[Marinir] [cari] Mutasi TNI Dinilai Terkait Pemilu 2004

Hong Gie marinir@polarhome.com
Mon, 3 Nov 2003 21:42:24 +0700


----- Original Message -----
From: Ambon (by way of Wahana <wahana@centrin.net.id>)
To: .
Sent: Monday, November 03, 2003 6:37 PM
Subject: [cari] Mutasi TNI Dinilai Terkait Pemilu 2004

Suara Merdeka
Senin, 3 November 2003 Berita Utama

Mutasi TNI Dinilai Terkait Pemilu 2004

JAKARTA- Mutasi besar-besaran perwira TNI, khususnya di tubuh TNI Angkatan
Darat (TNI AD) mengundang berbagai pendapat. Namun kalangan pengamat dan
politikus umumnya menilai mutasi itu berkaitan erat dengan Pemilu 2004.
Demikian kesimpulan pendapat pengamat politik LIPI Indria Samego, pengamat
militer MT Arifin, Sekretaris F-PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, dan anggota
Komisi I Imam Addaruqutni di Jakarta, kemarin. Mereka menanggapi mutasi
besar-besaran di lingkungan TNI.
Sebelumnya diketahui sekitar 120 perwira TNI semua angkatan, termasuk lima
pangdam dialihtugaskan. Mutasi besar-besaran yang berkesan mendadak ini,
diperkirakan bertujuan mensterilkan TNI dari dunia politik praktis atau
menghindarkan dari pengaruh politikus menjelang Pemilu 2004.
Sebagaimana tekad Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, TNI menghadapi
Pemilu 2004 tetap bersikap netral, tak terkotak-kotak akibat pengaruh
politikus untuk kepentingan partai politik.
Indria Samego mencontohkan, pergantian lima pangdam, termasuk Pangdam
IV/Diponegroro, untuk mencegah pengaruh sejumlah jenderal purnawirawan yang
kini muncul sebagai calon presiden RI. ''Pimpinan TNI tidak ingin memberikan
fasilitas apa pun kepada mereka,'' ujarnya.
Dengan demikian, lanjut dia, mutasi besar-besaran ada kaitannya dengan
situasi politik saat ini, terutama ketika elite politik berlomba-lomba
merangkul TNI. ''Saya yakin, orang-orang TNI tak bisa dimanfaatkan politikus
sipil. Sebaiknya, harus didorong lebih profesional,'' ujarnya.
Diakuinya, mutasi pada Oktober ini merupakan bukti berjalannya regenerasi di
tubuh TNI. ''Organisasinya sangat disiplin, sehingga bisa diketahui
siapa-siapa yang akan pensiun. Biasanya pada April dan Oktober sudah
diketahui siapa yang akan pensiun,'' ujarnya.
Dukungan TNI
Menjelang Pemilu 2004, ada sejumlah purnawirawan yang menjadi capres dan
mencoba memanfaatkan opini publik, agar mereka seolah-olah memiliki hubungan
dan dukungan dari TNI.
''Jadi, saya melihat penggantian nama personel yang mendadak seperti
pengganti Pangdam Diponegoro yang tak kunjung dilantik (rencana 24 Oktober),
karena TNI ingin agar penguasa teritorial tidak dimanfaatkan orang-orang
politik,'' ujar MT Arifin.
Bahkan, MT Arifin menilai, pergantian lima pangdam ini sebagai bentuk
jawaban terhadap mantan jenderal yang terjun ke dunia politik. Setidaknya
ada kekhawatiran dari petinggi TNI kalau militer masih bisa dimanfaatkan,
seperti memberi fasilitas untuk kepentingan politik. ''Yang seperti itu
kelihatannya langsung dipotong,'' tuturnya.
Imam Addaruqutni, anggota Komis I DPR RI mengatakan, mutasi besar-besaran di
tubuh TNI tidak menutup kemungkinan akibat intervensi Presiden Megawati
Soekarnoputri untuk kepentingan politik 2004. Apalagi budaya intervensi dari
luar masih ada, meski sekarang menyatakan bersikap netral.
Seperti diketahui, Mayjen TNI Sunarso yang kini menjabat Pangdam Sriwijaja,
akan menempati posisi yang ditinggalkan almarhum Mayjen Amirul Isnaeni.
Adapun Pangdam Udayana yang semula disebut-sebut menjabat Pangdam
Diponegroro, secara mendadak ditugaskan menjabat Danpuster TNI AD. Sebagai
gantinya ditunjuklah Brigjen TNI Supiadin.
Dansesko Letjen TNI Djaja Suparman dimutasi menduduki Irjen TNI.
Pangdam Jaya Mayjen TNI Djoko Santoso menjabat sebagai Wakasad. Selanjutnya,
jabatan yang ditinggalkan itu akan diisi oleh Mayjen TNI Agustadi.
Ketua Fraksi PDI-Perjuangan menilai, mutasi yang terjadi di TNI ini
membuktikan keberhasilan pengaderan di lingkungan TNI AD, yang berjalan
secara normal.
''Itu bukti di lingkungan TNI AD, kaderisasi berjalan normal dan mutasi
seperti itu adalah hal wajar untuk peningkatan karier,'' ujar Tjahjo.
Soal jabatan Wakasad yang akan ditempati Djoko Santoso, Tjahjo menilai
sangat tepat, karena dipegang jenderal yang sudah memiliki pengalaman
teritorial.
''Ini sangat tepat, karena dia angkatan 1975, dengan pengalaman dia cukup
lengkap,''ujarnya.
Menurut Tjahjo, pergantian perwira dalam jajaran TNI AD bebas murni, tidak
ada unsur intervensi dan pesanan politik atau kepentingan politik Presiden
Megawati Soekarnoputri.
''Posisi sekarang, TNI sangat bebas dari tekanan politik dan bebas untuk
melakukan konsolidasi,'' ujarnya menanggapi kemungkinan ada intervensi dari
Presiden Megawati.
Soal tarik ulur posisi Pangdam IV/Diponegoro yang Skep-nya sempat dibatalkan
secara mendadak, Tjahjo menilai, itu hal yang wajar. Apalagi, untuk menjadi
Pangdam Diponegroro diperlukan perwira yang berprestasi dan bertanggung
jawab.
''Pangdam Udayana yang semula diplot di Pangdam Diponegoro lalu batal,
karena dia kurang bertanggung jawab dan gagal sebagai Pangdam Udayana,''
ujarnya.
Jadi, menurut politikus yang dekat dengan suami Presiden Mega, Pangkop Aceh
juga layak diganti karena gagal. ''Tewasnya prajurit Kopassus dalam HUT TNI
adalah tanggung jawab dia.''
Dia berpendapat, mutasi dalam jajaran TNI AD khususnya, sangat tepat. Hal
itu seharusnya juga diikuti oleh Polri untuk melakukan regenerasi dengan
peremajaan semua kapolda se-Indonesia sehingga kinerjanya meningkat,
khususnya untuk menghadapi pemilu.(di-64i)

++++
http://www.suaramerdeka.com/harian/0311/03/nas11.htm



      Analisis Berita
      Ketika Sipil Undang Tentara ke Politik Praktis
      GERBONG mutasi di TNI bergerak. Soal mutasi besar-besaran di tubuh
militer merupakan hal yang wajar. Apalagi secara organisasi, konsolidasinya
relatif solid sehingga pergerakan dari angkatan ke angkatan berikutnya
mulus.

      Hanya yang menarik, mutasi kali ini bertepatan dengan pelaksanaan
Pemilu 2004 yang kurang 100-an hari lagi. Wajar jika berbagai komentar
bermunculan, karena masalah TNI masih belum bisa lepas sama sekali dengan
dunia politik praktis.

      TNI telah mereformasi secara internal setelah 35 tahun digunakan alat
dan kendaraan politik oleh Pemerintah Orde Baru. Salah satu reformasi total
adalah tidak adanya perwakilan institusi itu di lembaga tinggi negara pada
Pemilu 2004.

      Ada yang berpendapat, amat tergesa-gesa bila sekarang menyatakan peran
politik TNI telah selesai, dan kalangan sipil yang memegang kekuasaan. Dapat
saja sipil naik daun bila mereka mampu menggalang koalisi permanen untuk
membangun pemerintahan yang stabil.

      Teror masih menjadi bayang-bayang yang menakutkan. Kriminalitas jauh
meningkat dan lebih sadis. Dengan demikian, stabilitas yang diharapkan
masyarakat tampaknya jauh panggang dari api. Artinya, masih belum bisa
dijangkau.

      Karena itu, jika membuat rekapitulasi pasang surut perjuangan
menegakkan supremasi sipil dalam politik akhir-akhir ini, masih sangat sulit
bisa dibayangkan.

      Meski demikian, setidaknya bisa dilihat ada tiga kekuatan sipil yang
akan berlomba meraih kepercayaan pemilih menuju ke panggung kekuasaan.
Ketiganya adalah kekuatan politik beraksentuasi Islam yang kabarnya tengah
menggalang kesamaan sikap, yakni PPP, PAN, PKB, dan PKS ditambah Golkar dan
PDI-P. Inilah konfigurasi politik garis besar tanpa mengabaikan partai lain
atau partai calon peserta pemilu. Tampaknya ketiga kubu kekuatan itu amat
sulit bertemu. Koalisi partai-partai pada Pemilu 1999, hingga sekarang di
MPR hanyalah persekutuan taktis belaka.

      Contoh, munculnya Poros Tengah yang menggabungkan partai Islam plus
Golkar pada Sidang Umum MPR 1999, hanyalah untuk mengadang Ketua Umum
Megawati Soekarnoputri sehingga gagal duduk di kursi Presiden RI.

      Dalam perjalanan berikutnya, koalisi partai berubah pasangan. PDI-P,
Golkar, dan kelompok Poros Tengah ramai-ramai berkoalisi untuk melengserkan
Gus Dur pada Sidang Istimewa (SI) MPR. Itu bukti belum ada koalisi permanen
di kalangan politikus sipil, dan sifatnya masih kepentingan sesaat belaka.

      Adapun dalam stelsel peran politik TNI, sekarang muncul dalam bentuk
para tokoh purnawirawan atau apa saja, amat terbuka untuk dilakukan, atau
mungkin sudah dilakukan. Peserta konvensi Golkar untuk calon presiden yang
dinyatakan sebagai unggulan, dua di antaranya mantan perwira tinggi (Pati)
TNI, yaitu Wiranto dan Prabowo Subianto.

      Selain itu, ada beberapa partai yang sudah lulus verifikasi
administratif KPU yang dipimpin oleh mantan Pati TNI. Banyak pula mantan
Pati TNI yang bergabung dengan partai lain. Keberadaan mereka diterima dan
diakui partai bersangkutan.

      Hal lain adalah anggota TNI dan Polri dalam Pemilu 2004 mempunyai hak
memilih. Hak memilih ini sebetulnya tidak terlalu mereka harapkan. Ketika
MPR akan mengesahkan rumusan tentang berakhirnya eksistensi TNI di MPR,
Penglima TNI menemui Ketua MPR Amien Rais.

      Panglima TNI mengatakan, TNI belum siap menggunakan hak memilihnya.
Pernyataan itu juga masih menimbulkan multitafsir. Sebagian mengartikan
sebagai pernyataan keberatan atas penghapusan eksistensi TNI di MPR. Namun,
hal itu dapat juga berarti peringatan kepada kalangan partai. TNI dan Polri
serta jajaran yang mereka bina, contoh Babinsa, Hansip, Banpol, dan
lain-lain, beserta keluarga mereka merupakan voting power yang perlu
diperhitungkan oleh partai mana pun dalam Pemilu 2004.

      Inilah fakta politik yang harus dihitung dalam mengalkulasi Pemilu
2004. Tampaknya, persoalan dikotomi sipil-militer dalam politik di Indonesia
hanya materi percakapan di meja perjamuan.

      Dalam dunia perpolitikan Indonesia, hal itu sulit diverifikasi. Peran
yang dimainkan "tentara" dalam Pemilu 2004 sepenuhnya dibenarkan
undang-undang. Ironisnya, perangkat UU tentang politik yang disusun
politikus sipil mengandung maksud menyingkirkan atau mengurangi peran
politik TNI.

      Memang, TNI dan Polri telah mereformasi internalnya dan tidak akan
berpolitik praktis seperti dahulu. Jika benar pengamatan pengamat militer MT
Arifin yang dilansir media di Jakarta, bahwa pergantian lima pangdam itu
merupakan pukulan bagi kandidat capres dari TNI, jelas indikasi itu tindakan
politik praktis. Pasalnya, itu menguntungkan kelompok politik lain dengan
tidak menguntungkan partai yang menjagokan TNI.

      Ada juga yang berpandangan, itu upaya dari petinggi TNI untuk memutus
benang merah yang menghubungkan TNI dengan mantan jenderal. Dengan demikian,
tidak ada lagi fasilitas yang bisa digunaan oleh mereka yang tampil sebagai
capres.

      Atau memang benar sebagian besar rakyat sudah merindukan kehadiran
tentara untuk kembali ke politik karena instabilitas yang meresahkan.
Terbukti, konvensi Partai Golkar memasukkan Wiranto dan Prabowo sebagai
capres. Di DPD Jateng, Prabowo lebih unggul. Jika merespons keinginan rakyat
mayoritas yang diam yang mendambakan stabilitas, TNI tidak bisa disalahkan.
Contoh soal adalah bentrok fisik massa Golkar dengan PDI-P di Bali yang
menelan dua korban nyawa di pihak Golkar. Sementara itu, pelaksanaan Pemilu
2004 kurang beberapa bulan lagi.

      Mengacu buku tentang berakhirnya era dwifungsi ABRI karangan Dr Salim
Said, sekarang saat yang paling tepat bagi kaum sipil menunjukkan kekompakan
dan kematangan menggantikan peran politik TNI yang dianggap telah merosot.
Akan tetapi sebaliknya, yang terjadi malah kerja sama antarkelompok sipil
makin renggang. Dendam lama masih mewarnai persepsi partai satu terhadap
yang lain. Sekjen PDI-P Sutjipto menanggapi bentrokan itu dengan mengungkap
kembali "kekejaman" Golkar terhadap massa PDI-P di zaman Orde Baru. Karena
itu, dia menegaskan, pihaknya tidak sudi meminta maaf kepada Golkar.

      Benar, sejak 1971 Golkar menggunakan cara-cara tak terpuji untuk
memenangi enam kali pemilu di masa Orde Baru. Itulah lembaran hitam dalam
sejarah perjuangan demokrasi di Indonesia yang harus dicatat. Pemilu yang
demokratis, sopan, indah, nyaris tanpa kekerasan seperti digelar pada 1955,
ternyata berlaku sekali itu saja dalam sejarah modern RI. Jika elite sipil
tak akur, jelas mengundang kerawanan pada Pemilu 2004, dan itu sama dengan
mengundang tentara ke politik praktis.(A Adib-78j)