[Marinir] Menegakkan Hukum Bukan Melawan Hukum

Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Sat Feb 7 17:47:08 CET 2004


http://www.tni.mil.id/patriot/i_hukumham.shtm
Edisi : Oktober 2003

Sabtu, 07 Febuari 2004
HUKUM & HAM

MENEGAKKAN HUKUM BUKAN MELAWAN HUKUM


JAKARTA, PATRIOT-
Dalam rangka pembekalan tentang hukum dan HAM bagi prajurit TNI yang
ditugaskan di daerah operasi NAD, Pimpinan TNI mengundang dua pakar
Hukum dari Komnas HAM yakni Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H dan
Dr. Taheri Noor.
Acara tersebut diselenggarakan TNI, dengan maksud memberi wawasan dan
pengetahuan yang sebenarnya terkait dengan persoalan hukum dan HAM bagi
seluruh prajurit yang bertugas di daerah operasi NAD. Memang tak dapat
dipungkiri, karena keterbatasan pengetahuan HAM yang dimiliki oleh para
prajurit di lapangan, sering ditemukan hal-hal yang tidak diinginkan. Antara
lain, pelanggaran yang dilakukan prajurit khususnya yang terkait dengan
Hukum dan HAM. Tentu saja, pembekalan ini sangat strategis dilakukan,
mengingat upaya TNI untuk merealisasikan paradigma baru menuju
profesionalisme.
Secara garis besar, penyuluhan Hukum dan HAM yang disampaikan kedua pakar
hukum yang juga anggota Komnas HAM tersebut, sudah mencakup hal-hal yang
mendasar. Kedua pakar tersebut menilai, pelaksanaan tugas operasi yang
dilakukan oleh para prajurit di NAD merupakan tugas suci yang dituntut oleh
negara. Menurut mereka, Bangsa dan negara Indonesia menghadapi sekelompok
masyarakat Aceh bersenjata dan melawan pemerintah yang sah.
Tujuan mereka menuntut kemerdekaan tentu saja membahayakan keutuhan
NKRI. Kelompok yang menamakan dirinya GAM tersebut dari perspektif hukum
tentu saja melanggar peraturan yang telah sepakati. "GAM itu sendiri
meskipun tidak meng-angkat senjata, jelas sudah merupakan suatu perbuatan
makar yang diatur dalam pasal 106 KUHP," demikian penjelasan Prof. Dr.
Achmad Ali, S.H, M.H. Guru besar di bidang hukum ini juga menambahkan, jika
sudah mengangkat senjata atau dipersenjatai, berarti GAM sudah melanggar UU
Nomor 12 Drt 1951 yang ancaman pidananya seumur hidup hingga pidana mati.
"GAM jika sering melakukan teror, pemusnahan, penculikan dan pembakaran
gedung-gedung sekolah, itu sudah merupakan suatu pelanggaran HAM berat yang
diatur oleh UU No. 39 tahun 1999 maupun UU No. 26 tahun 2000;vb," paparnya.
Prof.Dr. Achmad Ali juga menerangkan soal pelanggaran HAM berat.
Menurutnya, dua tindakan kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM
berat, yakni kejahatan genocide dan kejahatan kemanusiaan.

Kejahatan yang pertama meliputi pemusnahan, pembumihangusan, penghancuran
sekelompok suku dan masyarakat yang ada di suatu wilayah.
Pakar dari Universitas Hasanuddin Makasar ini men-contohkan, tentara Nazi
(Jerman) dalam Perang Dunia II yang mengumpulkan orang Yahudi ke dalam suatu
ruangan yang dikenal dengan sebutan kamp konsentrasi. Ke dalam ruangan
tersebut, dialirkan gas mematikan, kategori pelanggaran HAM berat adalah
kejahatan kemanusiaan. Kejahatan ini menurut Prof.Dr.Achmad Ali, harus
memenuhi dua syarat.
   Pertama, dilakukan secara sistematis, artinya kejahatan itu dilakukan
secara terkoordinir yang berawal dari adanya instruksi dari komandan satuan
setempat.
Bila komandan satuan setempat sebelum bergerak ke daerah operasi sudah
memberikan arahan kepada bawahannya, bahwa di dalam tugas dilarang
menyakiti rakyat dan melakukan penembakan bila ada GAM menyerah dan
dilarang melakukan penyiksaan, tidak lagi bisa dikategorikan pelanggaran HAM
berat.
   Kedua, dilakukan secara meluas, artinya kejahatan tersebut mencakup
banyak korban dan dilakukan berkali-kali di setiap tempat. Dia mencontohkan,
disalah satu daerah, prajurit diperintahkan untuk menyerang dan di daerah
tersebut
terdapat banyak wanita. Sering terjadi prajurit melakukan perkosaan terhadap
wanita-wanita yang ada di daerah tersebut. Di NAD kasus-kasus seperti itu
juga terjadi, sehingga oknum prajurit yang melakukannya telah divonis oleh
Mahkamah Militer setempat.
"Sesungguhnya itu bukan merupakan suatu pelanggaran HAM berat, karena
dilakukan secara individu, hanya sekali dan oleh komandannya diproses,
kemudian dilimpahkan ke Mahmil setempat dan sudah diputus dengan hukuman
penjara dan dipecat," tegasnya.
   Ketiga, kalau terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh institusi TNI,
menurut UU No. 26 tahun 2000, proses penyidikannya sesuai pasal 97 ayat
(1), dilakukan penyidikan secara tertutup dan penyidiknya adalah instansi
kejaksaan.
   Keempat, sesungguhnya bila prajurit secara individu melakukan suatu
pelanggaran pidana di mana saja dalam keadaan operasi militer maupun tidak,
merupakan pelang-garan HAM biasa. Bukan merupakan pelanggaran HAM
berat, karena korban telah terlanggar hak-hak dasarnya.
   Kelima, berdasarkan Keppres Nomor 28 tahun 2003, NAD dinyatakan
dalam keadaan bahaya dan berada pada tingkatan darurat militer.
Oleh karenanya, di seluruh wilayah NAD meng-ingat status darurat militer
yang diterapkan sejak 19 Mei 2003, maka diberlakukan UU No. 23 Prp
tahun 1959 tentang keadaan bahaya.
   Keenam, konsekwensi dari status darurat militer, dengan sendirinya
peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam keadaan normal dikesampingkan.
Sehingga di NAD diberlakukan peraturan-peraturan dalam tingkatan darurat.
   Ketujuh, penguasa darurat militer oleh UU tersebut diberikan ke-wenangan
untuk melakukan tugas-tugas polisional. Seperti halnya melakukan
penangkapan, penahanan selama 20 hari ditambah 20 hari lagi dan dapat
diperpanjang selama 50 hari.
   Kedelapan, penguasa darurat militer dapat membatasi penyiaran baik
melalui radio maupun media lainnya. Selain itu, juga berhak melakukan
sensor-sensor surat yang dianggap penting dan membatasi jalur-jalur
pelayaran kapal-kapal asing maupun lokal. Menurut Prof.Dr. Achmad Ali,
tindakan penguasa darurat militer tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM
berat, karena semuanya sudah diatur oleh UU No. 23 Prp tahun 1959.
   Kesembilan, para prajurit yang ditugaskan di NAD, dalam kondisi NAD
berstatus darurat militer, saat mereka berhadapan dengan anggota GAM, sudah
pasti akan terjadi kontak senjata. Maka dalam keadaan demikian, prajurit
yang menembak mati anggota pemberontak GAM tidak dapat dikenakan pidana
pembunuhan (ps 338 dan 340 KUHP) atau pelanggaran HAM berat.
   Kesepuluh, Mengenai issue bahwa TNI melatih milisi di NAD, menurut
Prof.Dr.Achmad Ali itupun merupakan hal yang darurat. Mengingat, di NAD
ada sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya GAM melakukan
penculikan, pembunuhan, perampasan terhadap komunitas masyarakat sipil di
daerah itu.
Oleh karenanya, berdasarkan Konvensi Jenewa demi adanya suatu perlindungan
terhadap masyarakat sipil di daerah konflik, tidak ada salahnya masyarakat
sipil tersebut dilatih untuk melindungi diri mereka sendiri. Sehingga,
kesimpulannya, bahwa tindakan TNI tersebut bukan merupakan suatu pelanggaran
HAM berat. Berkaitan dengan issue penggalian kuburan massal yang dilakukan
oleh TNI, dijelaskan oleh Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H, bahwa sepanjang
penggalian kuburan itu didasari oleh suatu peraturan yang jelas, sebenarnya
bukanlah masalah.
"Hanya saja yang baik sebenarnya melibatkan unsur aparat penyidik, aparat
kedokteran forensik dan dibuatkan suatu berita acara yang disaksikan
beberapa unsur lain, hal tersebut dibenarkan," paparnya.
Pada kesempatan tersebut, Prof. Dr. Achmad Ali juga berbicara mengenai
proses kerja Komnas HAM. Menurutnya saat ini anggota Komnas HAM terdiri
dari 23 orang. Mereka terdiri dari unsur-unsur LSM, akademisi, birokrasi dan
purnawirawan TNI/Polri.
"Komnas HAM menganut kepemimpinan kolektif, namun demikian setiap anggota
mempunyai suatu hak kebebasan berbicara, berpendapat dimuka umum walaupun
di mass media, yang mana harus dinyatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat
pribadi. Pendapat Komnas HAM yang resmi dan dilindungi undang-undang ialah
pendapat yang sebelumnya melalui rapat pleno yang dihadiri oleh ke 23
orang," jelasnya.
Suara perorangan termasuk M. M. Billah tambah Prof. Dr.Achmad Ali, walaupun
sebagai anggota Komnas HAM, bukan merupakan suatu ketetapan akhir.
Oleh karenanya dia justru menghimbau agar issue yang selama ini menyudutkan
TNI dari salah seorang anggota Komnas HAM tidak sah dan tidak perlu
ditanggapi. Dalam forum penyuluhan tersebut, Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H
sekali lagi menggaris bawahi, bahwasannya seluruh prajurit TNI/Polri yang
sedang bertugas di NAD tidak perlu ragu dalam melaksanakan tugas mereka.
Karena secara jelas sudah dinyatakan oleh Presiden RI, bahwa NAD dalam
keadaan bahaya dan berada dalam status darurat militer.
"Jangan sampai HAM menjadi momok dalam pelaksanaan tugas, sehingga prajurit
takut, ragu-ragu atau tidak berbuat apa-apa di daerah operasi militer.
Darurat militer tidak sama dengan darurat perang. Sebab kalau darurat perang
sudah jelas musuh yang kita hadapi dari negara mana.
Sementara dalam darurat militer, para prajurit tersebut harus bisa
membedakan
antara GAM dan masyarakat sipil." Di Bagian akhir penyuluhannya, Prof.Dr.
Achmad Ali memandang wajar jika muncul suatu pelanggaran di NAD.
Karena menurutnya, hal ini bisa terjadi di mana saja.
Solusinya menurut dia, para komandan satuan harus tanggap bilamana ada
anggota satuannya yang melakukan pelanggaran dan kejahatan. Caranya dengan
mengadakan pengusutan dan pemeriksaan untuk kemudian dilimpahkan ke Mahmil
se- tempat. (HS)












More information about the Marinir mailing list