[Marinir] [SP] Mengapa Panglima TNI Mundur?

YapHongGie ouwehoer at centrin.net.id
Mon Oct 11 17:38:07 CEST 2004


SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 11/10/04

Mengapa Panglima TNI Mundur?
Oleh Tjipta Lesmana

NDANG-UNDANG Dasar 1945 menyatakan, presiden adalah Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata. Itu berarti kekuasaan tertinggi (Supreme Commander) di
jajaran ABRI (TNI) berada di tangan presiden selaku kepala negara, sedang
panglima TNI adalah pelaksana dari kekuasaan tertinggi tersebut.
Panglima melaksanakan kebijakan atau perintah presiden, oleh karena
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Endriartono Sutarto adalah
"jenderal otak", maksudnya dia tidak mau melaksanakan setiap perintah
atasannya secara buta dengan motto "right or wrong is my commander".

Sekiranya perintah atau kebijakan itu dinilai bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, dia berani menolak menjalankan perintah tersebut dengan
segala risikonya.
Maka, ketika wacana Dekrit untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat RI
mencuat pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, TNI-AD di bawah pimpinan
Jenderal Sutarto selaku Kasad menyatakan penolakannya. Sebab Pak Tarto tahu
bahwa kebijakan presiden seperti itu bertentangan dengan konstitusi.
UUD 1945 dengan jelas menyatakan presiden tidak bisa membubarkan parlemen,
sebaliknya parlemen tidak dapat menjatuhkan pemerintah. Bahwa Presiden
Soekarno pada 1 Juli 1959 dapat mengeluarkan Dekrit dan mendapat dukungan
penuh dari Angkatan Bersenjata, konteksnya sangat berbeda.
Atas penolakannya itu, Sutarto hendak disingkirkan. Namun, tidak berhasil
karena sebagian besar perwira tinggi TNI-AD mendukung kebijakan Kasad. Upaya
memberhentikan Panglima TNI, Laksamana Widodo AS pun gagal, karena tidak ada
jenderal yang punya "nyali" untuk menggantikan Widodo.

Sejarah kemudian mencatat bahwa Gus Dur pada saat-saat kritis tetap
mengeluarkan "senjata ampuhnya" untuk memenangkan pertarungannya melawan
DPR-RI. Senjata yang dimaksud adalah "Maklumat", bukan "Dekrit". Namun,
"Maklumat" tadi betul-betul menjadi senjata makan tuan. Kita tidak bisa
bayangkan apa yang terjadi dalam ketatanegaraan kita andaikata ketika itu
tidak ada seorang Endriartono Sutarto.

Presiden Megawati kemudian mengangkat Sutarto sebagai Panglima TNI
menggantikan Widodo AS. Tapi, antara kedua tokoh ini rupanya tidak ada
kecocokan "chemistry". Banyak orang tidak tahu bahwa belum sampai dua tahun
menjabat, Sutarto sebenarnya sudah menyatakan niatnya untuk mengundurkan
diri dari jabatannya. Tapi, oleh para pembantu terdekatnya, langkah itu
dicegah karena sebagian besar perwira tinggi di Cilangkap menilai Sutarto
sebagai pemimpin TNI profesional yang mampu membawa TNI ke reformasi
internal yang menjadi harapan masyarakat.

Mundur
Salah satu kebijakan pemerintah yang membuat Sutarto ingin mundur ketika itu
adalah pelaksanaan darurat militer di Aceh awal tahun lalu. Cilangkap
dikabarkan menentang darurat militer karena berbagai pertimbangan taktis.
Yang diusulkan adalah darurat sipil.
Baru setelah darurat sipil tidak efektif, statusnya ditingkatkan menjadi
darurat militer. Tapi, para pejabat sekitar Kantor Menko Polkam -
berdasarkan masukan dari instansi lain - mengusulkan agar presiden langsung
memberlakukan darurat militer. Dan presiden setuju.
Soal amendemen UUD 1945 juga membawa kekecewaan sendiri, bukan saja bagi
panglima TNI, tetapi juga para perwira tinggi TNI. Ketika itu TNI
mengingatkan segenap komponen bangsa agar waspada terhadap ekses-ekses yang
dapat terjadi yang dapat membahayakan keutuhan NKRI andaikata kita sembrono
mengubah konstitusi.

Pemerintah Megawati pun semula sebenarnya menentang amendemen UUD 1945 yang
"kebablasan". Namun, pada akhirnya Megawati tidak berdaya menghadapi
tekanan-tekanan kuat dari lawan-lawan politiknya.
Kasus pembelian pesawat tempur Shukoi dan konflik antara Mabes TNI dengan
Departemen Pertahanan soal pembelian peralatan militer, tampaknya, juga
membuat Pak Tarto tidak senang.
"Jenderal otak" ini terus berkiprah melaksanakan tugasnya dengan daya kritis
tinggi. Dalam pemilihan umum yang baru lalu, ia konsisten menjaga netralitas
TNI. Ia menindak tegas setiap aparatnya yang terbukti memberikan dukungan
pada partai atau calon presiden tertentu.
Ia menolak "pinangan" Amien Rais, Ketua Umum Partai Amanat Nasional untuk
menjadi calon wakil presidennya. Bahkan kabar santer beredar bahwa Megawati
juga diam-diam meminta kesediaan Pak Tarto untuk menjadi cawapresnya. Tapi,
lagi-lagi Pak Tarto menolak. Ia sadar jika ia switch on begitu cepat - dari
panggung komando militer ke politik - netralitas TNI akan berantakan.
Tapi, Sutarto tampaknya sangat lelah, bukan dalam arti fisik, melainkan
psikis. Dari berbagai pihak TNI selalu disudutkan. Dalam pemilu misalnya,
masih saja banyak pihak yang menuding TNI berpihak pada partai atau capres
tertentu. Konfliknya dengan Hendropriyono, Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN) - khususnya dalam soal terorisme - juga melelahkan jiwanya.
Maklum, Sutarto adalah mantan bawahan Hendropriyono. Ketika Hendro menjabat
Pangdam Jaya, Sutarto adalah Asisten Sosial-Politik-nya. Tapi, jati dirinya
sebagai "Jenderal otak" membuatnya berani bicara berbeda dengan siapa pun;
jangankan dengan bekas atasannya.
Dengan presiden pun dia berani "melawan"! Bukan rahasia lagi, Panglima,
bersama Menteri Kehakiman dan HAM serta Kapolri, sejak awal menentang usulan
pemberian kewenangan yang lebih luas kepada BIN dalam menangani masalah
terorisme. Tapi, Kepala BIN kesal, bahkan seolah tidak sabar melihat kinerja
Polri yang mereka nilai lamban sehingga kita kebobolan terus mendapat
serangan bom di mana-mana.
Dua jenderal ini, Sutarto dan Hendro, menurut hemat saya, sama-sama hebat,
dan sama-sama nasionalis sejati. Selaku Kepala BIN, Hendro merasa ikut
bertanggung jawab atas serangkaian serangan bom teroris. Tapi, dia menjerit
karena kedua kaki dan tangannya seperti diikat, sehingga ia dan segenap
aparannya tidak bisa bergerak efektif.

Di sisi lain, Sutarto memegang teguh peraturan perundangan-undangan. UU
memerintahkan bahwa TNI -- dalam era reformasi ini - hanya bergerak jika
diminta bantuannya oleh Polri. Sutarto tidak menghendaki ekses-ekses negatif
perilaku aparat keamanan, temasuk intelijen, di masa lalu terulang kembali.
Sayang, Presiden Megawati tidak mampu mencarikan win-win solution dalam
konflik yang terjadi antara kedua pejabat militer ini.

Pemberian pangkat kehormatan kepada Hendropriyono dan Hari Sabarno - dari
Letjen menjadi Jenderal penuh - seolah puncak dari kekecewaan dan
kejengkelan Sutarto. Tapi, Sutarto lupa bahwa pemberian pangkat kehormatan
itu memang hak prerogatif presiden selaku kepala negara.
Dari Presiden Soeharto sampai Presiden Gus Dur pernah menganugerahkan
"bintang tambahan" kepada mereka yang sudah pensiun. Sebut saja misalnya
Moerdiono, Susilo Soedarman, Surjadi Soedirdja, Susilo Bambang Yudhoyono,
Agum Gumelar dan Luhut Panjaitan. Kenapa para panglima TNI ketika itu, juga
para pengamat militer, tidak meributkannya? Kenapa baru sekarang diributkan?

Tapi, bagi seorang Jenderal Sutarto, karena otaknya yang terus berputar,
kebijakan presiden yang satu ini tidak bisa ditolerir. Mundur dari jabatan
adalah manifestasi dari sikap intoleransi itu!

Penulis adalah pengamat politik, Pengajar FISIP Universitas Pelita Harapan




More information about the Marinir mailing list