[Nasional-m] Komisi Nasional Penyelesaian Aceh

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Aug 25 20:48:05 2002


Suara Karya

Komisi Nasional
Penyelesaian Aceh
Oleh Hasballah M Saad

Rabu, 21 Agustus 2002
Dalam menyikapi masalah di Aceh, pemerintah terkesan mengulur-ulur waktu dan
tidak memiliki format penyelesaian yang tegas. Tapi saya melihat bahwa
dengan tidak jadinya diterapkan darurat sipil dan militer di Aceh merupakan
pertanda bahwa pemerintah masih cukup aspiratif. Pemerintah mau mendengar
masukan, keluhan, dan pandangan berbagai elemen masyarakat di Aceh dan para
pakar di Jakarta.
Pemerintah akhirnya membuat kesimpulan yang sama dengan para pakar, termasuk
para politisi dan tokoh masyarakat Aceh, bahwa darurat sipil dan darurat
militer tidak menyumbang penyelesaian permanen bagi masalah Aceh. Namun
kalau kita bicara mengenai format penyelesaian Aceh ke depan, saya melihat
sebaiknya pemerintah segera mengambil keputusan membentuk Komisi Nasional
Penyelesaian Masalah Aceh. Komisi tersebut hendaknya melibatkan berbagai
elemen yang bisa dipercaya pemerintah. Anggotanya terdiri dari warga negara
Indonesia yang baik dan mengerti Aceh serta memiliki kejujuran. Orang-orang
seperti Ali Alatas, Surjadi Sudirdja, Mar'ie Muhammad, dan Syafii Ma'arif
bisa dilibatkan dalam lembaga tersebut.
Mereka itu sebaiknya diberi kewenangan dan kemudahan yang jelas; apa saja
yang harus dikerjakan dan sampai kapan harus bekerja. Tanggung jawabnya juga
jelas. Umpamanya, mereka langsung bertanggung jawab kepada Presiden atau
Menko Polkam.
Bagi saya sendiri, Komisi Nasional Penyelesaian Masalah Aceh ini sebaiknya
langsung di bawah Presiden. Namun pada saat melaksanakan tugas, lembaga
tersebut bisa berkoordinasi dengan institusi lain. Itu karena bukan hanya
menyangkut persoalan keamanan. Persoalan di Aceh lebih pada masalah ekonomi,
keadilan, politik, dan HAM.
Kalau kita merujuk pada keputusan politik resmi, Pansus Aceh dulu sudah
mengeluarkan sepuluh butir rekomendasi. Kemudian ada juga Tap PMR No IV/2000
tentang GBHN dan Tap MPR No V/2002. Kalau kita merujuk pada Tap MPR, UU NAD
(Nenggroe Aceh Darussalam), rekomendasi Pansus DPR, dan masukan tokoh-tokoh
masyarakat, itu mestinya diolah oleh sebuah tim yang tadi saya sebut Komisi
Nasional Penyelesaian Masalah Aceh. Hasilnya kemudian ditetapkan sebagai
kebijakan pemerintah menjabarkan keputusan-keputusan politik DPR untuk
penyelesaian masalah Aceh. Itu berarti sudah ada keputusan politik pada
tingkat suprastruktur dan ada masukan dari infrastruktur ketika Menko Polkam
melakukan kunjungan ke Aceh.
Mengenai ultimatum agar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diharapkan mau berdialog,
sebenarnya itu tidak terlalu substantif. Dulu yang saya dengar GAM siap
berdialog. Bahkan, saya dengar di radio, dialog itu tidak harus menunggu
Ramadhan. Akhir bulan ini pun mereka menyatakan siap berdialog dengan
pemerintah. Persoalannya, format kompromi harus dicari. Format kompromi
adalah ketika GAM tidak lagi bicara soal merdeka, melainkan apa kalau tidak
merdeka. Sedangkan pemerintah bicara mengenai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Saya kira harus ada ruang untuk kompromi.
Format yang saya tawarkan adalah bagaimana agar GAM tidak lagi bicara
tentang kemerdekaan. Artinya, kemerdekaan yang kita berikan dibatasi tetap
berada dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap berada
dalam naungan Merah Putih.
Itu artinya, perlu ada wilayah kompromi antara GAM dan pihak RI. Dengan
begitu, di satu pihak RI tidak tercabik-cabik karena lepasnya suatu wilayah.
Di lain pihak, GAM bisa menikmati substansi kemerdekaan tanpa harus secara
formal Aceh berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Dalam konteks itu, UU
NAD perlu disempurnakan sehingga seluruh substansi mencerminkan kemerdekaan
bagi rakyat di Aceh tanpa harus mengganti bendera maupun nama negara. Inti
kemerdekaan itu, rakyat Aceh diberi kesempatan menikmati sumberdaya alam
secara optimal, bisa memilih pemimpinnya secara langsung, bisa menikmati
hari-hari tanpa pelanggaran HAM maupun tindakan-tindakan yang mengebiri
eksistensi kemerdekaan mereka.
Untuk mencapai itu, GAM tidak bisa diultimatum bahwa besok mereka harus
begini-begitu. Tidak bisa pemecahan konflik di Aceh semata-mata diserahkan
kepada GAM. Di sini perlunya Komisi Nasional Penyelesaian Aceh. Dari lembaga
itu diharapkan bisa lahir konsep penyelesaian masalah Aceh dan akhirnya
tercipta rekonsiliasi.***
Hasballah M Saad adalah tokoh masyarakat Aceh
dan mantan Menteri Negara HAM.