[Nasional-m] Mencari Esensi Hari Kemerdekaan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Aug 18 22:12:10 2002


Media Indonesia
enin, 19 Agustus 2002

Mencari Esensi Hari Kemerdekaan
Reza Indragiri Amriel, Tengah mendalami psikologi forensik di The University
of Melbourne, Australia


BECERMIN pada Proklamasi 1945, seyogianya pada peringatan 17 Agustus tahun
ini ada sebuah peristiwa nasional yang menjadi titik tolak dibukanya
lembaran sejarah baru. Permasalahannya, berbeda dengan tahun 1945, berbagai
kalangan dewasa ini justru merasakan adanya garis demarkasi yang begitu
tebal antara pemimpin dan rakyat. Ini merupakan sebuah kenyataan ironis.
Tatkala supremasi rakyat digemakan sebagai intisari demokrasi, pada
kenyataannya arah gerak bangsa ini masih dominan ditentukan oleh mereka yang
kadung disebut sebagai para pemimpin nasional.
Persepsi bahwa dunia politik, termasuk perilaku para pemimpin bangsa,
senantiasa berisi pertikaian adalah sama sekali tidak berlebihan. Meski
demikian, kerinduan akan adanya dunia politik yang jernih, tenang, serta
sebangun antara pemimpin dan rakyat juga laksana mimpi di siang bolong.
Walaupun, merujuk pada fantasi utopia, permohonan maaf oleh para pemimpin
nasional terkesan mengada-ada, maaf merupakan isyarat kerendahatian,
sekaligus pengakuan akan kedurhakaan politik karena telah mengabaikan amanat
rakyat. Lewat permintaan maaf, berlangsung peleburan diri para topdog ke
dalam diri mereka yang selama ini telah diperlakukan sebagai underdog.
Biarpun simbolik, maaf menjadi antitesis terhadap perangai egosentris yang
diperagakan oleh para elite nasional manakala berkompetisi memenuhi
kepentingan primordial mereka masing-masing.
Ringkasnya, permintaan maaf dari pemimpin nasional kepada semesta rakyat
adalah sebuah peristiwa monumental yang patut direalisasikan pada perayaan
Hari Kemerdekaan 2002 ini. Terlalu banyak bukti bagi pemimpin nasional untuk
mengakui kesalahan dan dilanjutkan dengan mengutarakan pertobatannya.
Beberapa di antaranya, kegagalan otoritas pemerintahan untuk mencegah
terjadinya aksi pembantaian pada Idul Fitri 1999 di Ambon, kekejian militer
dan milisi terhadap warga sipil Aceh, rendahnya perlindungan terhadap para
pekerja Indonesia yang dizalimi di luar negeri, terbunuhnya mahasiswa
demonstran, skandal keuangan negara, dan berjuta lainnya.
Mengajukan permohonan maaf sesungguhnya memang bukan perkara ringan. Namun,
pemerintah Jepang telah beberapa kali meminta maaf atas tingkah laku
ekspansif mereka di masa silam. Dunia berdecak kagum, karena negara yang
kini menjadi salah satu raksasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi itu
ternyata masih memiliki kepekaan hati untuk melakukan retrospeksi.
Akibatnya, kendati masalah kompensasi oleh pemerintahan Jepang masih belum
sepenuhnya terselesaikan, masyarakat internasional cenderung tidak lagi
menyimpan trauma terhadap Jepang sebagai mantan negara imperialis.
Setali tiga uang dengan Jepang adalah Pakistan. Belum lama ini, Presiden
Musharaf menyatakan penyesalannya yang mendalam atas kekeliruan yang telah
dilakukan negaranya di masa silam terhadap Bangladesh. Tindak lanjut
pernyataan Musharaf itu belum diketahui. Tetapi, yang jelas, dalam kunjungan
kenegaraannya ke Bangladesh tersebut, Presiden Musharaf disambut langsung
oleh PM Khalida Zia dengan bentangan karpet merah. Tidak ada dendam, karena
kedua pihak bertekad bahwa orientasi mereka adalah menciptakan masa depan
yang lebih cerah bagi kedua pihak.
Membandingkan dua negara tersebut, selintas terdapat kesan bahwa keberanian
pemimpin nasional untuk mengajukan permintaan maaf tampaknya berbanding
terbalik dengan persepsinya akan relasi menguasai dan dikuasai. Artinya,
semakin tinggi persepsi tentang superior-inferior tersebut, maka semakin
rendah inisiatif pemimpin untuk meminta maaf. Vice versa. Jika hipotesis ini
dapat diterapkan, bisa dipahami bahwa dalam konteks kehidupan dalam negeri,
konstelasi superior-inferior akan berakibat kontraproduktif bagi fondasi
demokrasi yang tengah dibangun. Karena, apabila diverbalisasikan, relasi
yang dengan ciri tersebut analog dengan --dalam bentuk ekstrem-- splitting
personality, yang menganut kredo, ''Aku bukan kamu. Aku yang benar, kamu
yang salah.''
***
Tidak hanya dari kacamata politik, permintaan maaf dari pemimpin kepada
rakyat juga memiliki pembenaran psikologis. Buruknya relasi vertikal dalam
kehidupan berbangsa tidak semata-mata menguras energi pemimpin.
Penalarannya, karena keputusan untuk mengubah 'kebijakan' vertikal seperti
yang ada selama ini dikhawatirkan akan berisiko pada hilangnya otoritas atas
sumber-sumber daya (kolapsnya bangunan kekuasaan). Maka penguasa akan
cenderung memilih untuk melestarikan relasi vertikal tersebut. Ibarat
seorang klien yang tengah menjalani terapi, karena terkuaknya problem diri
adalah sangat mengerikan, maka energi sang klien habis untuk mempertahankan
tegaknya dinding-dinding pertahanan psikis. Pada saat yang sama, kajian
psikologis membuktikan bahwa disharmoni vertikal dalam lingkup domestik
membangkitkan dan memperteguh keberadaan kelompok-kelompok yang kontra
terhadap pemerintah.
Psikolog J Post (1986), sebagai misal, menemukan adanya kekhasan dalam
interaksi tiga segi antara negara (pemerintah), orang tua (parent), dan anak
(child). Pola interaksi tiga unsur ini menjadi penentu bagi anak untuk
menjadi pejuang separatis atau aktivis anarkistis. Post memasukkan kelompok
separatis (nationalist-separatists) dan kelompok anarkis
(anarchic-ideologues) sebagai dua jenis kelompok teroris.
Harmoni antara negara, orang tua, dan anak, menurut Post, tidak akan
menghasilkan sebuah kondisi bagi keterlibatan anak, baik dalam separatisme
maupun anarkisme. Bertolak belakang dengan itu, disharmoni tiga segi
merupakan prasyarat sempurna bagi anak untuk masuk ke dalam dua variasi
aktivitas perlawanan tersebut.
Tentu, ada sejumlah pertanyaan yang dapat diajukan terhadap penelitian Post.
Juga perlu dicermati kompleksitas faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap keputusan individu untuk masuk ke dalam barisan separatis dan
anarkis. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada, riset tentang interaksi
tiga segi di atas memaparkan bahwa separatisme dan anarkisme --dua problem
yang juga tengah menyambangi bangsa ini-- adalah konsekuensi yang harus
dihadapi oleh para pemimpin nasional manakala tindak-tanduk mereka secara
frontal antagonistis dengan harapan rakyat. Dalam konteks kekinian di
Indonesia, apatisme bahkan antipati massal merupakan kondisi psikis yang
sangat potensial bagi berkembangnya ketidaksetiaan (disloyalty) yang
ditujukan oleh rakyat kepada para pemimpin nasional.
Jadi, sekali lagi, di balik sorak-sorai dirgahayu 17 Agustus 2002, sebuah
ucapan maaf penuh ketulusan dari para pemimpin nasional --insya Allah-- akan
menjadi penawar yang dapat meredakan linangan air mata Ibu Pertiwi.
Mudah-mudahan belum terlambat. Wallaahu a'lam.***