-anak
saya,''
> sambung pemilik ''The House of Solo'', buku yang diciptakannya itu.

> Nina merasakan kembali masa-masa keruntuhan Golkar di awal reformasi. Dia
> menjadi objek kemarahan masyarakat. Dia ikut pula saat mobil Akbar
ditabrak,
> panggung dirobohkan, iring-iringan kendaraan diserbu dan dibakar. Semua
> asam-garam kehidupan ini dirasakan Nina hingga sekarang, saat vonis
hukuman
> penjara itu dijatuhkan. ''Ya, saya memang hidup dalam underpressure,''
keluh
> Akbar, menambahi ucapan istrinya.

> Tetapi, kenyataan ini justru menjadikannya makin tabah dan percaya diri.
> Caci maki, cobaan dan ujian yang tiap kali menimpa diambil positifnya.
> ''Saya terus berdoa, saya minta agar saya diberi kekuatan, ketabahan,''
> katanya. ''Saya masih bisa merasakan, sebelum anak saya pergi ke sekolah,
> mereka minta dicium dulu,'' Akbar mengenang.
> Dukungan keluargalah yang menjadikan Akbar masih bisa bertahan seperti
ini.
> ''Alhamdulillah, keluarga saya terus-menerus men-support saya. Saya
> merasakan, keluargalah yang menjadi tempat terakhir buat saya,'' Akbar
> memandang istrinya, yang tersipu
.
> Memang, sudah sejak lama, keluarga Akbar, terutama anak-anaknya, meminta
> mantan Ketua PB HMI ini mundur dari panggung politik nasional. Terutama
> Fitri dan Krismia, yang kini bersekolah di AS. Mereka tak tega melihat
> ayahnya dicaci maki dan terus-menerus didera masalah politik. Keduanya
minta
> Akbar ke AS, menemani mereka menyelesaikan studi sambil memperdalam ilmu
> atau mengajar. ''Mungkin bagus juga tinggal di AS,'' Akbar tersenyum.

> Tetapi, soal mundur, Akbar masih perlu berpikir. ''Biarlah saya selesaikan
> dulu masalah ini,'' katanya. Banyak contohnya, para politisi yang setelah
> dihukum justru makin survive. ''Contohnya Pak AM Fatwa. Dia dulu
terhukum,''
> katanya. Kini, Akbar tetap akan melaksanakan tugasnya, di DPR dan Golkar.
> Bagi Nina, keteguhan Akbar inilah yang justru mengundang dirinya makin
> cinta. ''Bang Akbar itu bertanggung jawab. Saya makin respek. Politik
memang
> dunianya. Dia teguh dan bertanggung jawab atas segala hal di dunianya itu.
> Dia konsisten. Dan saya menyadari hal itu. Saya tidak kapok menjadi
> istrinya. Justru saya makin cinta,'' imbuh Nina salut, sambil tersenyum.

> Kalau toh dirinya didesak mundur, kata Akbar, itu artinya lawan politiknya
> sedang memainkan kartu politik untuk mengganti kursi yang sedang
> didudukinya. ''Silakan saja. Silakan bentuk dewan kehormatan. Tetapi, itu
> kan ada mekanismenya. Ada aturannya. Mereka meminta demikian karena mereka
> ingin menduduki posisi yang sekarang ini saya duduki,'' jelas Akbar
seperti
> menantang. ''Saya belum bisa menjawab permintaan itu. Proses ini belum
> final. Saya berharap, di Pengadilan Tinggi, saya bebas,'' imbuhnya,
> berharap. ''Sebab, saya belum bisa dinyatakan bersalah,'' ujarnya
mengakhiri
> pembicaraan.
> * Heru B. Arifin  (BALI POST Online, Jum'at, 06 September 2002)
>
>
>
> -------------------------------------------------------------
> Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
> Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
> Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
> Nasional-m: http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
> Nasional-a: http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
> Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f
> ------------------Mailing List Nasional----------------------
>