[Solusi-Nkri] Lupa password

Ideas ideas at cianjur.wasantara.net.id
Tue Nov 13 19:23:56 CET 2007


Sdr Moderator Yth, 

Saya sering dikirimi e-mail oleh Solusi-NKRI, 
tapi tidak bisa masuk krn lupa password saya. 
Bisa bantu ingatkan? Tx.

Ideas

NB: Tertera di bawah ini artikel daur-ulang menyambut 
Hari Pahlawan 2007 - semoga bermanfaat!


"
bukan cuma kepahlawanan yang menghancurkan, 
tapi juga yang mensejahterakan sesama."


    KEPAHLAWANAN YANG KREATIF.

        Oleh: Bambang Utomo
 <ideas at cianjur.wasantara.net.id>

BANYAK orang berbicara--bahkan kerap berdebat--tentang 
berbagai hal, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang 
dipakainya berbeda maknanya bagi masing-masing. Salah 
satu contohnya adalah arti kata 'pahlawan'– yang tetap 
relevan kita kaji-ulang setiap kali merayakan hari-hari 
bersejarah nasional semisal Hari PAHLAWAN 2007 ini.  

   Pertama, mari kita renungkan hakikat di balik ajakan 
berikut: "Saudara-saudara sekalian, marilah kita sejenak 
mengheningkan cipta--atau berdoa menurut agama masing-
masing--bagi arwah para pahlawan yang telah gugur 
mendahului kita...."

   Siapa di antara kita yang tidak ingat kalimat ajakan 
di atas? Hampir setiap kali menghadiri upacara resmi, 
ritual tersebut selalu termasuk paket acara perayaan 
yang bersangkutan. Namun tulisan ini bukan ingin 
mengajak Anda semua mengheningkan cipta, melainkan 
memikirkan ulang makna konsep kepahlawanan yang kita 
anut secara lebih kreatif. Keperluan terhadapnya muncul 
berhubung saya simak betapa sangat terbatasnya kata 
'kepahlawanan' diartikan orang sejauh ini.
 
   Tersirat dalam ajakan mengheningkan cipta di atas 
suatu arah penafsiran, bahwa yang disebut "pahlawan" 
terutama adalah mereka yang telah gugur atau anumerta. 
Tafsiran tersirat itu bahkan diperkuat lagi oleh 
ketetapan resmi tentang kriteria pahlawan sebagaimana 
tersurat dalam peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1964 
tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap 
Pahlawan. Di situ jelas disebutkan bahwa: "Pahlawan 
adalah warga negara RI yang gugur, tewas, atau meninggal 
dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai 
mutu dan nilai dalam suatu tugas perjuangan untuk 
membela negara dan bangsa." Meskipun pahlawan bisa juga 
termasuk mereka yang masih hidup, yang tindak 
kepahlawanannya tidak ternoda sepanjang kehidupan 
selanjutnya, namun hanya mereka yang telah meninggal 
dunia yang diakui resmi sebagai pahlawan. Bisa Anda 
bayangkan, betapa sulitnya syarat menjadi "pahlawan" 
di negeri kita. 

   Arah penafsiran kedua yang juga tersirat dalam 
ketetapan di atas tak kurang janggalnya. Yaitu bahwa: 
kepahlawanan cenderung dikaitkan dengan jatuhnya korban 
akibat upaya membela sesuatu pihak (negara atau bangsa), 
yang tentunya juga mengasumsikan kehadiran pihak lawan, 
serta pada gilirannya kegiatan menghancur-leburkan 
musuh tersebut. Terkandung jelas dalam penafsiran 
tersebut adanya unsur konflik, atau situasi Menang-Kalah, 
di mana untuk bisa membuktikan kepahlawanan pihak KITA, 
diperlukan jatuhnya korban di pihak MEREKA!

KEADILAN TANDINGAN
   Mengenai arah penafsiran tersebut pertama, bahwa 
hanya mereka yang anumertalah yang pantas disebut 
pahlawan, ingin saya bandingkan dengan pengejawantahan 
konsep "KEADILAN" yang umumnya kita anut. Ibarat mata 
uang, peradaban keadilan kita sejauh ini baru berkembang 
ke salah satu sisinya semata: menghukum barangsiapa 
yang bersalah kepada sesama. Ada pun sisi tandingannya, 
menghargai mereka yang berjasa kepada masyarakat, 
cenderung kita abaikan. Anda mau bukti?

   Coba ingat-ingat manakala ada maling tertangkap 
tangan di sekitar kita. Tidak sedikit saksi mata yang 
spontan ingin jadi hakim, bahkan sekaligus "algojo" 
(yang luar biasa sadisnya!). Namun sebaliknya, kalau 
ada orang-orang yang terbukti berjasa kepada kita 
semua...jarang ada yang serta-merta memberi ganjaran. 
Ya, entah sejak kapan kita kenal dan terus kelola Lapas 
di Pulau Nusakambangan. Tapi mana "Taman Firdaus" 
yang kita sediakan khusus bagi pahlawan-pahlawan 
yang masih hidup di masyarakat? Bukan, sekali lagi, 
yang saya maksud bukan Taman Pahlawan bagi mereka 
yang telah gugur; yang sudah lama ada di mana-mana. 
Juga bukan jenis-jenis "sorga dunia" yang biasa kita 
jual—dengan harga sangat mahal--ke pihak mana pun 
yang sanggup membayar. Taman Firdaus yang hendak saya 
canangkan adalah semacam lembaga tandingan dari penjara 
(Lembaga Pemasyarakatan), di mana anggota masyarakat 
yang terbukti berprestasi tinggi dapat berkumpul dalam 
suasana kehidupan yang menunjang pelestarian 
karya-karya sosial mereka secara optimal. 

   Tetapi di sini bukan tempatnya untuk melanjutkan 
"khayalan" di atas lebih jauh. Lontaran ide perlunya 
Taman Firdaus juga diselenggarakan di dunia kini, bukan 
cuma di akhirat nanti, adalah untuk meninjau-ulang 
sikap masyarakat kita yang umumnya kurang berkenan 
terhadap penghargaan secara material kepada para pahlawan. 
Kita selalu diingatkan oleh nasehat leluhur: ”Berbuat 
baik itu harus ikhlas, tak boleh disertai pamrih DUNIAWI 
apa pun (anehnya kalau yang AKHIRATI tidak dilarang)”. 
Padahal ilmu psikologi telah lama membuktikan, bahwa 
terlepas dari doktrin moral yang dianutnya, perilaku 
manusia senantiasa terikat pada kecenderungan "mengejar 
kenikmatan" dan "menjauhi penderitaan" - secara LAHIR 
maupun BATHIN. Dengan kata lain, boleh-boleh saja kita 
menganugerahi seperangkat gelar kehormatan, menyematkan 
bintang dan tanda jasa, atau mengabadikan nama si pelaku 
sebagai nama jalan. Tapi kalau suatu bangsa sampai 
membiarkan para pahlawannya "kelaparan"--sengaja maupun 
alpa--jangan heran jika jumlah dan frekuensi tindak 
kepahlawanan yang terjadi di masyarakat semakin surut. 

   Sayang kita tidak tahu, karena sejarah belum pernah 
mencatat: berapa banyak pahlawan tak dikenal di sekitar 
kita yang terlanjur kecewa, dan lalu menghentikan 
prestasi sosialnya? Dan berapa yang kemudian berubah 
lugas sikapnya: memilih mengabdikan keunggulan 
kemampuannya kepada kepentingan pihak pemberi upah 
tertinggi – siapa pun mereka? Atau malah "desersi", 
pindah bermukim ke lingkungan masyarakat atau bangsa 
lain di mana prestasi sosial mereka secara layak dihargai, 
diakui peranannya serta ditunjang kelestariannya?

TRADISI BERPIKIR: Minus-Normal-Plus
   Akan halnya penafsiran kedua yang cenderung mengkaitkan 
kepahlawanan dengan situasi konflik, antara tugas membela 
kawan di satu pihak dengan keharusan menghancurkan musuh 
di pihak lain; ingin saya hubungkan dengan kebiasaan 
berpikir kita. Pada umumnya kita lebih terlatih berpikir 
KRITIS, bukan KREATIF. Berpikir kritis yang bertumpu pada 
logika dan sejak lama diajarkan lewat penalaran ilmu 
pengetahuan di sekolah itu memang bersifat korektif 
atau rehabilitatif: menghilangkan atau memperbaiki 
kesalahan dari situasi yang dihadapi. Sedangkan berpikir 
kreatif yang banyak mengandalkan intuisi serta belum 
pernah ada sekolahnya itu lebih bersifat eksploratif 
dan inovatif: menjelajahi berbagai kemungkinan yang ada 
dalam setiap situasi untuk menciptakan hal-hal baru 
yang berguna.

   Ditinjau dari sudut pandang demikian, tampak bahwa 
berbagai bentuk kegiatan "menghancurkan musuh" itu lebih 
berorientasi rehabilitatif: mengembalikan keadaan MINUS 
ke kondisi awal. Atau dari kehidupan sosial yang 
kelangsungannya terancam, dikembalikan menjadi NORMAL; 
tanpa bermaksud mengurangi nilai kemuliaan pengorbanan 
demikian. Sedangkan kepahlawanan yang kreatif, misalnya 
menciptakan karya penemuan baru yang bermanfaat, jelas 
bakal lebih memajukan kehidupan bersama. Atau dari kondisi 
kehidupan normal (bahkan yang minus sekalipun!) menjadi 
PLUS, yang bahkan akan terus bertambah baik di kemudian hari.

   Namun harus diakui, bahwa praktek mengikis atau 
menghancurkan sesuatu sebagai buah dari kebiasaan berpikir 
kritis itu lebih disukai orang. Mungkin karena di samping 
mudah, hasilnya pun bisa serta-merta dirasakan. Dengan 
sebuah bom umpamanya, orang bisa seketika menghancurkan 
sepasang gedung pencakar langit modern, pesawat udara, 
bahkan monumen sejarah seperti Candi Borobudur sekalipun! 
Tapi apatah mungkin kita membangunnya kembali dalam tempo 
singkat?

  Demikian pula halnya dengan, misalnya, mengkritik GAGASAN 
BARU yang diusulkan seseorang. Kebiasaan ini amat digemari 
karena melakukannya mudah serta kepuasaan psikologik yang 
dihasilkannya cepat dirasakan. Satu saja kelemahan kecil 
pada gagasan itu Anda tuding, maka hancurlah kesahihan 
seluruh usul tersebut. Padahal, belum tentu si pengkritik 
mampu menghasilkan alternatif gagasan konstruktif lain, 
yang sering memerlukan waktu tertentu untuk memikirkannya 
sempai matang - baik di atas kertas, apalagi kalau harus 
membuktikan hasilgunanya dalam praktek!

   Di lain pihak, penafsiran konsep kepahlawanan yang 
DESTRUKTIF di atas banyak pula dipengaruhi, serta pada 
gilirannya dilestarikan, lewat teladan yang kita cerap 
dari dunia fiksi - lewat buku-buku atau film. Coba kita 
simak bersama: bukankah alur kebanyakkan cerita 
"kepahlawanan" yang ada--baik berupa epos sejarah, perang, 
silat, ninja, koboi, spionase atau terorisme--cuma berkisar 
di antara dua kutub kehidupan MINUS-NORMAL tersebut? 
Tiba-tiba seorang yang tidak bersalah dibunuh, keluarga 
baik-baik dibantai, atau sekelompok orang tak berdaya 
diteror, dan semacamnya. Lalu ditampilkanlah si tokoh utama 
yang berkepentingan atau bersimpati terhadap nasib--MINUS--
para korban. Syahdan jalan cerita pun terjalin sepanjang 
upaya sang "pahlawan" merehabilitasi keadaan, lengkap 
berikut suka-dukanya (terkadang dibumbui sekadar kisah 
cinta kilat). Dan cerita pun berakhir begitu situasi 
kehidupan normal berhasil dipulihkan. Tegang dan mengasyikkan, 
bukan? Dan di tengah decak kekaguman kita terhadap 
tokoh-tokoh idola pahlawan semacam "Rambo" atau "Spider Man" 
ini, nyaris kita lupa bahwa tantangan kehidupan yang 
sesungguhnya bukanlah me-NORMAL-kan, melainkan mem-PLUS-kan 
(kehidupan sosial) itu sendiri!

   Disadari atau tidak, hasrat "normalisasi" kehidupan yang 
minus inilah--menurut hemat saya--akar ideologi yang 
melatarbelakangi berbagai ideologi, paham kemasyarakatan 
maupun gerakan kemanusiaan di dunia sejak doeloe. Pada 
umumnya mereka cuma berpikir dari minus-ke-normal, ingin 
mengurangi atau menghilangkan situasi kehidupan negatif 
yang dialami orang banyak. Kembali ke topik kepahlawanan, 
begitu keadaan kembali normal: ketika pihak musuh hancur, 
dendam terbalas, atau hukuman berhasil dilaksanakan; maka 
selesailah tindak "kepahlawanan" kita. Tinggal lagi 
memikirkan nasib para korban atau orang-orang terancam 
lainnya, untuk disusul langkah normalisasi berikutnya.

KEPAHLAWANAN BARU
   Kesimpulan pertama yang hendak saya tarik dari semua 
uraian di atas adalah: perlunya kita bersama-sama melengkapi, 
bukan mengganti, kecenderungan berpikir kritis yang telah 
begitu lama mewarnai tradisi intelektual kita dengan 
pemikiran kreatif. Hasil dari alternatif sudut pandang baru 
yang muncul diharapkan bisa semakin memperluas makna 
berbagai konsep yang kita anut, termasuk di antaranya: 
kepahlawanan.

   Kedua, melalui kesempatan ini pula saya ingin mengimbau 
kesukarelaan masyarakat luas untuk lebih menghargai para 
pahlawan yang masih HIDUP di antara kita; baik secara moril 
lewat pemberian berbagai tanda kehormatan, maupun tak kalah 
penting secara material. Pentingnya hal tersebut belakangan 
bukan sekadar untuk menjamin kehidupan layak bagi si pelaku 
berserta keluarganya, atau semata-mata hendak mencegah sang 
pahlawan kecewa dan lalu "desersi". Tapi justru demi 
melestarikan pretasi sosial itu sendiri. Jangan sampai kita 
lupa, bahwa para pahlawan yang kita hargai adalah manusia-
manusia yang masih hidup di dunia nyata, belum kembali ke 
alam baka.

   Sebagai penutup, berikut ini saya coba rangkum ciri-ciri 
konsep "Kepahlawanan Baru" yang saya canangkan di sepanjang 
tulisan di atas. Yaitu: kepahlawanan yang lebih mengutamakan 
perwujudan dan pelestarian berbagai prestasi sosial demi 
semakin memajukan (prosperity) kehidupan bersama, ketimbang 
sekedar menjaga kelangsungan hidup (survival) masyarakat. 
Kepahlawanan yang juga bisa berlangsung dalam situasi damai 
dan tidak mensyaratkan kehadiran musuh mana pun di mana 
semua pihak bakal memperoleh manfaat, lebih dari tipe 
kepahlawanan destruktif yang menuntut modus operandi situasi 
konflik serta jatuhnya korban.

   Kepahlawanan yang tidak mengecilkan nilai penghormatan 
terhadap para pahlawan yang sudah tiada, tapi memberi tempat 
selayaknya pula kepada mereka yang masih hidup - tanpa 
pandang bulu. Kepahlawanan yang menyadari perlunya 
keseimbangan antara pemberian simbol-simbol kehormatan di 
satu pihak, dengan jaminan hidup layak serta subsidi nyata 
untuk terus berkarya di pihak lain - demi melestarikan 
prestasi sosial yang bersangkutan. Dan yang terakhir--meski 
tak kalah penting--kepahlawanan yang tidak mengharapkan 
para pelakunya menjadi Superman tanpa cacat yang tak mungkin 
berbuat khilaf di kemudian hari, melainkan: manusia-manusia 
bersahaja yang senantiasa perlu dirangsang prestasi sosialnya.@

 (Sumber: KOMPAS, Kolom, Selasa, 10 November 1987)

___________
   Salah satu artikel dalam buku "TERAMPIL BERPIKIR: Mengapa 
Tidak?" (Griya Gagasan & Milenia Populer, 2001). Aneka 
aplikasinya akan dibahas lebih lanjut dalam buku seri berikut: 
"TERAMPIL MENOLONG: Mengapa Tidak? (segera terbit). Kontak 
e-mail: <ideas at cianjur.wasantara.net.id>. Terimakasih.
-------------- next part --------------
An HTML attachment was scrubbed...
URL: http://www.polarhome.com/pipermail/solusi-nkri/attachments/20071113/c884bc8a/attachment.html 


More information about the Solusi-Nkri mailing list