[Marinir] Berjuang dengan Anggaran Minim
Yap Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Fri Feb 22 17:04:56 CET 2008
http://kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.22.02235367&channel=2&mn=12&idx=12
Senjata Tua (2)
Berjuang dengan Anggaran Minim
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:23 WIB
Oleh Wisnu Dewabrata
Di sebuah sudut bagian dalam hanggar Skuadron Udara 31 Pangkalan Udara TNI
Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (14/2) siang, sejumlah
personel TNI dan teknisi pesawat sibuk mempersiapkan dan mengecek sesuatu di
bagian belakang salah satu pesawat Hercules C-130, yang separuh badannya
terparkir di bagian dalam hanggar.
Sementara di seberang hanggar tampak dua pesawat sejenis, tapi tak
berbaling-baling. Menurut Kepala Dinas Pemeliharaan Skuadron Udara 31 Mayor
(Tek) Agus Subijanto, kedua pesawat Hercules itu tengah menjalani pengecekan
dan perawatan rutin tingkat berat, yang biasanya ditangani sejumlah depo
pemeliharaan.
Saat ini TNI AU memiliki dua depo pemeliharaan tingkat berat, Depo
Pemeliharaan 10 Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, atau di Depo
Pemeliharaan 30 Lanud Abdulrahman Saleh, Malang, Jawa Timur.
Kedua depo itu selain melakukan perawatan rutin enam tahunan atau per 3.600
jam terbang, juga menangani perbaikan kerusakan kerangka pesawat (airframe)
dan mesin. Ini dipaparkan Agus kepada Kompas di Skuadron Udara 31 akhir
pekan lalu. "Asal rutin dirawat sesuai ketentuan, kelaikan terbang dan
operasional pesawat bisa terjamin. Kedua jenis kelaikan pesawat seperti itu
tidak semata-mata ditentukan tahun produksi atau usia pesawat. Tingkat
kesiapan kami di sini terbilang baik, mencapai enam pesawat per hari,"
ujarnya.
Agus saat itu ditanya soal rencana pemerintah melarang penggunaan
senjata-senjata tua milik TNI menyusul sejumlah kecelakaan yang terjadi
belakangan ini, yang merenggut jiwa sejumlah personel TNI.
"Kami punya program kerja pemeliharaan tahunan yang ketat dan rinci.
Perawatan rutin dilakukan di Skuadron Udara 31 maupun di Skuadron Teknik 021
di lanud ini, meliputi pengecekan harian (daily inspection), pengecekan
progresif (progressive inspection) tiap 50 jam terbang, atau pengecekan per
tiga tahun (three years inspection)," ujarnya.
Semua jenis perawatan dan perbaikan yang diberikan pada seluruh pesawat
milik TNI AU, lanjutnya, akan dicatat dalam buku Petunjuk Teknik Udara Nomor
132. Dengan begitu, dipastikan seluruh pesawat yang ada terjamin dan terdata
kondisi kelaikannya.
Saat ini seluruh pesawat Hercules C-130 yang ada di Skuadron Udara 31 adalah
pesawat buatan tahun 1970-an, yang rata- rata mulai digunakan tahun 1980-an.
Beberapa tipe pesawat itu seperti C-130 H, C-130 HS, dan L100-30. Pesawat
tipe yang disebut terakhir didapat dari hibah dua maskapai penerbangan sipil
dalam negeri tahun 1995.
Kondisi serba terbatas
Agus mengakui, keterbatasan anggaran yang diberikan pemerintah menyulitkan
para prajurit di tingkat pelaksana lapangan. Hal itu terutama terkait dengan
keterbatasan suku cadang pesawat yang diperlukan.
"Sekarang bisa dibilang yang bisa dilakukan sebatas menjaga kesiapan pesawat
semaksimal mungkin. Tentunya disesuaikan dengan alokasi anggarannya. Kalau
diminta kesiapan enam (pesawat) sehari tapi mampunya cuma lima (pesawat),
ya, mau bagaimana lagi? Kan juga tidak bisa dipaksakan," ujar Agus.
Walau mengaku tetap akan berpegangan dan mengutamakan faktor keselamatan
(safety), Agus membenarkan, akibat kondisi yang serba terbatas itu pihaknya
terpaksa mengambil langkah alternatif, misalnya praktik "kanibal", meminjam
suku cadang dari pesawat lain.
Langkah meng-"kanibal" mesin pesawat dilakukan hanya dalam kondisi mendesak
lewat prosedur yang ketat dan dengan lebih dulu berkoordinasi ke Dinas
Aeronautika Mabes TNI AU.
"Akan tetapi, biarpun serba terbatas seperti ini, banyak AU negara lain
salut lho kepada kita. Salah satunya soal pesawat, kok masih bisa kita
operasikan walau suku cadang dan dana terbatas. Mereka juga salut, mekanik
TNI AU punya keahlian ganda, juga sebagai juru mesin udara," ujar Agus.
Seusai mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR menyusul rencana
pemerintah memotong 15 persen alokasi anggaran belanja pertahanan, Kepala
Staf TNI AU Marsekal Madya Subandrio meminta Departemen Keuangan tidak
memotong alokasi anggaran yang diperuntukkan membiayai pemeliharaan kesiapan
sistem persenjataan, seperti pesawat angkut maupun tempur, milik TNI AU.
Kalau dipaksakan memotong dana alokasi pemeliharaan, katanya, dikhawatirkan
berdampak semakin menjatuhkan tingkat kesiapan senjata yang ada.
"Kalau terkait anggaran pemeliharaan pesawat, ya, jangan dipotonglah. Saya
akan mendukung program pemerintah, tapi ya jangan sampai anggaran itu yang
dipotong," ujar Subandrio.
Dari data yang berhasil dihimpun Kompas, seperti tercantum dalam Postur
Kekuatan Pertahanan Negara tahun 2007, diketahui rata-rata tingkat kesiapan
persenjataan TNI, seperti sering kali pula diakui otoritas terkait seperti
Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI, masih berada di bawah 60 persen.
Secara rinci bahkan diketahui hanya sekitar 40 persen dari total tujuh
skuadron tempur TNI AU yang berada dalam kondisi siap. Selain itu, dari lima
skuadron angkut yang ada, tingkat kesiapannya hanya 60-an persen.
Kondisi lebih kurang serupa juga dialami matra angkatan lain, seperti TNI
Angkatan Laut. Dari total kapal perang KRI yang dimiliki, tingkat
kesiapannya hanya 65 persen, sementara untuk pesawat udara, kondisi
kesiapannya sekitar 52 persen.
Lebih lanjut dalam data yang tercantum pada draf Postur Pertahanan Negara
Dephan versi November 2007, diketahui terdapat berbagai jenis persenjataan
dari ketiga matra angkatan yang berada dalam kondisi kritis per tahun 2007
akibat usia tua.
Senjata-senjata itu seperti peluru kendali jenis Rapier dan RBS (pertahanan
udara), panser dan tank, serta meriam milik TNI Angkatan Darat, sedikitnya
separuh dari total kapal perang KRI dan seluruh kapal KAL berbagai jenis
milik TNI AL usianya sudah lebih dari 25 tahun.
Tidak bikin gentar
Saat ditemui di tempat yang sama, Komandan Flight Operasi A Skuadron Udara
31, yang juga pilot pesawat Hercules, Mayor (Pnb) Adrian Damanik mengaku
tidak terlalu khawatir kondisi serba terbatas tersebut bakal berdampak buruk
pada kesiapan skuadronnya.
Seperti saat TNI AU dilibatkan dalam berbagai operasi tanggap darurat
pascabencana alam yang terjadi di sejumlah kawasan Indonesia beberapa tahun
belakangan ini.
"Pascabencana tsunami di Aceh, misalnya, baik pilot, kru, maupun pesawat
seakan tidak pernah istirahat. Frekuensi penerbangannya sangat tinggi.
Ibaratnya, pesawat ini baru pulang malam, besok pagi-pagi sekali sudah
disiapkan lagi untuk berangkat lagi," ujar Adrian.
Kondisi persenjataan TNI, terutama skuadron udara milik TNI AU, saat ini
memang terbilang memprihatinkan, terlebih akibat minimnya alokasi anggaran
dari pemerintah, yang berdampak pada rendahnya tingkat kesiapan
pesawat-pesawat yang ada.
Ketika Indonesia baru saja merdeka, skuadron tempur milik AURI (sekarang TNI
AU) adalah yang terkuat, setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Skuadron udara
RI pada masa itu dilengkapi ratusan pesawat tempur dan angkut berbagai
jenis. Bahkan, AURI memiliki sejumlah pesawat pengebom B-25 Mitchell (bukan
B-52 seperti dalam tulisan sebelumnya). Itu kenangan saja.
More information about the Marinir
mailing list