[Nasional-m] Konsistensi Penegakan Hukum terhadap Mafia Peradilan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Aug 25 20:48:10 2002


Sinar Harapan
23/8/2002

Konsistensi Penegakan Hukum terhadap Mafia Peradilan
Oleh M. Khoidin

Tiga orang anggota majelis hakim niaga yang mengadili kasus Asuransi Jiwa
Manulife Indonesia (AJMI) saat ini tengah tersandung masalah. Ketika
diperiksa oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) mereka
mengaku bahwa sebagian dari harta kekayaan yang bernilai miliaran rupiah
berasal dari uang terima kasih selama menjadi hakim. Mereka telah dijatuhi
sanksi administratif pemberhentian sementara dari jabatannya.
Selanjutnya mereka tengah menjalani pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan
Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) karena diduga melanggar kode etik profesi.
Apabila dalam pemeriksaan Majelis Kehormatan Ikahi, ketiga hakim kasus AJMI
tersebut terbukti bersalah, besar kemungkinan Majelis Kehormatan Ikahi
mengusulkan agar ketiganya diberhentikan dengan tidak hormat dari profesi
hakim.
Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan ketiga anggota majelis hakim
kasus AJMI tersebut diperiksa aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan
tindak pidana korupsi atau menerima suap. Apabila kelak mereka terbukti
melanggar hukum, maka tidak tertutup kemungkinan dijatuhi sanksi pidana
badan berupa pemenjaraan dan pidana denda. Juga dapat dijatuhi hukuman
tambahan berupa pemecatan dari jabatan.
Fenomena suap-menyuap di lembaga peradilan memang sudah sedemikian parah.
Hal itu terjadi sejak lama dan terus berlangsung hingga sekarang. Praktik
suap-menyuap, korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga peradilan dikenal
dengan sebutan mafia peradilan. Fenomena mafia peradilan tidak hanya terjadi
pada peradilan tingkat pertama, tetapi juga terjadi di pengadilan tinggi dan
bahkan di Mahkamah Agung.
Pemberantasan mafia peradilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Mafia peradilan selalu menjadi pembicaraan manakala terjadi jual beli
perkara oleh hakim. Masyarakat mempercayai keberadaan mafia peradilan, namun
sulit menunjukkan bukti empiris.

Korupsi Sistemik
Hasil penelitian Indonesia Corruption Wacth (ICW) pertengahan 2002
memaparkan bahwa mafia peradilan sudah merupakan korupsi yang sistemik yang
melibatkan seluruh pelaku di institusi peradilan. Tidak ada ruang yang
tersisa di lembaga peradilan karena semuanya sudah terpolusi oleh penyakit
korupsi dan dagang keadilan.
Daniel Kaufmann dalam laporan bertajuk Bureucratic and Judiciary Bribery
1998 juga menyatakan bahwa tingkat korupsi di Indonesia, baik di birokrasi
maupun di lembaga peradilan sudah sangat parah. Tingkat korupsi di lembaga
peradilan Indonesia merupakan yang paling tinggi dibanding negara lain.
Ironisnya korupsi di lembaga peradilan juga menyeret insan pers terutama
yang bisa diajak main mata oleh para mafioso di pengadilan.
Ketika penulis berdiskusi dengan sejumlah pengacara, umumnya mereka
mengiyakan adanya mafia peradilan. Sampai-sampai ada pengacara dengan sinis
berujar, ”mana sih di negeri ini ada hakim tidak mau menerima uang. Apalagi
jika nilai perkaranya besar”. Jadi, apabila ada hakim meminta uang dianggap
biasa dan wajar. Sebaliknya jika hakim bersih dan tidak mau menerima uang
malah dianggap ”luar biasa”.
Ekspresi dari sikap apatis tersebut sangat memprihatinkan. Seakan-akan
wibawa pengadilan sebagai benteng keadilan sudah sangat merosot. Kolusi yang
diperankan aktor di pengadilan sudah semakin menjadi-jadi. Ujung-ujungnya
harga keadilan menjadi sangat mahal. Padahal, retorika UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman selalu menyatakan bahwa peradilan dilaksanakan dengan biaya murah.
Terjadinya KKN menyebabkan harga keadilan membubung tinggi. Tidak jarang
terjadi tawar-menawar antara pencari keadilan (justitiabelen) atau
perantaranya dengan hakim. Karenanya kemudian ada pendapat dengan nada
ndagel memplesetkan istilah hakim sebagai akronim ”hubungi aku kalau ingin
menang”. Sebuah stigmasi yang menyakitkan memang.
Mengingkari keberadaan mafia peradilan merupakan lagu lama yang senantiasa
didendangkan oleh para petinggi hukum kita. Apalagi dengan meminta
pembuktian secara konkret ilmiah. Sungguh, suatu permintaan yang naif dan
mengada-ada. Masalahnya, mana ada transaksi keadilan yang dilakukan secara
terang-terangan dengan mengeluarkan bukti tertulis berupa kuitansi.
Meminta pembuktian tentang adanya mafia peradilan sama halnya dengan mencari
sebuah jarum dalam tumpukan jerami, atau mengurai benang ruwet dan kusut.
Isu mafia peradilan merupakan sebuah aksioma yang tidak membutuhkan
pembuktian empirik, namun ia dirasakan ada dan memang ada. Tetapi tidak
selalu dapat dibuktikan. Gerakan para mafioso sangat kasat mata, sehingga
sulit dideteksi.
Kalau dicermati secara mendalam, mafia peradilan tidak hanya dilakukan oleh
oknum hakim, tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum lainnya. Dalam
peradilan pidana terdapat empat aktor yang bermain di dalammnya, yaitu
hakim, jaksa, polisi dan pengacara. KKN di antara mereka disebut mafia.
Jadi, tidak hanya hakimnya saja, tetapi jaksa, polisi dan pengacara pun
tidak jarang terlibat transaksi keadilan.
Kadangkala hakimnya pasif, tetapi pengacaranya aktif mempecundangi
justitiabelen. Hakim sebenarnya tidak meminta uang, tetapi direkayasa
seakan-akan justitiabelen harus menyediakan dana untuk sogokan. Demikian
juga di kalangan jaksa dan polisi, tidak jarang terjadi kolusi dengan maksud
mendeponering (memetieskan) perkara atau kalaupun dituntut, hukuman yang
dikemas sedemikian ringan sesuai pesanan.

”Political Will”
Ibarat sebuah ladang, dalam peradilan pidana terdapat empat penggarap, yaitu
polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Semuanya ingin memperoleh keuntungan
dari pencari keadilan yang menjadi objek garapannya. Sedang dalam peradilan
perdata yang bermain hanyalah hakim dan pengacara, sehingga kemungkinan
memperoleh untung jadi lebih besar. Tidak adil jika hanya menya-lahkan hakim
dalam soal ma-fia peradilan.
Seandainya mau konsisten dan ada political will dari pemerintah, dapat saja
para mafioso di lingkungan peradilan dilibas. Hakim, jaksa dan polisi yang
menerima sejumlah uang dapat dijaring pasal menyalahgunakan jabatan atau
melakukan kejahatan suap-menyuap (Pasal 418-420 KUHP jo. UU No. 11/1980
tentang Tindak Pidana Suap).
UU Anti Korupsi (UU No. 3/1971 jo UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001) dapat
dijeratkan kepada pelaku KKN di pengadilan. UU Pemberantasan KKN No.
28/1999) juga dapat dijeratkan kepada para mafioso di lembaga peradilan.
Ancaman hukuman dalam kedua UU tersebut dikemas sangat tinggi. Tidak hanya
itu pihak justitiabelen atau pengacara yang memberi suap juga dapat dijaring
Pasal 209 dan 210 KUHP jo. UU No. 11/1980.

Ironisnya, konsistensi penegakan hukum terhadap pelaku KKN di lembaga
peradilan sangat lemah. Di samping itu upaya preventif untuk mengantisipasi
mafia peradilan juga lemah. Kita telah mempunyai banyak peraturan yang
mewajibkan pejabat (termasuk penegak hukum) melaporkan kekayaan pribadi atau
keluarganya. Baru-baru ini juga dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat
Negara. Namun sayang peraturan dan lembaga tersebut belum menampakkan hasil.
Malaysia sebagai salah satu negara yang sangat serius memerangi KKN
mempunyai badan yang khusus memeriksa kekayaan pejabat yang dicurigai korup.
Badan tersebut (Prevention of Corruption Agency atau Badan Pencegah Resuah)
berada di bawah raja, dan berwenang memeriksa pejabat sampai perdana
menteri. Pihak terperiksa (dengan sistem pembuktian terbalik) harus dapat
membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dengan jalan halal (bukan korupsi).
Jika Pemerintah mau konsisten, maka KPKPN harus segera melakukan pemeriksaan
terhadap seluruh pejabat. Jika ada pejabat (termasuk aparat penegak hukum)
yang gaji dan penghasilannya sudah diketahui dari struk gaji, dan tidak
mempunyai penghasilan lain yang sah, tetapi hidup glamour, maka seharusnya
mereka diperiksa. Pihak terperiksa harus dapat membuktikan bahwa hartanya
bukan dari KKN atau dagang hukum.
Mengingat lemahnya langkah-langkah pemberantasan terhadap mafia peradilan
(baik represif maupun preventif), maka kita hanya bertaruh dan berharap pada
baiknya akhlak dan hati nurani para hakim (dan aparat penegak hukum
lainnya). Tanpa akhlak dan integritas yang tinggi, jangan harap kita dapat
mengikis maraknya praktik perdagangan keadilan.
Kebijakan menaikkan gaji tidak akan banyak berarti jika akhlak para hakimnya
bobrok. Sebesar berapapun gaji diberikan, jika akhlak para hakimnya jelek,
mereka akan tetap tergoda untuk memperjual belikan keadilan. Tujuan mereka
semata-mata hanyalah materi dan uang. Padahal materi itu ibarat air laut,
semakin banyak diminum maka akan semakin kehausan.
Karena mafia peradilan sudah merusak lembaga peradilan kita, maka
penanganannya seharusnya dilakukan oleh lembaga independen. Gagasan untuk
mengimpor hakim asing guna mengikis mafia peradilan di Indonesia sebenarnya
merupakan wujud apatisme terhadap jalannya peradilan di Indonesia. Percuma
saja para hakim diadili, karena pihak pengadilnya juga belum tentu bersih,
sehingga putusan akhirnya akan mengecewakan.
Untuk menyapu lantai kotor harus memakai sapu bersih. Apabila sapunya kotor,
maka lantai yang disapu tidak akan bersih, malah akan semakin kotor akibat
terpolusi kotoran yang melekat pada sapu tersebut. Karenanya, gagasan untuk
membentuk hakim khusus atau hakim ad hoc bagi kasus korupsi sangat layak
dipertimbangkan guna mereduksi maraknya mafia peradilan di Indonesia. Hakim
ad hoc tersebut harus direkrut dari kalangan independepen yang
berpengetahuan hukum dan berintegritas tinggi.
Pemberantasan mafia peradilan tidak akan berhasil jika hanya menggantungkan
pada kinerja Majelis Kehormatan Ikahi atau political will Pemerintah.
Karenanya rakyat harus terus melakukan pressure dan kalau perlu dengan
people power agar Pemerintah benar-benar serius dalam memberantas mafia
peradilan. Pemerintah tidak akan berani memberantas mafia peradilan
(inklusif di MA) jika aparatnya termasuk para pejabat tinggi juga ikut
terlibat KKN.

Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Jember.  .