[Nasional-m] Menyoal Solusi Pengurangan Obligasi Rekapitalisasi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Aug 18 22:12:07 2002


Suara Karya
Menyoal Solusi Pengurangan Obligasi Rekapitalisasi
Oleh Ryan Kiryanto

Senin, 19 Agustus 2002


Munculnya gagasan Tim Independen Pengkajian Alternatif Solusi Permasalahan
Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (Tim Pasporp) yang difasilitasi Kantor
Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam menyodorkan lima
alternatif penarikan obligasi di sejumlah bank rekap, mendapat respon yang
beragam. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Maklum, kendati solusi yang
ditawarkan bukan merupakan barang baru dalam sistem akuntansi keuangan,
secara substasial solusi-solusi tersebut juga berdampak positif dan negatif
bagi kalangan perbankan.
Respon awal muncul dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui
ketuanya, Syafruddin Temenggung. Menurutnya, pemerintah tidak dapat menarik
obligasi rekap secara tiba-tiba dari perbankan. Apabila hal itu dilakukan
tanpa mempersiapkan neracanya lebih dulu, maka posisi modal perbankan akan
kembali negatif atau paling tidak menurun tajam. Untuk itu, pihaknya
berharap agar pemerintah berhati-hati dalam menyikapi hasil kajian Tim
Pasporp tersebut.
Apa yang disampaikan Syafruddin benar adanya. Sebab, pada saat program
rekapitalisasi dijalankan, pemerintah memberikan obligasi kepada bank-bank
untuk menambal modalnya yang negatif agar menjadi positif. Kalau pada
akhirnya obligasi tadi ditarik kembali, maka kemungkinan modal bank akan
anjlok sehingga mengancam posisi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Ratio/CAR-nya).
Dampak lebih lanjut, penarikan obligasi secara tiba-tiba bisa menyebabkan
fungsi intermediasi tidak akan berjalan. Padahal, dalam dunia perbankan
setidaknya ada tiga hal yang mesti berjalan bersamaan yakni CAR,
rentabilitas yang terkait dengan likuiditas dan solvabilitas. Bahkan dengan
nada kesal dikatakan oleh mantan Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) ini, jika pemerintah memaksakan diri menarik obligasi secara
tiba-tiba dari bank-bank rekap, maka lebih baik bagi pemerintah untuk
sekaligus menutup bank tersebut.
Kini bagaimana dengan kelima solusi yang ditawarkan Pasporp. Kendati baru
dalam taraf wacana, pelaksanaannya tampak bakal tidak mudah sebagaimana
dikeluhkan BPPN di atas. Pertama, konversi aset ke obligasi (asset to bond
swap/ABS). Melalui pola ini, potensi obligasi yang bisa ditarik sebesar Rp
40,63 triliun. Apakah yang akan dikonversi obligasi berbunga variabel atau
tetap, tidak dijelaskan lebih rinci. Jika yang dikonversi obligasi berbunga
variabel, maka akan terjadi potensi penurunan pendapatan bunga obligasi yang
selama ini dinikmati bank-bank rekap. Lalu apakah aset yang dikonversi itu
yang sudah direstrukturisasi oleh BPPN sehingga termasuk golongan lancar
ataukah aset yang belum direstrukturisasi, ini pun belum jelas.
Keduanya punya implikasi masing-masing. Bank tentu menginginkan konversi
pada aset yang sudah direstrukturisasi karena dampaknya tidak terlalu
membebani bank jika harus membentuk provisi atau penyisihan penghapusan
aktiva produktif (PPAP). Sementara sejauh ini aset-aset di BPPN ada yang
belum direstrukturisasi. Terkait dengan pola ABS ini, penentuan harga aset -
kendati sudah direstrukturisasi-- pun akan menjadi persoalan. Bank tentu
menginginkan harga diskon yang tinggi, sementara BPPN menginginkan harga
normal yang tinggi pula. Iroinisnya, untuk pola ABS ini terkesan keengganan
bank-bank rekap untuk mengeksekusinya.
Kedua, penyesuaian rasio kecukupan modal (CAR). Melalui pola ini, potensi
obligasi yang bisa ditarik sebesar Rp 17,72 triliun. Sulit menterjemahkan
pengertian "penyesuaian" ini. Apakah yang disesuaikan persentasenya ataukah
formulanya, semuanya tidak jelas. Kalau yang disesuaikan persentase CAR-nya,
dalam artian diturunkan, hal ini jelas akan mengganggu kemampuan bank dalam
menanggung risiko mengingat CAR merupakan indikator dari risk taking
capacity.
Ketiga, akuisisi antarbank rekap. Melalui pola ini, potensi obligasi yang
bisa ditarik sebesar Rp 26,4 triliun jika akuisisi dilakukan secara langsung
dan sebesar Rp 27,6 triliun jika akuisisi dilakukan secara tidak langsung.
Bank rekap induk akan membeli bank rekap lainnya yang skalanya lebih kecil
dengan melepas sebagian obligasinya. Dengan cara ini maka akan terjadi
"sinergi" antara obligasi berbunga variabel dengan obligasi berbunga tetap
sehingga membentuk posisi saling meng-offset dan berdampak pada penurunan
beban bunga obligasi yang ditanggung pemerintah (baca: APBN). Namun
lagi-lagi cara ini tidak semudah membalik tangan.
Keempat, pengumpulan obligasi rekap dalam satu bank (bond pooling). Melalui
metode ini potensi obligasi yang bisa ditarik sebesar Rp 244 triliun dengan
kendali atas obligasi tetap pada pemerintah. Pola ini pun patut
dipertanyakan, apakah yang akan dihimpun semua obligasi ataukah hanya
parsial saja. Lalu, tidakkah bank-bank akan berkeberatan jika seluruh atau
sebagian obligasinya dialihkan ke bank rekap penghimpun karena hal ini
berdampak pada anjloknya modal dan berkurangnya potensi pendapatan bunga
obligasi? Juga, tidakkah pengumpulan obligasi itu tetap tidak berdampak
apa-apa bagi APBN apabila setelah dihimpun tidak diturunkan dengan cara
dikembalikan ke pemerintah.
Kelima, interest bearing perpetual bond (obligasi dengan bunga nol dan
jangka waktu tak terbatas). Dengan pola ini, maka potensi obligasi yang bisa
ditarik sebesar Rp 345,60 triliun. Pola ini pun sami wawon alias sama saja
dengan pola lainnya, dalam artian mudah di tingkat konsep, namun sulit dalam
praktiknya. Kendati struktur modal tidak berubah dalam jangka panjang, namun
potensi return atas obligasi akan berkurang sehingga berpotensi menurunkan
kinerja bank. Di saat bank-bank mulai mengoptimalkan fungsi intermediasinya
saat ini, maka diakui atau tidak pendapatan bunga obligasi masih merupakan
tumpuan utama.
Apapun alternatif solusi yang akan ditempuh dari kelima solusi di atas,
terhadap bank-bank rekap akan punya dampak yang sangat serius pada
pencapaian kin erjanya. Hal ini dikarenakan dalam penyusunan rencana kerja
bank (RKB) atau business plan, target-target yang akan dicapai secara
tahunan (milestones) sudah memasukkan unsur pendapatan bunga obligasi. Jika
obligasi ini ditarik seluruhnya atau sebagian, tentunya akan berdampak pada
penurunan target business plan.
Tidak tercapainya target business plan akan berdampak serius bagi bank-bank
rekap berstatus bank publik. Di samping penurunan kinerja akan berdampak
pada turunnya kinerja atau harga saham, maka rencana divestasi atas
kepemilikan saham pemerintah pada bank-bank rekap tersebut juga tidak akan
direspon positif oleh kalangan investor karena potential return-nya menjadi
tidak sebaik kalau obligasinya tidak berkurang.
Hal lain yang mungkin juga menyulitkan pelaksanaan atas rekomendasi Tim
Pasporp di atas adalah menyangkut aspek anggaran dasar d rumah tangga
(AD/ART). Sangat boleh jadi, AD/ART bank-bank tidak memungkinkan
dilaksanakannya solusi-solusi tersebut kecuali dilakukan perubahan AD/ART
terlebih dahulu. Bahkan untuk kasus tertentu, sangat mungkin pula
pelaksanaan atas rekomendasi tersebut membutuhkan perangkat berupa rapat
umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).
Masih ada hal teknis yang juga patut mendapat perhatian. Misalnya, bagaimana
dengan obligasi rekapitalisasi yang saat ini sudah berada di tangan investor
publik? Bagaimana memperlakukan obligasi itu apabila, misalnya, obligasi
sejenis yang masih ada di bank-bank dikonversi menjadi interest bearing
perpetual bond? Tentunya harus ada "penyelesaian" yang elegan atas obligasi
yang beredar di tangan publik tersebut agar pasar obligasi tetap berkembang
baik dan bondholders tidak dirugikan.
Jika demikian, maka agar lebih aplikatif, kelima solusi tersebut harus
dikaji kembali lebih dalam dengan berorientasi pada kelangsungan hidup bank
dan pengurangan beban pemerintah.
Di luar kelima solusi alternatif yang digagas Tim Pasporp, kabarnya BPPN
sendiri memiliki alternatif lain. Yakni, dengan memanfaatkan dividen
bank-bank di bawah BPPN untuk menarik obligasi rekap di bank-bank
bersangkutan. Secara teknis akuntansi keuangan hal ini memungkinkan, karena
pemegang saham mayoritas bank-bank rekap tadi adalah pemerintah.
Jadi pembayaran dividen dilakukan melalui penarikan obligasi secara bertahap
disesuaikan dengan besar kecilnya dividen yang menjadi hak pemerintah.
Sementara untuk hak pemegang saham minoritas, pembayaran dividen bisa
dilakukan secara tunai, bukan dengan obligasi.
Namun pola versi BPPN ini pun punya kelemahan, dimana hanya bank-bank dengan
CAR yang tinggi saja - katakanlah di atas 25%-- yang memungkinkan untuk
merealisasikannya. Konon metode pengurangan obligasi dengan dividen ini
telah digagas sejak tahun 2000 namun belum pernah direalisasikan.
Dengan penarikan obligasi dalam jumlah tertentu, CAR bank masih tetap dapat
dijaga dalam batas-batas kewajaran sehingga kemampuan bank secara individual
dalam menangkal risiko masih memadai. Sedangkan bagi bank-bank rekap dengan
CAR pas-pasan, pola ini tentunya sulit diimplementasikan.
Mengingat masalah obligasi rekapitalisasi ini ibarat "bom waktu" yang
sewaktu-waktu bisa meledak, ada baiknya pemerintah (tim ekonomi) bersama DPR
secara serius memikirkan upaya penarikan obligasi rekap tersebut agar tidak
terjadi goncangan hebat di kemudian hari. Gagasan pihak lain pun patut
dicermati guna membantu pemecahan masalahnya. ***
(Ryan Kiryanto, praktisi dan pengamat perbankan).