[Nasional-m] Kaum miskin mengais pendapatan lewat judi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 23:12:18 2002


Pos Kupang
Edisi: Senin, 26 Agustus 2002

Opini
Kaum miskin mengais pendapatan lewat judi
Oleh Hironnymus Jati ]

MARAKNYA aksi damai pro legalisasi judi maupun wacana yang menghendaki agar
judi kupon putih diberantas yang semakin gencar akhir-akhir ini semakin
menguat keinginan sejumlah warga Kota Kupang mempertahankan eksistensi
berbagai bentuk perjudian yang sangat akrab dengan kaum miskin, kaum harap
gampang dan cepat dapat duit dalam sekejap dengan pengorbanan yang relatif
kecil.
Bagaimana pun juga masalah perjudian, baik itu menguntungkan atau merugikan,
tidak dapat dilepaskan dengan manusia dan perilakunya dalam kehidupan
bermasyarakat. Judi adalah salah satu hasil karya dan rekayasa manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara rohani maupun secara jasmaniah di
tengah masyarakat yang penuh dengan persaingan dan krisis serta tekanan
dalam pelaksanaan tugas di tempat kerja atau mungkin persoalan keluarga yang
tak kunjung beres. Judi menjadi pelabuhan singgah sementara bagi mereka yang
sedang galau, atau mungkin hanya sebagai ajang coba-coba mengaduh nasib,
siapa tahu bisa menang, kalau kalah juga tidak apa-apa, toh hanya sekadar
ikut rame.
Ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta, beliau membangun Kota
Jakarta sebagai Kota Megapolis dengan melegalkan judi dan semua kegiatan
pertarungan dengan harapan untuk memperoleh keuntungan dari suatu hasil
pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak pasti atau tidak
dapat dipastikan sebelumnya. Awalnya memang mendapat protes dari masyarakat,
tetapi setelah melihat dan menikmati hasilnya, masyarakat Jakarta akhirnya
mengakui kehebatan Bang Ali dalam menggali "uang halal" atas nama pajak
hiburan dengan melokalisir arena perjudian sehingga tidak sembarang orang
ikut dalam kegiatan pertarungan ini, apalagi yang masih berseragam sekolah
atau mereka yang hidup di pemukiman kumuh tidak pernah diizinkan nimbrung
dengan para bule dan pengusaha non pribumi dari Cina daratan.
Dasar pemikiran Bang Ali melegalkan judi adalah bahwa lebih baik diizinkan
dan dilokalisir sehingga Pemda memperoleh masukan dalam bentuk retribusi
atau pajak hiburan guna membangun kota daripada para penjudi harus ke
Hongkong dan Singapura. Bagi pemerintah, apakah perjudiannya untung atau
rugi bukan masalah, yang penting kas daerah tetap terisi sehingga bisa
membangun kaum miskin melalui program pemberdayaan ekonomi rakyat.
Setamatnya Ali Sadikin dengan kasinonya dari panggung politik dan kekuasaan,
terbitlah SDSB dengan keputusan Mensos No. BSS:16-11/88 tanggal 21 November
1988 yang memberikan izin kepada Yayasan Dana Bahkti Kesejahteraan Sosial
menyelenggarakan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Latar belakang
dan tujuannya adalah untuk menangani masalah-masalah sosial yang timbul
dalam masyarakat dan pembinaan olah raga. Adanya fakta bahwa sejumlah
anggota masyarakat bisa menikmati hidupnya secara baru dan lebih baik
gara-gara nomornya jitu dan menembus SDSB semakin menggelembungkan opini
bahwa judi semacam SDSB merupakan juru selamat ekonomi keluarga. Akibatnya
semakin banyak orang menggantungkan harapan hidupnya pada SDSB. Bagi mereka
SDSB merupakan pilihan yang paling tepat, terbaik, dan tercepat serta
tergampang dalam rangka mengentaskan diri dan keluarga dari kemiskinan.
Orang kaya baru dan mendadak melalui SDSB, tetapi di lain pihak ada sejumlah
anggota masyarakat menjadi miskin baru gara-gara tersedot uangnya ke meja
SDSB.
Kenyataan yang demikian itu mendorong pemerintah mencabut izin pengoperasian
SDSB pada tanggal 9 September 1993 dengan harapan agar terhadap segala
bentuk undian liar yang beredar di masyarakat dilakukan penindakan secara
tegas oleh aparat pemerintah yang berwenang. Apakah masyarakat/kaum miskin
jerah dengan pencabutan SDSB? Ternyata habis SDSB terbitlah berbagai undian
yang menawarkan harapan cepat kaya pada kaum miskin. Dan belakangan ini
maraklah undian atau pun judi massal yang namanya: kupon putih, bola guling,
tiga daun, kuru-kuru dan sejenisnya. Ketika ada orang mati maka di sana kita
dapat saksikan bagaimana kaum miskin beradu nasib di meja judi dengan
harapan bisa menang.
Jika dicermati dari berbagai literatur dan pengalaman maka dapat disimpulkan
bahwa kegiatan manusia dengan taruhan berupa uang, harta tetap yang bergerak
maupun tidak, perempuan, negara atau kerajaan sudah dimulai sejak awal tahun
3500 SM di Mesir. Para arkeolog menemukan sejenis permainan yang dilukiskan
pada nisan atau keramik yang banyak memperlihatkan orang-orang sedang
melempar "astragali". Permainan ini kemudian berkembang ke Roma dan Yunani,
mereka lalu membuat tiruannya dari batu dan logam (Mingguan Hidup, 1993). Di
Indonesia diperkirakan bahwa judi paling tidak dimulai dari zaman Raja
Syailendra, seperti yang terlukis pada relief-relief di Candi Borobudur,
kemudian pada zaman penjajahan Belanda khususnya tahun 1912 terdapat segala
bentuk perjudian yang menggunakan sistem bandar dilarang. Judi lain boleh
asal ada izin dari kepala daerah.
Kota Kupang yang tenar dengan Kota Kasih juga tidak kalah dalam hal
perjudian, apakah itu hanya sekadar permainan hiburan atau permainan atau
kegiatan dengan harapan memperoleh untung sudah menjamur bukan hanya di
pusat kota tetapi sampai ke pelosok terutama hari-hari pasar pada desa-desa
atau kecamatan tertentu. Sabung ayam, BG, TJ, dan kuru-kuru sudah menjadi
suatu kebiasaan yang dianggap biasa dan rutin. Yang menghebohkan belakangan
ini bukan sabung ayam, BG, atau pun TJ tetapi "kupon putih" yang diadopsi
dari Hongkong dan Singapura. Ketika musim bola kaki, maka yang ramai
diperjualbelikan adalah prediksi bola.
Adalah wajar jika ada sejumlah pemuda yang menamakan diri Serikat Kaum
Miskin yang memperjuangkan legalisasi "KP". Jika kita mau jujur mengakui
bahwa judi kupon putih teryata cukup menyedot uang orang miskin untuk orang
miskin dan bandar, serta menghidupi sejumlah penganggur yang terlibat
sebagai bandar, pengecer, agen dan pengaman atau pun orang kuat otot.
Walaupun sepanjang sejarah tak pernah terdengar bahwa seseorang menjadi kaya
raya hingga anak cucu dalam waktu yang relatif lama karena menang. Ada yang
mengatakan bahwa selama tujuh kali bermain, kalah hanya dua kali tetapi
tidak jelas berapakah nilai nominal dari kemenangan tersebut? Apakah lebih
besar dari nilai kekalahan atau lebih kecil? Yang pasti bahwa sejumlah
penjudi menjadi buntung karena kalah, ada yang gila dan sejumlah lainnya
stres berat lantaran uang dan hartanya habis di meja judi. Sejumlah pegawai
negeri setiap hari sibuk dengan KP sehingga tugas-tugas dinas terbengkalai.
Jika ada desakan untuk melegalkan KP maka KP dapat menjadi sumber PAD yang
pasti bagi pemerintah dibandingkan dengan pasar gelap, asalkan pemerintah
menetapkan rambu-rambunya secara jelas. Misalnya: dilokalisasi dan hanya
diikuti kelompok pendapatan tertentu saja, tidak dijual secara bebas,
bandarnya harus jelas dan berbadan hukum dan pengelolaannya secara modern
bukan kucing-kucingan dengan petugas. Dengan demikian maka tidak ada istilah
beking-bekingan dan penggerebekan, karena semuanya berjalan atas dasar
hukum.
Ada beberapa alasan melegalkan kupon putih. Pertama, proses pemiskinan kaum
miskin tidak berlanjut karena hasilnya dapat diumumkan secara terbuka
dibandingkan dengan saat ini. Kedua, pemerintah memperoleh pemasukan dari
pajak hiburan yang lebih jelas dan pasti dibandingkan saat ini yang hanya
menguntungkan bandar, agen, pengecer dan orang otot kuat. Ketiga, pemerintah
atau negara dapat memperoleh pemasukan dari pajak penghasilan yang diperoleh
bandar, agen, pengecer dan pemenang yang selama ini tidak pernah
diperhitungkan dengan alasan belum ada dasar hukumnya.
Para oportunist yang terlibat dalam kegiatan judi ini tentunya didorong oleh
dua hal yang berbeda, yaitu yang berduit (kelebihan uang) ingin
menghabiskannya terutama sumber-sumber yang tidak jelas. Kelompok yang lain
ingin dapat uang banyak dalam sekejap. Kelompok kedua ini umumnya kaum
miskin. Maraknya judi KP digerakkan oleh permintaan dan penawaran uang
gampang dan kalau pun tetap dilarang maka tidak akan pernah memadamkan
harapan orang miskin bertaruh memperoleh uang. Fakta mencatat bahwa judi
bagi sekelompok masyarakat tertentu merupakan budaya yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja karena sudah merupakan bagian dari kehidupan dan
rutinitas mereka. Jadi legalkan saja, tak dilegalpun akan tetap berjalan
seperti biasa.
Karena begitu yakin bahwa judi bisa merubah kondisi ekonomi keluarga dan
seseorang sehingga tidak saja pengusaha karya yang berjudi ke Hongkong dan
Singapura, tetapi saudara-saudara kita yang kini diusir dari Malaysia
berburu uang di sana dengan "judi" sehingga tidak heran lagi kalau tanah dan
tanamannya di kampung halaman sudah digadaikan karena kalah judi. Jadi kalau
judi sudah menjadi bagian hidup seseorang maka sampai ke seberang pun dia
akan mengejar "harapan kosong" tadi.
* Penulis, pengajar
FISIP Undana Kupang