[Nasional-m] Akbar Diperkirakan akan Dihukum Percobaan 10 Bulan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Aug 25 20:48:07 2002


Sinar Indonesia Baru
23/8/2002


Akbar Diperkirakan akan Dihukum Percobaan 10 Bulan
PDI-P dan Golkar Sepakat Selamatkan Akbar

Jakarta (SIB)
Meski vonis terhadap terdakwa kasus penyalahgunaan dana Bulog Akbar Tandjung
baru akan dibacakan pada 4 September 2002 mendatang, tetapi sejumlah
spekulasi menyebutkan bahwa Ketua DPR-RI itu akan dijatuhi hukuman percobaan
10 bulan.
"Kalangan DPP Partai Golkar sudah mendapatkan informasi bahwa Akbar Tandjung
akan dijatuhi hukuman 10 bulan percobaan. Tetapi kami sedang berupaya keras
agar dinyatakan bebas murni", ujar sebuah sumber di lingkungan DPP Partai
Golkar, di Jakarta, Rabu (21/8).
Menurut sumber tersebut, jika Akbar Tandjung divonis hukuman 10 bulan
percobaan, maka karir politiknya akan habis. Sebab hukuman ini akan merusak
track record-nya sebagai pribadi dan politisi. Sebagai orang yang pernah
dihukum dan sedang menjalani hukuman percobaan, Akbar Tandjung tidak layak
lagi memimpin sebuah partai politik dan tidak boleh memimpin lembaga wakil
rakyat seperti DPR.
"Karena itu, orang-orang Golkar sekarang ini sedang melakukan lobi dengan
pimpinan PDIP untuk membahas masalah tersebut. Akbar Tandjung sudah
melakukan pertemuan dengan Theo Syafei (Ketua DPP PDIP) dan Sutiyoso
(Gubernur DKI Jakarta). Mereka sedang berupaya melakukan deal (kesepakatan)
politik untuk membebaskan Akbar Tandjung", ungkap sumber tadi.
Akbar Tandjung sendiri pada Kamis (22/8) sekitar pukul 14.00 WIB dikabarkan
telah memanggil seluruh jajaran teras Partai Golkar. Tidak diketahui secara
pasti hasil pertemuan tersebut, tetapi hampir dipastikan mereka akan
mengambil langkah-langkah antisipasi terhadap vonis hakim yang akan
dijatuhkan pada tanggal 4 September mendatang.
Seperti diberitakan sebelumnya, Akbar Tandjung dinyatakan bersalah dalam
kasus penyelewengan dana Bulog dan dituntut hukuman empat tahun penjara.
Dalam pembacaan tuntutan pada 24 Juli 2002 lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Fachmi menyatakan bahwa Akbar Tandjung bersama dua terdakwa lainnya, Dadang
Sukandar dan Winfried Simatupang terbukti melanggar dakwaan primer
berdasarkan pasal 1 ayat (1) Sub.b jo pasal 28 jo, pasal 34 C UU No 3 tahun
1971 jo, pasal 43 A UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 KUHP.
Dalam analisa yuridis, Fachmi menyebutkan bahwa ketiga terdakwa telah
terbukti memperoleh keuntungan dana senilai Rp 40 miliar atau setidaknya Rp
30 miliar.
Sedangkan dalam pembelaan yang dibacakan sendiri pada sidang yang
berlangsung Rabu (21/8), Akbar Tandjung menyatakan keberatan dengan segala
tuduhan yang diajukan jaksa seperti melakukan persekongkolan, rekayasa dan
kebohongan. Sebaliknya, Akbar menilai JPU berupaya membangun asumsi yang
didasarkan pada opini tanpa disertai fakta. Ia juga menilai JPU bersikap
tidak jujur dan diskriminatif, karena di satu sisi menuduhnya melakukan
persekongkolan jahat, tetapi di sisi lain JPU membenarkan keterangan
Presiden, Menko Kesra dan Taskin serta Kepala Bulog.
LEMAH, DASAR HUKUM MEMVONIS AKBAR BERSALAH
Sejumlah pakar hukum menilai, dasar hukum untuk memvonis bersalah Akbar
Tandjung, terdakwa kasus dugaan penyelewengan dana non-bujeter Bulog sebesar
Rp 40 miliar sangat lemah.
Hal ini dikarenakan pasal 55 KUHP soal memperkaya diri yang digunakan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) tidaklah bisa dibuktikan secara materiil oleh JPU.
Mereka juga setuju dengan pendapat bahwa kasus Akbar ini lebih besar muatan
politiknya dibanding soal hukum.
Penilaian itu terungkap dalam diskusi terbatas "Tanggapan terhadap Duplik
Penasehat Hukum Akbar Tandjung, Mencari Keadilan yang Sesungguhnya" yang
digelar "Institute for Judicial Reform", di Jakarta.
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang dipandu Elprisdat dari ANTEVE
itu, pakar hukum pidana Universitas Nasional Prof Dr Andi Hamzah dan pakar
hukum pidana UI Tengku Nasrullah.
Menurut Andi Hamzah, aspek politik kasus ini terlihat dari begitu cepatnya
dakwaan diajukan JPU ke pengadilan. "Jaksa terlalu cepat mengirimkan dakwaan
sebelum ada bukti-bukti siapa sebenarnya yang mengambil uang itu. Harusnya
dicari dulu kebenaran materiilnya. Bukan hanya dengan menerima pengakuan dua
terdakwa lain yang baru sebatas bukti formil," ujar Andi.
Ia menyatakan tidak tepat jika dalam dakwaannya JPU menggunakan pasal 55
KUHP soal memperkaya diri. "Kalau ini digunakan, Jaksa harus bisa
membuktikan bahwa uang Rp 40 miliar itu dibagi tiga untuk Akbar, Winfried
Simatupang dan Dadang Sukandar.
"Menurut saya, berdasarkan kebenaran formil saja, Akbar tidak ikut
memperkaya diri. Akbar kan hanya menyerahkan uang itu ke Dadang dan
Winfried, yang lalu disalahgunakan keduanya," jelas Andi.
Harusnya, katanya, JPU menggunakan pasal 415 KUHP tentang penggelapan.
"Dalam kasus penggelapan ini tidak harus ada unsur memperkaya diri, pelaku
tidak harus pegawai negeri dan uang yang digelapkan tidak harus uang negara.
Kalau Anda menyuruh pembantu Anda membeli gula, tapi hanya dia belikan
setengah dari uang yang Anda berikan, itu sudah masuk penggelapan," katanya.
Persekongkolan
Sementara itu, Tengku Nasrullah menyatakan dakwaan JPU yang menyatakan Akbar
melakukan persekongkolan jahat untuk memperkaya diri tidak jelas.
"Dengan siapa Akbar bersekongkol? Apa dengan Winfried dan Dadang Sukandar
atau dengan Habibie, Menko Kesra dan Taskin serta Kabulog. Kalau ini sudah
dijawab, JPU juga harus bisa membuktikan apakah memang sejak awal sudah ada
niat dari pihak-pihak yang bersekongkol untuk membagi-bagi uang," katanya.
Nasrullah juga mempertanyakan, dari segi operasional, apakah Mensesneg punya
wewenang operasional untuk membagi-bagi sembako atau hanya fungsi fasilitasi
saja.
"Saya dengar ada disposisi dari Menko Kesra dan Taskin soal penunjukan
Yayasan Raduatul Jannah. Kenapa ini tidak disinggung JPU?," tanya Nasrullah.
Ia juga mempertanyakan apakah tugas itu diterima Akbar selaku pribadi atau
selaku Mensesneg. "Kalau sebagai Mensesneg, tanggung jawabnya selesai ketika
dia berhenti".
Nasrullah mengatakan bahwa hal-hal ini diungkapkannya bukan untuk membela
Akbar. "Saya juga yakin, tidak ada maksud dari Pak Andi yang begitu keras
mengecam dakwaan JPU untuk membela Akbar. Kita orang hukum, berpegang pada
bukti-bukti formil dan materiil. Kalau ada yang diuntungkan dari pendapat
hukum kita, ya itu rezeki yang bersangkutan," ujarnya.
Senada dengan Andi, Nasrullah mengatakan dakwaan JPU dalam kasus Akbar ini
memang lemah. "Ya itu kesalahan JPU. Sekarang, sudah terlambat kalau ada
upaya hakim memerintahkan JPU memperbaiki
tuntutan karena harusnya itu dilakukan hakim sejak awal. Sekarang
hakim hanya bisa memutuskan seadil-adilnya berdasarkan bukti-bukti
yang lemah tadi," katanya.
Publik, tegas Nasrullah, kini hanya bisa belajar dari kasus ini,
janganlah sentimen politik diwujudkan dalam bingkai hukum.
"Kalau itu dilakukan, ya kejadiannya seperti ini. Satu kasus dipaksakan
masuk ke pengadilan padahal dakwaan dan pembuktiannya lemah," kata
Nasrullah. Ia juga mempertanyakan, kalau Ketua Umum DPP Partai Golkar saat
ini dijabat mantan Menko Kesra dan Taskin atau Kabulog, mungkin keduanya
yang akan diajukan ke pengadilan. (BB/Ant/c)