[Marinir] Fw: Pemulung naik krl untuk mengubur anaknya

Yap Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Fri Jun 10 08:00:31 CEST 2005


----- Original Message ----- 
From: "Ulil Abshar-Abdalla"
To: "August Parengkuan" ; "Sigar, Ira" ; "Rikard Bagun" ; "Anny Bernardus" ;
"bhumiksara" ; "Daniel Dhakidae" ; "Djohan Effendi" ; "Cyrillus Harinowo" ;
"lula kamal" ; "josi katoppo" ; "Muhaimin" ; "Nadia Nadia" ; "Marty
Natalegawa" ; "Mochtar Pabottinggi" ; "Rachmat Pambudy" ; "Mari Pangestu" ;
"Gadis Parengkuan" ; "Michael Utama" ; "Yenny Zanuba Wahid" ; "Christianto
Wibisono" ; "Frans Winata @Partners" ; "YapHongGie"
Sent: Thursday, June 09, 2005 11:19 PM
Subject: Re: Pemulung naik krl untuk mengubur anaknya

 Salam,
 Kisah tentang Sang Pemulung itu benar-benar merupakan tragedi. Ada kecamuk
 perasaan yang susah diungkapkan setelah membaca kisah itu: sebab terlalu
dan
 terlalu tragis.

 Ingatan masyarakat Indonesia sangat pendek. Karena itu, peristisa itu
 haruslah "diabadikan", supaya kita tak lupa. Saya tak tahu, bagaimana
 mengabadikannya. Terlalu banyak tragedi yang berlalu begitu saja di negeri
 ini: dilupakan, diabaikan, dan kemudian terulang kembali di lain hari.

 Rasanya tak terlalu jauh jika kita menyebut Indonesia sebagai "a country of
 repetitive tragedy".

 Ulil



----- Original Message ----- 
From: "August Parengkuan"
To: "Sigar, Ira" ; "Rikard Bagun" ; "Anny Bernardus" ; "bhumiksara" ;
"Daniel Dhakidae" ; "Djohan Effendi" ; "Cyrillus Harinowo" ; "lula kamal" ;
"josi katoppo" ; "Muhaimin" ; "Nadia Nadia" ; "Marty Natalegawa" ; "Mochtar
Pabottinggi" ; "Rachmat Pambudy" ; "Mari Pangestu" ; "Gadis Parengkuan" ;
"Ulil" ; "Michael Utama" ; "Yenny Zanuba Wahid" ; "Christianto Wibisono" ;
"Frans Winata @Partners" ; "YapHongGie"
Sent: Thursday, June 09, 2005 11:00 PM
Subject: FW: Pemulung naik krl untuk mengubur anaknya


 Salemba, Warta Kota

 PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong
 mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

 Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger
 Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono
(38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono
 akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan
 jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta,
 lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban
 kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas
 karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa
 Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

 Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari
 terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke
 Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke
 puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas,
 meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol
 plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2
 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.
 Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama
 sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski
 Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski
 hanya terbaring digerobak ayahnya.

 Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa
 menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
 Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam
 gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada
 siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski
 termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain
 kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus
 menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono
 mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari
 Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya
 di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan
 bantuan dari sesama pemulung.

 Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
 Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus
 jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka,
 biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan
 menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong
 Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba
 seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu
 dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa
 ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono
 langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet.
 Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang
 ambulans hitam.

 Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
 Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat
 permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang
 terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti
 kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali
 memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan
 surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa
 ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa
 dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga
 yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.
 Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal
 Supriono dan Muriski di perjalanan.

 Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku
 benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena
 masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli
 terhadap sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya
 kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang
 keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal
 dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia", ujarnya.

 Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa
 itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan
 kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini,
 pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata
 Wardah.





More information about the Marinir mailing list