[Karawang] Atas Nama Islam

karawang@polarhome.com karawang@polarhome.com
Sun Sep 22 00:48:00 2002


Datum: Sun, 22 Sep 2002 04:34:55 +0700
Von: "He-Man" <fokus@bdg.centrin.net.id>
---------------------------------------
Jumat, 13 September 2002

Atas Nama Islam

Denny J.A.

Direktur Eksekutif Yayasan Universitas Dan Akademi Jayabaya

Sebuah kerikil dalam ekspresi kebebasan. Inilah respons spontan yang
muncul mengikuti aktivitas kelompok Islam Mujahidin. Belum selesai
kasus tekanan mereka kepada RCTI dan SCTV atas iklan "Islam Warna-
warni", kini kembali mereka menekan TPI dan Lativi atas iklan "Kondom
Anti-HIV/AIDS". Atas nama Islam, mereka mengancam media elektronik
agar tidak lagi menyiarkan iklan itu.

Praktis, kejadian ini tak banyak mendapatkan porsi berita di media
massa. Namun, secara perlahan, peristiwa ini akan cepat menjadi virus
dan membahayakan kelangsungan proyek demokrasi, yang secara susah
payah sedang kita bangun.

Di Indonesia, atau di mana pun, demokrasi akan sulit terkonsolidasi
tanpa menguatnya kultur demokrasi. Sementara itu, kultur demokrasi
sulit menguat jika elite yang berpengaruh tidak menghormati
keberagaman pandangan. Di negara yang makin kompleks, setiap individu
memiliki riwayat hidupnya sendiri. Suka ataupun tidak, dalam wilayah
sebuah negara nasional, akan terdapat banyak sekali keberagaman tak
hanya dalam cara berpikir, tapi juga dalam hal ideologi, agama,
interpretasi agama, serta gaya hidup.

Negara otoriter melarang keberagaman itu. Namun, demokrasi justru
membiarkannya, sebagaimana sebuah kebun yang membiarkan seribu bunga
berkembang. Demokrasi bahkan membolehkan setiap individu untuk
mempengaruhi pihak lain, melalui aneka saluran yang diakui oleh
sistem demokrasi, seperti media massa, seminar, pelatihan. Politik
pada dasarnya adalah forum untuk mempengaruhi publik. Jika sebuah ide
dilarang dikampanyekan, lalu apa gunanya ruang publik?

Inilah yang dilakukan kelompok Mujahidin. Mereka melarang pihak yang
berbeda pandangan untuk kampanye. Mereka menekan SCTV dan RCTI untuk
tidak mengiklankan kampanye Islam liberal. Padahal, Islam liberal
tentu punya hak untuk berpikir dan kampanye bahwa Islam itu warna-
warni. Sebagaimana kelompok Mujahidin juga punya hak untuk berpikir
bahwa Islam itu tidak warna-warni, tapi tunggal.

Atas nama Islam, kelompok Mujahidin kini kembali bereaksi atas
iklan "Kondom Anti-HIV/AIDS". Satu hal yang wajar jika mereka tidak
setuju dengan kampanye kondom, kampanye anti-AIDS, ataupun kampanye
terselubung yang tidak melarang seks bebas. Namun, kelompok ini
melangkah terlalu jauh jika mereka mengancam media untuk tidak
menyiarkan aneka gaya hidup yang bertentangan dengan kepercayaan
mereka. Hal sebaliknya dapat ditanyakan, apakah kelompok Mujahidin
ini juga rela jika gaya hidup mereka dilarang disosialisasikan
melalui media?

Kultur demokrasi hanya dapat bertahan jika berdiri di atas prinsip
yang diletakkan Voltaire. Filsuf Prancis ini suatu ketika
menyatakan, "Saya tidak setuju pendapat Tuan, namun hak Tuan
menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati." Pernyataan ini
yang kemudian menjadi prinsip terpenting dalam kebebasan berpendapat.
Islam liberal boleh saja tak setuju pendapat kelompok Mujahidin,
namun hak kelompok Mujahidin untuk menyatakan pendapatnya harus
dibela. Hak yang sebaliknya juga harus terjadi.

Media massa harus tetap dibolehkan menyalurkan semua opini yang
bertentangan itu. Sekali ada satu kelompok yang mulai menekan dan
mengancam agar pandangan tertentu tidak disiarkan, maka ibarat tinju,
kelompok itu bertarung dengan memukul bagian di bawah perut. Dalam
pertandingan profesional, sang petinju itu seharusnya
didiskualifikasi dan dianggap tidak layak untuk ikut dalam sebuah
pertandingan yang fair.

Namun, tentu saja sangat absurd jika kita berharap semua kelompok
untuk menghormati perbedaan pendapat dan prinsip demokrasi di atas.
Di mana pun, bahkan di Eropa Barat dan Amerika Serikat sekalipun,
akan tetap ada individu atau kelompok yang ingin memonopoli
kebenaran. Lalu, atas nama "Tuhan" kelompok ini merasa berhak
menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh disiarkan secara
publik.

Untuk menghadapi kelompok ini, dunia pers serta media, pemerintah,
dan civil society yang peduli dengan kultur kebebasan, mesti
mengembangkan respons yang konsisten. Kalangan pers dan media adalah
pihak yang sangat berkepentingan dengan kebebasan. Hanya dengan
kebebasan itu mereka dapat melakukan investigasi dan menyiarkan aneka
informasi. Ibarat ikan, kebebasan itu adalah air bagi pers dan media.

Justru karena pentingnya kebebasan itu, pers dan media harus pula
berani memperjuangkannya, dan jangan mudah tunduk oleh tekanan. Kata
orang dulu, jika ingin menikmati enaknya nangka, harus berani juga
kena getah nangka. Akan jauh lebih baik jika RCTI, SCTV, TPI, dan
Lativi menganggap ancaman Mujahidin itu sebagai angin lalu saja.

Jika memang perlu ke pengadilan, hadapilah setiap kelompok yang
mengancam itu di pengadilan. Jika datang massa yang demo di stasiun
TV, insan media dapat memanggil polisi. JIka akan ada barang dan
peralatan studio TV itu yang dirusak, insan media dapat menuntut
kelompok yang merusak itu ke pengadilan. Hanya dengan "berkelahi"
demi prinsip kebebasan itu, kebebasan akan lebih terjaga oleh mereka
yang memang berkepentingan. Toh, semua barang berharga di studio TV
dapat diasuransikan sebelumnya.

Harga kebebasan akan jauh lebih mahal ketimbang harga peralatan
fisik. Jika media elektronik ini terlalu cepat tunduk pada tekanan
massa, mereka sendiri akan membesarkan kelompok yang mengancam untuk
melakukan kembali hal serupa atau mungkin yang lebih parah.

Pemerintah melalui polisi harus pula responsif dengan hal itu.
Pemilik modal media massa tentu punya hak untuk takut dan tak berani
mengambil risiko. Apalagi jika pemilik modal itu kalangan nonpri dan
begitu khawatir dengan isu agama. Mereka sudah bayar pajak, dan
berhak atas perlindungan. Saya membayangkan akan jauh lebih baik jika
Kapolri sendiri membuat pernyataan publik bahwa akan menindak setiap
kelompok yang merusak peralatan dan mengganggu kerja studio TV.

Saatnya pula aneka civil society yang relevan berhimpun dalam sebuah
koalisi penjaga kebebasan. Mungkin dimotori oleh Islam liberal,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan lain-lain. Mereka
membuat sebuah koalisi khusus untuk membantu pers atau media yang
diancam. Mereka menyediakan tak hanya ahli hukum, bahkan jika perlu
juga menyediakan massa tandingan untuk demo.

Apa boleh buat. Kebebasan begitu penting untuk dilindungi. Jika tidak
dijaga secara all out, demokrasi akan digantikan oleh mobokrasi,
pemerintahan oleh aksi massa.