[Solusi-Nkri] Info

ideas at cianjur.wasantara.net.id ideas at cianjur.wasantara.net.id
Thu Aug 17 20:47:24 CEST 2006


Sdr. Moderator Yth, 

Saya etap menerima kiriman dari Milis Solusi-Nkri ini. 
Karena itu bersama ini saya kirim artikel utk menyambut 
HUT Kemerdekaan RI ke-61. Semoga bermanfat!


               KEPAHLAWANAN YANG "KREATIF" 

                      Oleh: Bambang Utomo
              <ideas at cianjur.wasantara.net.id>


BANYAK orang berbicara--bahkan kerap berdebat--tentang berbagai 
hal, tanpa menyadari bahwa makna kata-kata yang dipakainya 
berbeda bagi masing-masing. Salah satu contohnya adalah arti 
kata 'PAHLAWAN' yang tetap relevan kita kaji-ulang setiap kali 
merayakan hari-hari bersejarah nasional semisal HUT Kemerdekaan 
R.I. sekarang ini.  

   Pertama, mari kita renungkan hakikat di balik ajakan berikut: 
"Saudara-saudara sekalian, marilah kita sejenak mengheningkan 
cipta--atau berdoa menurut agama masing-masing--bagi arwah para 
pahlawan yang telah gugur mendahului kita...."

   Siapa di antara kita yang tidak ingat kalimat ajakan di atas? 
Hampir setiap kali menghadiri upacara resmi, ritual tersebut 
selalu termasuk paket acara perayaan yang bersangkutan. Namun 
tulisan ini bukan ingin mengajak Anda semua mengheningkan cipta, 
melainkan memikirkan ulang makna konsep kepahlawanan yang kita 
anut secara lebih kreatif dan berimbang. Keperluan terhadapnya 
muncul berhubung saya simak betapa sangat terbatasnya kata 
'kepahlawanan' diartikan orang sejauh ini.
 
   Tersirat dalam ajakan mengheningkan cipta di atas suatu arah 
penafsiran, bahwa yang disebut "pahlawan" terutama adalah mereka 
yang telah gugur atau anumerta. Tafsiran tersirat itu bahkan 
diperkuat lagi oleh ketetapan resmi tentang kriteria pahlawan 
sebagaimana tersurat dalam peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1964 
tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap Pahlawan. 
Di situ jelas disebutkan bahwa: "Pahlawan adalah warga negara RI 
yang gugur, tewas, atau meninggal dunia akibat tindak 
kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai dalam suatu 
tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa." Meskipun 
pahlawan bisa juga termasuk mereka yang masih hidup, yang tindak 
kepahlawanannya tidak ternoda sepanjang kehidupan selanjutnya, 
namun hanya mereka yang telah meninggal dunia yang diakui resmi 
sebagai pahlawan. Bisa Anda bayangkan, betapa sulitnya syarat 
menjadi "pahlawan" di negeri kita. 

   Arah penafsiran kedua yang juga tersirat dalam ketetapan di 
atas tak kurang janggalnya. Yaitu bahwa: kepahlawanan cenderung 
dikaitkan dengan jatuhnya korban akibat upaya membela sesuatu 
pihak (negara atau bangsa), yang tentunya juga mengasumsikan 
kehadiran pihak lawan, serta pada gilirannya kegiatan 
menghancur-leburkan musuh tersebut. Terkandung jelas dalam 
penafsiran tersebut adanya unsur konflik, atau situasi 
Menang-Kalah, di mana untuk bisa membuktikan kepahlawanan pihak 
KITA, diperlukan jatuhnya korban di pihak MEREKA!

KEADILAN TANDINGAN

   Mengenai arah penafsiran tersebut pertama, bahwa hanya mereka 
yang anumertalah yang pantas disebut pahlawan, ingin saya 
bandingkan dengan pengejawantahan konsep "KEADILAN" yang umumnya 
kita anut. Ibarat mata uang, peradaban keadilan kita sejauh ini 
baru berkembang ke salah satu sisinya semata: menghukum 
barangsiapa yang bersalah kepada sesama. Ada pun sisi tandingannya, 
menghargai mereka yang berjasa kepada masyarakat, cenderung kita 
abaikan. Anda ingin bukti?

   Coba ingat-ingat manakala ada maling tertangkap tangan di 
sekitar kita. Tidak sedikit saksi mata yang spontan ingin jadi 
hakim, bahkan sekaligus "algojo" (yang luar biasa sadisnya!). 
Namun sebaliknya, kalau ada orang-orang yang terbukti berjasa 
kepada kita semua...jarang ada yang serta-merta memberi ganjaran. 
Ya, entah sejak kapan kita kenal dan terus kelola Lapas di 
Pulau Nusakambangan. Tapi mana "Taman Firdaus" yang kita sediakan 
khusus bagi pahlawan-pahlawan yang masih hidup di masyarakat? 
Bukan, sekali lagi, yang saya maksud bukan Taman Pahlawan bagi 
mereka yang telah gugur; yang sudah lama ada di mana-mana. 
Juga bukan jenis-jenis "sorga dunia" yang biasa kita jual sangat 
mahal ke pihak mana pun yang sanggup membayar harganya. 
Taman Firdaus yang hendak saya canangkan adalah semacam lembaga 
tandingan dari penjara (Lembaga Pemasyarakatan), di mana anggota 
masyarakat yang terbukti berprestasi tinggi dapat berkumpul 
dalam suasana kehidupan yang menunjang pelestarian karya-karya 
sosial mereka secara optimal. 

   Tetapi di sini bukan tempatnya untuk melanjutkan "khayalan" 
di atas lebih jauh. Lontaran ide perlunya Taman Firdaus juga 
diselenggarakan di dunia kini, bukan cuma di akhirat nanti, adalah 
untuk meninjau-ulang sikap masyarakat kita yang umumnya kurang 
berkenan terhadap penghargaan secara material kepada para pahlawan. 
Berbuat baik itu harus ikhlas, tak boleh disertai pamrih DUNIAWI 
apa pun (anehnya kalau yang AKHIRATI tidak dilarang). Padahal 
ilmu psikologi telah lama membuktikan, bahwa terlepas dari 
doktrin moral yang dianutnya, perilaku manusia senantiasa terikat 
pada kecenderungan "mengejar kenikmatan" dan "menjauhi penderitaan" - 
secara LAHIR maupun BATHIN. Dengan kata lain, boleh-boleh saja 
kita menganugerahi seperangkat gelar kehormatan, menyematkan 
bintang dan tanda jasa, atau mengabadikan nama si pelaku sebagai 
Nama Jalan Raya. Tapi kalau suatu bangsa sampai membiarkan para 
pahlawannya "kelaparan"--sengaja maupun alpa--jangan heran jika 
jumlah dan frekuensi tindak kepahlawanan yang terjadi di masyarakat 
semakin surut. 

   Sayang kita tidak tahu, karena sejarah belum pernah mencatat: 
berapa banyak pahlawan tak dikenal di sekitar kita yang terlanjur 
kecewa, dan lalu menghentikan prestasi sosialnya? Dan berapa yang 
kemudian berubah lugas sikapnya: memilih mengabdikan keunggulan 
kemampuannya kepada kepentingan pihak pemberi upah tertinggi – siapa 
pun mereka? Atau malah "desersi", pindah bermukim ke lingkungan 
masyarakat atau bangsa lain di mana prestasi sosial mereka secara 
layak dihargai, diakui peranannya serta ditunjang kelestariannya?

TRADISI BERPIKIR: Minus-Normal-Plus

   Akan halnya penafsiran kedua yang cenderung mengkaitkan 
kepahlawanan dengan situasi konflik, antara tugas membela kawan 
di satu pihak dengan keharusan menghancurkan musuh di pihak lain; 
ingin saya hubungkan dengan kebiasaan berpikir kita. Pada umumnya 
kita lebih terlatih berpikir KRITIS, bukan KREATIF. Berpikir 
kritis yang bertumpu pada logika dan sejak lama diajarkan lewat 
penalaran ilmu pengetahuan di sekolah itu memang bersifat korektif 
atau rehabilitatif: menghilangkan atau memperbaiki kesalahan dari 
situasi yang dihadapi. Sedangkan berpikir kreatif yang banyak 
mengandalkan intuisi serta belum pernah ada sekolahnya itu lebih 
bersifat eksploratif dan inovatif: menjelajahi berbagai kemungkinan 
yang ada dalam setiap situasi untuk menciptakan hal-hal baru 
yang berguna.

   Ditinjau dari sudut pandang demikian, tampak bahwa berbagai bentuk 
kegiatan "menghancurkan musuh" itu lebih berorientasi rehabilitatif: 
mengembalikan keadaan MINUS ke kondisi awal. Atau dari kehidupan 
sosial yang kelangsungannya terancam, dikembalikan menjadi NORMAL; 
tanpa bermaksud mengurangi nilai kemuliaan pengorbanan yang demikian. 
Sedangkan kepahlawanan yang kreatif, misalnya menciptakan karya 
penemuan baru yang bermanfaat, jelas bakal lebih memajukan kehidupan 
bersama. Atau dari kondisi kehidupan normal (bahkan yang minus 
sekalipun!) menjadi PLUS, yang bahkan akan terus bertambah baik 
di kemudian hari.

   Namun harus diakui, bahwa praktek mengikis atau menghancurkan 
sesuatu sebagai buah dari kebiasaan berpikir kritis itu lebih disukai 
orang. Mungkin karena di samping mudah, hasilnya pun bisa serta-merta 
dirasakan. Dengan sebuah bom umpamanya, orang bisa seketika 
menghancurkan sepasang gedung pencakar langit modern, pesawat udara, 
bahkan peninggalan sejarah seperti Candi Borobudur sekalipun! Tapi 
apatah mungkin kita mampu membangunnya kembali dalam tempo singkat?

   Demikian pula halnya dengan, misalnya, mengkritik GAGASAN BARU 
yang diusulkan seseorang. Kebiasaan ini amat digemari karena melakukannya 
mudah serta kepuasaan psikologik yang dihasilkannya cepat dirasakan. 
Satu saja kelemahan kecil pada gagasan itu Anda tuding, maka hancurlah 
kesahihan seluruh usul tersebut. Padahal, belum tentu si pengkritik 
mampu menghasilkan alternatif gagasan konstruktif lain, yang sering 
memerlukan cukup waktu untuk memikirkannya sempai matang - baik di atas 
kertas, apalagi kalau sampai harus membuktikan hasilgunanya dalam praktek!

   Di lain pihak, penafsiran konsep kepahlawanan yang DESTRUKTIF di atas 
banyak pula dipengaruhi, serta pada gilirannya dilestarikan, lewat 
teladan yang kita cerap dari dunia fiksi - lewat buku-buku atau film. 
Coba kita simak bersama: bukankah alur kebanyakkan cerita "kepahlawanan" 
yang ada--baik berupa epos sejarah, perang, silat, ninja, koboi, spionase, 
atau terorisme--cuma berkisar di antara dua kutub kehidupan MINUS-NORMAL 
tersebut? Tiba-tiba seorang yang tidak bersalah dibunuh, keluarga 
baik-baik dibantai, atau sekelompok orang tak berdaya diteror, dan 
semacamnya. Lalu ditampilkanlah si tokoh utama yang berkepentingan atau 
bersimpati terhadap nasib--minus--para korban. Syahdan jalan cerita pun 
terjalin sepanjang upaya sang "pahlawan" merehabilitasi keadaan, lengkap 
berikut suka-dukanya (terkadang dibumbui sekadar kisah cinta). Dan kisah 
pun berakhir begitu situasi kehidupan normal berhasil dipulihkan. Tegang 
dan mengasyikkan, bukan? Dan di tengah decak kekaguman kita terhadap 
tokoh-tokoh idola pahlawan semacam "Rambo" atau "Spider Man" ini, nyaris 
kita lupa bahwa tantangan kehidupan yang sesungguhnya bukanlah 
menormalkan, melainkan mem-PLUS-kan (kehidupan sosial) itu sendiri!

   Disadari atau tidak, hasrat "normalisasi" kehidupan yang minus inilah--
menurut hemat saya--akar ideologi yang melatarbelakangi berbagai paham 
kemasyarakatan maupun gerakan kemanusiaan di dunia sejak dulu. Pada 
umumnya mereka cuma berpikir dari minus-ke-normal, ingin mengurangi atau 
menghilangkan situasi kehidupan negatif yang dialami orang banyak. 
Kembali ke topik kepahlawanan, begitu keadaan kembali normal: ketika 
pihak musuh hancur, dendam terbalas, atau hukuman berhasil dilaksanakan; 
maka selesailah tindak "kepahlawanan" kita. Tinggal lagi memikirkan 
nasib para korban atau orang-orang terancam lainnya, untuk disusul 
langkah normalisasi berikutnya.

KEPAHLAWANAN BARU

   Kesimpulan pertama yang hendak saya tarik dari semua uraian di atas 
adalah: perlunya kita bersama-sama melengkapi, bukan mengganti, 
kecenderungan berpikir kritis yang telah begitu lama mewarnai tradisi 
intelektual kita dengan pemikiran kreatif. Hasil dari alternatif sudut 
pandang yang muncul diharapkan bisa semakin memperluas makna berbagai 
konsep yang kita anut, termasuk di antaranya: kepahlawanan.

   Kedua, melalui kesempatan ini pula saya ingin mengimbau kesukarelaan 
masyarakat luas untuk lebih menghargai para pahlawan yang masih HIDUP di 
antara kita; baik secara moril lewat pemberian berbagai tanda kehormatan, 
maupun tak kalah penting secara material. Pentingnya hal tersebut 
belakangan bukan sekadar untuk menjamin kehidupan layak bagi si pelaku 
berserta keluarganya, atau semata-mata mencegah sang pahlawan kecewa dan 
lalu "desersi". Tapi justru demi melestarikan pretasi sosial itu sendiri. 
Anda masih belum sepakat dengan pemberian bantuan konsumtif demikian? 
Baiklah, mari kita alihkan sebagian "subsidi kreativitas" termaksud 
menjadi perangkat "alat produksi" yang menunjang karya-karya sosial 
yang dihasilkan - sepanjang kita ingat bahwa para pahlawan yang kita 
hargai adalah manusia-manusia yang masih hidup di dunia nyata, belum 
kembali ke alam baka.

   Sebagai penutup, berikut ini saya coba rangkum ciri-ciri konsep 
"Kepahlawanan Baru" yang saya canangkan sepanjang tulisan di atas. 
Yaitu: kepahlawanan yang lebih mengutamakan perwujudan dan pelestarian 
berbagai prestasi sosial demi semakin memajukan (prosperity) kehidupan 
bersama, ketimbang sekedar menjaga kelangsungan hidup (survival) 
masyarakat. Kepahlawanan yang juga bisa berlangsung dalam situasi damai 
dan tidak mensyaratkan kehadiran musuh mana pun di mana semua pihak bakal 
memperoleh manfaat, lebih dari tipe kepahlawanan destruktif yang menuntut 
modus operandi situasi konflik serta jatuhnya korban.

   Kepahlawanan yang tidak mengecilkan nilai penghormatan terhadap para 
pahlawan yang sudah tiada, tapi memberi tempat selayaknya pula kepada 
mereka yang masih hidup - tanpa pandang bulu. Kepahlawanan yang menyadari 
perlunya keseimbangan antara pemberian simbol-simbol kehormatan di satu 
pihak, dengan jaminan hidup layak serta subsidi nyata untuk terus berkarya 
di pihak lain - demi melestarikan prestasi sosial yang bersangkutan. 
Dan yang terakhir--meski tak kalah penting--kepahlawanan yang tidak 
mengharapkan para pelakunya menjadi SUPERMAN tanpa cacat yang tak mungkin 
berbuat khilaf di kemudian hari, melainkan: manusia-manusia bersahaja 
yang senantiasa perlu dirangsang prestasi sosialnya.@

  (KOMPAS, Selasa, 10 November 1987)

_______________
  Menjadi salah satu artikel dalam buku "TERAMPIL BERPIKIR: Mengapa Tidak?" 
karya Bambang Utomo (Griya Gagasan & Milenia Populer, 2001). Aneka 
aplikasinya akan dibahas lebih lanjut dalam buku seri berikut: 
"TERAMPIL MENOLONG: Mengapa Tidak? (segera terbit). Bagi yang berminat, bisa 
mendapatkannya di toko-toko buku terdekat, atau menghubungi Perpustakaan 
Griya Gagasan lewat e-mail: <ideas at cianjur.wasantara.net.id>. Terimakasih.
-------------- next part --------------
An HTML attachment was scrubbed...
URL: http://www.polarhome.com/pipermail/solusi-nkri/attachments/20060818/23b3cae4/attachment-0001.html 


More information about the Solusi-Nkri mailing list