[Nasional-e] Ramadhan, Momentum Penyembuhan "Syndrome of Decay"

Ambon nasional-e@polarhome.com
Tue Dec 3 10:24:04 2002


Kompas
Selasa, 03 Desember 2002

 Ramadhan, Momentum Penyembuhan "Syndrome of Decay"
Oleh Masdar Hilmy

BULAN Ramadhan, bagi umat Islam, merupakan bulan istimewa, yang di dalamnya
Tuhan "memanjakan" mereka dengan serangkaian ibadah yang tak ternilai
harganya, baik secara vertikal maupun horizontal. Ibadah puasa di siang
hari, dan shalat tarawih serta tadarus Al Quran di malam hari, yang
dipungkasi zakat dan Idul Fitri, menjanjikan bagi setiap yang melaksanakan
bukan saja pahala yang berlipat-lipat, tetapi juga derajat takwa. Oleh sebab
itu, tidak berlebihan jika umat Islam selalu merindukan datangnya bulan suci
ini di masa-masa mendatang.

Terlepas dari gegap gempita dan suka citanya umat Islam menyambut bulan suci
ini, pertanyaan yang layak dimunculkan adalah: sejauh mana umat Islam
merefleksikan bulan Ramadhan sebagai momentum pentransformasian dan
pentransendensian nilai-nilai Ilahiah bagi kehidupan kemanusiaan? Pertanyaan
ini mendesak dijawab mengingat umat Islam umumnya sering terjebak pada
dimensi ornamental-sentimental yang bersifat individualistik dan asosial,
sehingga serangkaian ibadah yang dilakukan sepanjang bulan ini tidak
berdampak apa-apa bagi peningkatan kualitas kemanusiaan.

Kenyataan ini terlihat dari cara umat Islam mempersepsikan seluruh elemen
ibadah di bulan Ramadhan yang melulu "demi Tuhan" atau "hanya dipersembahkan
untuk Tuhan". Artinya, umat Islam terlena dalam asyik-masyuk keintiman
vertikal antara dirinya dengan Tuhan, abai terhadap keintiman antarsesama
manusia.

Padahal, setiap jengkal ibadah dan ritual dalam Islam tidak melulu vertikal,
seperti demi "menyenangkan" Tuhan, mendapat pahala dan menghindari siksa,
atau sekadar menggugurkan kewajiban. Lebih dari itu, setiap ibadah
mengandaikan kebermaknaan horizontal (horizontal meaningfulness) yang
diharapkan mampu mengubah segala bentuk kejahatan dan keburukan, menjadi
kebaikan dan kemaslahatan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk seluruh
umat manusia.

"Syndrome of decay"

Pentingnya mentransformasi dan mentransendensi nilai-nilai Ilahiah Ramadhan
dalam konteks kehidupan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari realitas
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama, yang makin
menunjukkan gejala pembusukan di sana-sini, atau dalam istilah Erich Fromm
(The Heart of Man, 1964:23) disebut syndrome of decay. Sindrom pembusukan
ini seperti kanker ganas.

Sayang, patos sosial yang "super"-berbahaya ini dibiarkan begitu saja tanpa
upaya serius untuk segera menghentikannya. Bukannya tak ada "obat" sama
sekali, tetapi mungkin bangsa kita terlalu malas (reluctant) untuk
memanfaatkan khazanah spiritualitas-keagamaan yang sebenarnya amat melimpah
(abundant). Sebagai bangsa yang ditakdirkan memiliki "keunggulan komparatif"
dari sisi ini, bangsa kita justru terkesan nggege mongso mencari terapi
fisik dari "orang lain" (bantuan internasional) yang belum tentu lebih
manjur ketimbang yang sudah dimiliki.

Dari sekian sindrom pembusukan itu, yang bisa disebutkan sekurangnya ada
dua. Pertama, secara moral-spiritual. Dari aspek ini, kita menyaksikan
betapa bangsa ini-baik di tingkat elite politik maupun grassroots-merupakan
bangsa yang amat rapuh tingkat ketahanan mental-spiritualnya. Perilaku
amoral, asusila, bermuka tebal (tidak tahu malu) atau bermuka ganda
(munafik) dan semacamnya telanjur dianggap sebagai hal biasa. Konyolnya,
perilaku semacam ini dianggap sebagai bagian cultural heritage bangsa kita
yang perlu dilestarikan. Amat menyedihkan!

Fenomena semacam ini sungguh merupakan pereduksian nilai-nilai agama dan
spiritual hingga derajat paling rendah. Perilaku korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang dipertontonkan secara telanjang (blatantly) oleh sebagian
masyarakat kita mengindikasikan adanya proses pembanalan doktrin agama
sebatas sebagai ornamen-ornamen arfisial tanpa makna.

Kedua, secara kemanusiaan. Lengkaplah sindrom pembusukan bangsa ini ketika
warga masyarakat yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah, toleran,
rukun, dan suka menolong itu tiba-tiba menjadi bangsa yang beringas, ganas,
barbarian, dan suka bertikai. Hanya dipicu oleh masalah sepele, semisal
perbedaan keyakinan dan ideologi, bangsa ini begitu mudah tersulut untuk
saling merusak, menghancurkan, bahkan dengan bangganya mengalirkan darah
manusia yang tak berdosa.

Manusia Indonesia telah sampai pada titik kulminasi sebagai bangsa yang
membenci kehidupan dan mencintai kematian, saat mereka gemar "menghancurkan
demi kehancuran itu sendiri" (to destroy for the sake of destruction).

"Syndrome of growth"

Saat bangsa ini terjangkiti sindrom pembusukan, tidak ada alternatif lain
kecuali menyembuhkannya melalui kebalikan dari itu semua, yakni "sindrom
pertumbuhan" (syndrome of growth). Fromm mendefinisikan syndrome of growth
sebagai cinta kehidupan (vis-a-vis cinta kematian), cinta antarsesama
(vis-a-vis narsisisme), dan kemerdekaan (vis-a-vis symbiotic-incestuous
fixation).

Di sinilah seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadhan memiliki
signifikansinya dalam menumbuhkan sindrom pertumbuhan itu. Ada keberpihakan
yang sangat kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam
ibadah puasa beserta seluruh rangkaian ibadah lainnya. Hal yang demikian
hanya terjadi dengan satu syarat: umat Islam mampu menguak dimensi terdalam
yang tersembunyi (the hidden innermost dimension) di balik seluruh rangkaian
ibadah tadi, untuk kemudian mentransendensikan ke dalam perilaku nyata.

Dalam perspektif psikologi, upaya pentransendensian nilai-nilai yang
tersembunyi itu akan meningkatkan tingkat kecerdasan spiritual (SQ) dan
kecerdasan emosional (EI). Secara spiritual, ibadah tersebut akan semakin
mendekatkan derajat keintiman hamba-Tuhan (vertikal). Jalinan keintiman
hamba-Tuhan ini diukur dari kecintaan dan ketaatan tanpa batas
(unconditional love and observance) dari hamba kepada Tuhannya.

Sementara itu, secara emosional, ibadah tersebut akan menumbuhkan tingkat
sensibilitas, simpati, dan empati sosial di satu sisi, dan menumbuhkan
kecintaan terhadap kehidupan (antarsesama tanpa dibatasi sekat-sekat
primordialisme parokial), di sisi lain. Pada akhirnya, kecerdasan emosional
ini akan mengondisikan munculnya ketahanan mental-spiritual yang kukuh
terhadap gempurangempuran krisis yang mendera bangsa ini. Cobaan hidup
seberat apa pun, jika ketahanan mental-spiritual telah tertanam kuat,
niscaya akan disikapi dengan sabar atau tawakal. Mereka tidak mudah
terprovokasi melakukan hal-hal yang tidak dianjurkan oleh agama.

Satu simpul: "taqwa"

Jika dijustifikasi dalam bahasa agama, maka elaborasi panjang syndrome of
growth itu sejatinya tersimpul dalam satu kata kunci: "takwa" (seperti
tersurat dalam QS 2: 183). Pertanyaannya, apa makna "takwa" yang sebenarnya?

Takwa sering dipahami secara peyoratif sebagai "takut" kepada Tuhan. Fazlur
Rahman (1980-29) coba meluruskan makna hakiki takwa sebagai "hadirnya
kapasitas melindungi diri dari konsekuensi perbuatan jahat atau berbahaya"
(QS 52: 27; 40: 9; 40: 45; 76: 11). Dalam tingkatan tertinggi, takwa
menggambarkan seluruh kepribadian manusia yang terpadu, sejenis "stabilitas
karakter" yang terbentuk setelah seluruh elemen positif mengkristal dalam
jiwa seseorang.

Sebagai wujud kepribadian terpadu, takwa memiliki dua implikasi: duniawi dan
ukhrawi, vertikal dan horizontal. Dengan demikian, seseorang bisa dikatakan
telah bertakwa saat di tengah kekhusyukan ibadahnya kepada Tuhan, dia mampu
menjaga atau mengendalikan diri dari segala bentuk perbuatan "dosa sosial",
seperti korupsi, kerusakan, kekerasan, kejahatan, dan sejenisnya. Justru
perbuatan-perbuatan semacam inilah yang hanya akan mengerdilkan tingkat
ketaatan dirinya kepada Tuhan.

Penyandaran derajat takwa kepada nilai-nilai kemanusiaan, menurut A Yusuf
Ali, seperti dikutip Cak Nur (1995: 44) terindikasi melalui poin-poin
berikut: (1) keimanan harus sejati dan murni; (2) pemancaran iman ke luar
dalam bentuk tindakan kemanusiaan kepada sesama; (3) menjadi warga
masyarakat yang baik, yang mendukung sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan;
dan (4) jiwa pribadi harus teguh dalam setiap keadaan. Semuanya itu saling
berkait satu sama lain.

Alhasil, hanya melalui takwalah tingkat kesempurnaan beragama seseorang akan
dicapai. Dan melalui takwa pula, munculnya gejala syndrome of decay yang
melanda bangsa ini akan tersembuhkan.

Masdar Hilmy, Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya.