[GMNI] counter thd fatwa kiai (ong)khos ttg Presiden perempuan
haram.
didonk-cbn
didonk at cbn.net.id
Fri Jun 4 17:54:35 CEST 2004
PBNU Patuhi Putusan Alim Ulama Perbolehkan Presiden Perempuan
Reporter: Anton Aliabbas
detikcom - Jakarta, PBNU tetap berpegang teguh kepada putusan Alim Ulama NU di Lombok tahun 1997 yang kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU di Kediri. Isinya, kepemimpinan nasional tidak ditentukan berdasarkan warna kulit, suku, dan jender.
"Yang penting seorang pemimpin itu memiliki akseptabilitas dan kapabilitas. Siapapun dia, sebagai pemimpin harus memiliki amanah dan komitmen terhadap kepentingan rakyatnya," kata Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU KH Masdar F Mashudi di Jakarta, Jumat (4/6/2004).
Mengenai perbedaan pendapat di lingkungan NU, dia meminta para kiai tidak lagi mempertajam perbedaan itu.
"Perbedaan itu kan biasa. Masalah khilafiyah ini pasti akan ada titik temu," kata Masdar.
Rois Suriah PBNU KH Said Agil Siradj mengatakan, fatwa itu berbau politik. "Itu jelas tujuannya untuk menjegal Mega. Ini sangat merugikan NU. Karena selama ini kita dikenal moderat, balance, dan objektif. Kenapa kok Mega dipersoalkan. Tapi kenapa ketika Gus Dur menggandeng Marwah tidak ada yang mempersoalkan," tukasnya.
Said meminta semua pihak menahan diri. Jangan hanya karena kekuasaan, umat yang tidak berdosa dikorbankan dengan menggunakan fatwa agama.
"Karena saya tahu persis bagaimana sejarah NU memutuskan untuk membolehkan presiden perempuan," ujar Said.
Munas Alim Ulama NU di Lombok pada 20 November 1997 memutuskan memperbolehkan presiden perempuan. Hal itu tertuang dalam keputusan nomor 004/Munas/11/1997. Keputusan itu diambil dalam rapat pleno yang dipimpin KH Ma'ruf Amin. Tim Alim Ulama yang membahas masalah itu diketuai KH Cholil Bisri.
Ketua PWNU Jatim Sesalkan Fatwa Presiden Perempuan Haram
Reporter: Budi Hartadi
detikcom - Surabaya, Fatwa presiden perempuan haram yang dikeluarkan beberapa kiai sepuh NU dipertanyakan dan disesalkan Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa.
"Kenapa keputusan melarang presiden perempuan wanita harus keluar lagi," tukas Ali usai mengikuti di Asrama Haji, Sukolilo, Surabaya, Jumat (4/6/2004).
Ali mengingatkan keputusan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Karena Munas Alim Ulama tahun 1997 sudah memperbolehkan perempuan menjadi Presiden.
"Keputusan Munas itu merupakan keputusan tertinggi setelah keputusan Muktamar. Saya kira warga NU juga tahu, baik secara institusi maupun secara organisasi tentang keputusan itu," kata Ali.
Jadi bagi warga NU, lanjut dia, keputusan Munas Alim Ulama lebih mengikat dari pada keputusan orang per orang.
"Tapi sekali lagi, kami sangat menghargai beliau-beliau. Karena beliau-beliau yang sampai hari ini kan dengan tegas mendukung Gus Solah, dan beliau-beliau tidak mendukung Pak Hasyim," ujar Ali.
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan NU, menurut dia, itu merupakan hal biasa. Tapi harus ada saling menghargai. Karena di kalangan NU, perbedaan pendapat yang terjadi sangat demokratis.
"Tetapi saya sangat menyayangkan kenapa keputusan melarang presiden perempuan itu harus keluar lagi," sesalnya.
Meski menyesalkan sikap para kiai yang mengeluarkan fatwa haram memilih presiden perempuan, menurut Ali, bagi warga NU hal itu tidak berpengaruh.
"Karena warga nahdliyin sangat demokratis. Jadi mereka akan menentukan, akan memilih, dan mencoblos pilihannya pada Pemilu presiden," demikian Ali. (sss)
-------------- next part --------------
An HTML attachment was scrubbed...
URL: http://www.polarhome.com/pipermail/gmni/attachments/20040604/40e8ae45/attachment.html
More information about the GMNI
mailing list