[Marinir] Pengorbanan Prajurit Di Wilayah Konflik

Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Sat Feb 7 17:46:46 CET 2004


http://www.tni.mil.id/patriot/i_dedikasi.shtm
Edisi : Oktober 2003

Sabtu, 07 Febuari 2004

DEDIKASI

PENGORBANAN PRAJURIT DI WILAYAH KONFLIK

Bagaimanapun kondisi darurat militer merupakan pilihan pahit. TNI dengan
segala kekuatannya, akan tetap mempertahankan Nanggroe Aceh Darussalam
senantiasa dalam bingkai NKRI. Sekalipun, harus mengorbankan
prajurit-prajurit terbaiknya, yang gugur di bumi Serambi Mekah. Belum lagi,
musibah cacat seumur hidup yang harus dirasakan mereka. Pengorbanan prajurit
di wilayah konflik tersebut bisa karena tempur juga non tempur. Kedua-duanya
merupakan kondisi yang harus diterima sebagai konsekuensi tugas dan tanggung
jawab prajurit dalam mengawal kedaulatan NKRI. Untuk itu, sangat wajar jika
pada edisi khusus Patriot kali ini kita mengapresiasi sosok-sosok mereka
yang dengan keberaniannya membela negara.

PRAKA MARINIR PUJI UTOMO

Jakarta, Patriot-Sosok yang layak kita soroti dedikasinya kali ini, tak lain
adalah Praka Marinir Puji Utomo. Prajurit yang turut berjuang membela
kedaulatan NKRI ini, harus merelakan kenyataan mengalami cacat di kedua
kakinya. Jika dirunut ke belakang dari perjalanan hidup dia, menjadi tentara
merupakan impiannya sejak kecil. Begitu kuatnya citra sosok prajurit dalam
dirinya, sehingga sejak menamatkan pendidikan SMA-nya, dengan tekad bulat
dia langsung mendaftarkan diri menjadi tentara. Dengan posisinya sebagai
Praka Marinir, ia mengaku merasa bangga sebagai prajurit. Pemuda tegap yang
menggemari sepak bola ini, lahir di Purwokerto, Jawa Tengah 1 Maret 1974.
Ayah seorang putra yang kini berumur 2 tahun ini, sehari-harinya bertugas
sebagai anggota Kompi E Yonif 3 Mar/Surabaya dan mendapat tanggung jawab
sebagai pe-nembak RPG. Pilihannya sejak awal memang mantap, yakni menjadi
prajurit Marinir. Dia tidak mengira, saat men-jalankan tugas di propinsi NAD
tepatnya di Desa Teuping Gajah, Kecamatan Pasihe Raja, Aceh Selatan, musibah
datang menimpa dirinya. Kedua kakinya mengalami cacat akibat ditembak oleh
pihak pemberontak GAM.

Musibah Saat Bertugas

Dalam wawancara dengan Patriot, Praka (Mar) Puji Utomo menceritakan kembali
urutan kejadian yang menimpa dirinya. "Saat itu, usai sholat subuh saya
beserta 3 rekan dari Korps Marinir dan 10 orang anggota dari kesatuan Korps
Brimob, berangkat menuju daerah Ujung Batu, karena menurut informasi
masyarakat dan intelijen di daerah itu akan dilakukan penanaman ganja dan
merupakan basis kekuatan para pemberontak GAM," kata Praka (Mar) Puji Utomo
mengawali ceritanya. Mereka sama-sama berjalan menuju ketinggian bukit serta
menyusuri hutan, lanjut Praka Puji. Di dalam perjalanannya tersebut, ia
menemukan sebuah gua yang tidak ada penghuninya. Namun terdapat tanda-tanda
bekas makanan dan alat-alat yang digunakan untuk memasak. Karena perjalanan
yang sangat jauh dan melelahkan, sementara hari men-jelang sore, akhirnya
tim keseluruhan memutuskan untuk bermalam hingga kira-kira jam 3 pagi.
"Keesokan harinya, tim melanjutkan perjalanan kembali dan akhirnya menemukan
sebidang ladang osong yang tampak baru saja digarap, Menurut saya lahan itu
akan dipersiapkan untuk penanaman ganja," terbukti dengan ditemukannya
tanaman ganja yang masih kecil di sebuah rumah kosong yang disinyalir
menjadi salah satu tempat persembunyian anggota GAM. Setelah tim dapat
menguasai lokasi tersebut, Praka (Mar) Puji Utomo bersama timnya beranjak
turun dari bukit. Dia berada pada posisi belakang dengan membawa senjata
SS1. Pada saat turun dari wilayah per-bukitan, semua anggota merasa lelah,
persediaan air minum mereka juga telah habis. Untuk itu, mereka memutuskan
untuk mencari air dan memasaknya. Dalam keadaan istirahat banyak anggota tim
yang memanfaatkannya dengan duduk-duduk santai sambil menghisap rokok.
"Namun hati saya saat itu sudah enggak enak. Makanya saya tetap waspada
sambil berdiri menghadap ke arah belakang selama kurang lebih 10 menit.
Ternyata benar, waktu itulah, saya melihat dua orang pemberontak GAM yang
akan menyerang saya. Dengan kondisi yang mendadak, akhirnya saya sempat
menembakkan senjata SS1-nya ke arah pemberontak GAM dalam jarak kontak
tembak sekitar 10 meter," paparnya. Kedua anggota pemberontak GAM tersebut
tewas, namun malang tak dapat dihindari, salah seorang anggota GAM sebelum
tewas, sempat menem-bakkan senjatanya ke arah kaki kiri dan kanan dari Praka
(Mar) Puji Utomo. "Saya masih ingat betul kejadian tersebut terjadi pada
tanggal 18 Juni 2003 pukul 10.00," katanya. Sesaat setelah kejadian, Praka
(Mar) Puji Utomo langsung dievakuasi oleh rekan-rekannya dengan menggunakan
tandu yang terbuat dari baju loreng yang telah disobek-sobek. Waktu itu luka
tembak yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah diikat dengan slayer,
sambil berjalan menuruni bukit selama dua jam menyebabkan dia hampir
kehabisan darah. "Setelah itu saya mendapatkan perawatan di RS. Tapak Tuan
Aceh Selatan, kemudian dievakuasi kembali ke RS. Putri Hijau Medan selama
dua hari. Akhirnya pada tanggal 20 Juni ia dipindahkan ke RSGS Jakarta."
paparnya. Praka (Mar) Puji Utomo sebenarnya telah cukup berpengalaman
bertugas di daerah konflik. Dia pernah bertugas di Timor-Timur, hingga
usainya jajak pen-dapat. Usai dari penugasan di Timor-Timur ia menikah. Tak
lama kemudian ia kembali mendapatkan perintah untuk bertugas ke daerah Poso.
Sebagai prajurit yang loyal serta berdedikasi tinggi, sepulang dari Poso
oleh pimpinannya ia dipercayai lagi untuk bertugas dalam rangka pengamanan
kunjungan Presiden RI di Tim-Tim. Praka (Mar) Puji Utomo tidak pernah
menyesali apa yang menimpa dirinya. Cacat yang kini dialami pada kedua
kakinya, dia sadari sebagai resiko tentara dalam melaksanakan tugas. "Kenapa
harus larut dalam kesedihan, toh yang mengalami musibah seperti ini bukan
hanya saya sendiri," ujarnya dengan tegas. Sikap ikhlas dalam melaksanakan
tugas yang diberikan oleh pimpinan dan kerelaan berkorban demi bangsa dan
negara yang ditunjukkan oleh Praka (Mar) Puji Utomo memperlihatkan sikap
dedikasi yang tinggi dari seorang prajurit TNI. Harapan Praka (Mar) Puji
Utomo tidaklah muluk-muluk. Dia hanya me-minta perhatian, khususnya dari
pim-pinan TNI. "Menurut saya, seyogyanya prajurit-prajurit yang cacat itu
mendapat perhatian dalam segala hal," tegasnya. Sebuah harapan yang tentu
saja sudah semestinya mereka dapatkan. (Wid)


 SERKA ERON RONIKO RORMATI

Jakarta, Patriot-Hampir semua cerita dari wilayah konflik, selalu menorehkan
keharuan yang dirasakan para korban. Hingga kini, tak sedikit prajurit TNI
yang mengalami musibah cacat fisik saat bertugas di medan operasi. Salah
satunya, tercatat Serka Eron Roniko Rormati yang saat ini terbaring di RSGS
Jakarta. Dia adalah prajurit kelahiran Sangihe Talaud, 33 tahun lalu.

Prajurit yang menikahi Siti Rohani, gadis asal Gombong, Jawa Tengah ini,
berasal dari kesatuan Yon Zipur 3/Dam III/Slw Bandung. Jabatan
sehari-harinya, Basi Ops (Bintara Seksi Operasi) dan bertugas di Kodim 0102
Pidie, Kotis Yon Zipur 3. Dia kini telah dikaruniai dua orang putra. Anak
pertamanya, berusia 3,5 tahun, sedangkan yang kedua kini berusia 20 bulan.
Dia harus merelakan kaki sebelah kanannya cedera akibat kecelakaan di daerah
Muara Tiga, Pidie Aceh. Saat itu, Serka Eron mendapat perintah tugas untuk
melaksanakan patroli pengamanan serta pengecekan jembatan di daerah Muara
Tiga, Pidie. Sebelum melaksanakan tugas tersebut, Serka Eron yang saat itu
bertugas sebagai Basi Ops mendapatkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak 4
orang. "Setelah saya mendapat penambahan pasukan tersebut, saya berangkat
menuju daerah Muara Tiga dengan jarak kurang lebih 7 km, saat itu terjadilah
musibah kecelakaan," paparnya. Menurutnya, di daerah tersebut sering terjadi
penghadangan oleh pemberontak GAM. Untuk menghindari penghadangan rombongan
berusaha dengan cara lain, meskipun melalui jalan yang kondisinya banyak
rintangan. Belum lagi faktor cuaca yang seringkali berkabut menyebabkan daya
pandang yang terbatas. Serka Eron dan tim memang sudah berusaha maksimal
mengendalikan lajunya kendaraan. Namun, nasib kurang menguntungkan harus
diterimanya. Mobil yang dia tumpangi masuk jurang. Malang tak dapat ditolak,
meskipun sudah sangat berhati-hati, korbanpun akhirnya jatuh jua. Prajurit
yang tewas di tempat kejadian antara lain, Lettu Imam, Letda Kes Sugeng yang
berada dalam mobil. Sementara para prajurit lainnya sempat melompat keluar.
"Saya melompat keluar menuju arah kanan mobil, sehingga saya terpental
sampai jarak 30 m dari arah mobil," kenangnya. Setelah kejadian tersebut,
dia langsung dievakuasi ke RS. Sigli. Sebagai akibat luka yang serius, ia
selanjutnya dikirim untuk mendapatkan perawatan yang intensif di RSGS
Jakarta. Kecelakaan tersebut baginya merupakan bagian dari konsekuensi tugas
di daerah operasi. Dan ia sadar bahwa kecelakaan tidak selamanya akibat
kontak senjata dengan pihak musuh. Saat ini, Serka Eron yang setiap hari
didampingi oleh anak dan istrinya nampak tegar menjalani perawatan. Meskipun
kondisi kedua lutut kakinya yang cacat parah. "Saya masih bersyukur atas apa
yang menimpa pada saya. Karena waktu itu saya masih diberi keselamatan
sehingga bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Meskipun saat ini untuk
jalan saja saya harus memakai alat bantu," paparnya mengakhiri perbincangan.
(Wid)



SERDA SUPRIADI

Jakarta, Patriot-Salah seorang prajurit TNI yang ditimpa musibah saat
bertugas di Aceh yakni Serda Supriadi. Dia kini masih tergolek dalam
perawatan medis di RSGS Jakarta. Sekelumit riwayat hidupnya dia ceritakan
kepada Reporter Patriot. Serda Supriadi menjadi anggota TNI sejak tahun 1993
dan sudah 10 tahun ini bertugas di propinsi NAD. Dia merintis karirnya dari
bawah, mulai Tamtama hingga Bintara dan sudah bertugas di beberapa daerah
Provinsi NAD di antaranya Aceh Timur, Aceh Tengah, Pidie, Aceh Utara.
Prajurit berambut ikal yang lahir di Medan 11 Desember 1971 ini, memulai
karirnya pada Kesatuan Yonif 113/Jaya Sakti. Selama bertugas, ia menuturkan
bahwa pengalaman paling mengesankan adalah saat berhasil mendapatkan banyak
senjata milik GAM. "Kesatuan saya sempat mendapatkan 37 pucuk senjata yang
ditanam oleh pemberontak GAM,", jelasnya dengan bangga. Pada waktu itu,
Serda Supriadi bertugas di BKO Intel Kodim Aceh Timur dan berhasil menangkap
 salah seorang pemberontak GAM yang pernah berlatih di Libya bernama Abdul
Ma'ruf. Kemudian setelah diadakan pemeriksaan secara teliti maka
terungkaplah tempat penyimpanan senjata tersebut. Atas prestasinya
mendapatkan 37 pucuk senjata, ia mendapatkan penghargaan dari pimpinannya
sehingga mendapat kesempatan untuk mengikuti Secaba tanpa melalui test. Kini
ayah seorang putra berusia 1 tahun ini, harus merelakan anggota tubuhnya
pada bagian paha kanan dan tangannya untuk dirawat intensif di RSGS Jakarta.
Tak terasa, Serda Supriadi kini sudah menjalani perawatan kurang lebih 2,5
tahun, sejak ia mendapatkan musibah pada 3 November 2000. Musibah itu
terjadi akibat tembakan oleh pemberontak GAM sehingga melukai paha dan
tangannya yang cukup parah. Prajurit yang pernah mengikuti anggota Ton
Tangkas tingkat Kodam dan pernah meraih juara umum ini terlihat tegar dalam
menghadapi kehidupan. "Saya ikhlas menerima musibah ini, karena ini
merupakan resiko sebagai prajurit di medan operasi," ungkapnya.

Dihadang GAM

Kronologi musibah yang terjadi pada Supriadi, bermula saat dia bersama
rekan-rekannya yang terdiri atas 3 kelompok, mendapat perintah dari
pimpinannya untuk mengambil logistik dan uang lauk pauk (ULP) dari Korem.
Setiap kelompok, jumlahnya 8 orang personel dengan masing-masing kelompok
dilengkapi mobil Kijang. "Ketika pulang, setelah kami mengambil ULP,
tiba-tiba di tempat pada posisi ketinggian tepatnya di Desa Pulau Rungkum,
Lhok Seumawe, Aceh Utara, dihadang oleh kurang lebih 50 orang pemberontak
GAM," tuturnya. Ia menambahkan, akibat hadangan tersebut membuat rombongan
terdesak, sehingga tidak bisa melakukan tembakan balasan secara maksimal.
Setelah bertahan beberapa saat, akhirnya kelompok pemberontak GAM melarikan
diri. "Saat itu timbul korban yang gugur yaitu Kopral Muzakudin dan Prada
Hendrik, sedangkan saya terkena tembakan sehingga melukai paha kanan dan
tangan saya," kisahnya dengan bersemangat. Karena lukanya cukup parah saat
itu juga, dia dievakuasi ke RS Putri Hijau, Medan dan sempat dirawat selama
7 bulan. Berhubung lukanya tak kunjung sembuh dan kesehatannya terus
menurun, maka akhirnya ia dibawa ke RSGS Jakarta untuk perawatan yang lebih
intensif lagi. Saat ini kondisinya memang masih memprihatinkan, karena luka
tembak yang mengakibatkan kakinya semakin mengecil dan membusuk, bahkan
jari-jari kaki kanannya putus serta syarafnya tak lagi berfungsi. "Bagi saya
ini adalah sudah suratan dan sebagai resiko tugas seorang prajurit. Tapi
saya tetap bangga, karena tugas untuk Nusa dan Bangsa". tegasnya. Mengakhiri
percakapan de-ngan Patriot, ia berharap agar Pimpinan TNI memberi perhatian
yang cukup bagi prajurit yang mengalami musibah dalam penugasan operasi.
(Ksm)






More information about the Marinir mailing list