[Nasional-m] Sebuah Pilihan yang Mendesak

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 16 Dec 2002 21:20:19 +0100


sRIWIJAYA pOST
Senin,  16 Desember 2002

Sebuah Pilihan yang Mendesak
(Searching for Truth)
M Ali Zaidan, SH MHum
Dosen FH UMP dan Stihpada

JUDUL tulisan ini diilhami oleh analisis sebuah buku yang menarik ditulis
oleh Alan M Dershowitz Reasonable Doubts. Buku yang ditulis oleh seorang
lawyer yang sekaligus guru besar ilmu hukum Harvard Law School yang secara
menda- lam mengupas sebuah putusan hukum yang tergolong kontroverial dalam
sejarah penegakan hukum se-kurang-kurangnya di era tahun 90-an. Kasus
Orenthal James Simpson yang lebih dikenal dengan OJ Simpson (OJ) merupakan
kasus yang cukup menyita perhatian publik. Simpson yang dikenal sebagai
bintang Hollywood dan pemain sepak bola yang handal dituduh membunuh mantan
istrinya Nicole Brown dan pacarnya Ronald Goldman. Kasus ini kemudian
disidangkan di pengadilan. Akhir dari perjalanan panjang dan melelahkan ini
membuahkan putusan yang boleh dibilang kontroversial di mana hakim memutus
bahwa Simpson “not Guilty”, terdakwa dinyatakan tidak bersalah atas
perbautannya oleh karena itu harus dibebaskan. Meskipun demikian, putusan
tidak bersalah yang diputuskan oleh hakim Lance Ito itu, sukar dikatakan
bahwa Simpson innocent, karena bukti-bukti pendahuluan sedemikian rupa
sangat memberatkannya.
Para juri yang sebagian besar berkulit hitam itu secara psikologis patut
diduga turut “bermain” untuk membebaskan terdakwa OJ atas tuduhan keji yang
diala-matkan kepadanya. Malahan sang mega bintang Michael Jackson melalui
lagunya yang terkenal Black or White juga melalui talk show radio Los
Angeles tanggal 14 Juni 1994 berkata bahwa “orang-orang kulit hitam sangat
simpati terhadap OJ dan mereka memanjatkan doa agar dia dinyatakan tidak
bersalah (not guilty)”.
Logis kalau kemudian Dershowitz ketika memulai pembahasan dalam bukunya
tersebut, mengajukan pertanyaan yang menarik yakni: Apakah kasus Simpson
telah diputuskan sebelum persidangan dimulai? Mengingat para juri sebagian
besar “sebangsa” dengan Simpson. Dalam sistem peradilan di AS, peranan para
juri amat menentukan. Hakim hanya memutuskan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan, sedang para juri menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa dari
dakwaan yang dituduhkan kepadanya.
Masyarakat AS meyakini bahwa Simpson betul-betul melakukan perbuatan sesuai
dengan apa yang didakwakan. Akan tetapi sejak semula Los Angeles Police
Depart-ement dan Los Angeles Country District Attorney’s Office mempunyai
pandangan yang berbeda. Mereka “tahu” Simpson bersalah, akan tetapi mereka
juga “tahu” bahwa mereka mempunyai informasi yang tidak dimiliki oleh publik
umumnya.
Begitulah, persidangan yang penuh kontroversi tersebut dilangsungkan. Pada
tanggal 2 Oktober 1995 perkara tersebut diputuskan semenjak saat ini putusan
pengadilan menjadi pembicaraan publik, terutama mereka yang memberikan
perhatian terhadap legal process di mana faktor-faktor ekstra legal bermain
di dalamnya sehingga menghasilkan putusan yang kontroversial di atas.
Pada bagian akhir bu-kunya, ia mengajukan sebu-ah pertanyaan “apakah kasus
OJ ini akan menyebabkan hukum menjadi buruk”?
APAKAH relevansinya kasus OJ ini bagi kita, terutama bagi sistem peradilan
pidana yang kita pergunakan dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran?
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah secara tegas
menggaris-kan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil dari perkara yang diajukan ke
pengadilan. Sistem pembuktian dalam sistem peradilan pidana kita yang
menganut ajaran ne-gatief ettelijke bewijs-theorie menentukan bahwa hakim
hanya dapat menjatuhkan hukuman jika didukung oleh sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan akan kesalahan si terdakwa.
Rambu-rambu inilah yang harus dipatuhi oleh hakim ketika ia menjatuhkan
putusan bagi terdakwa. Sehingga putusannya dapat diper-tanggungjawabkan
untuk dan atas nama keadilan.
Menurut Satjipto Rahar-djo, dalam sistem hukum di mana pun di dunia,
kebenaran selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga
peradilan-nya. Hampir tidak ada negara yang benar-benar puas dengan sistem
yang digunakan-nya. Amerika Serikat misalnya, menumpahkan kekecewaannya
dalam berbagai ungkapan dramatis seperti The Collapse of the American
Criminal Justice System (ambruknya sistem peradilan pidana di Amerika) dan
The Expensive failure of the American Criminal Trial (kegagalan yang mahal
dari pengadilan AS). Apakah penyebab semua liberalisme yang parah. Sistem
hukum yang liberal dan bekerja di dalam sistem peradilan pidana di sana
telah sedemikian birokratisnya. Hal ini terlihat dari ungkapan keadilan
prosedural atau keadilan formil (procedural justice/formate justice). Yakni
keadilan yang diperoleh dari prosedur yang rumit dan kaku. Para lawyer di
sana lebih suka bermain-main dengan prosedur yang rumit dan kaku. Dalam
kasus OJ misalnya, para jaksa maupun pembela tidak berusaha untuk
membuktikan kesalahan terdakwa akan tetapi sibuk berdebat hingga ke hal-hal
yang kecil. Sistem hukum kita saat ini sudah mengarah kepada sistem yang
dianut oleh AS. Dalam kasus Akbar Tandjung misalnya, Kejaksaan Agung
menyatakan tidak perlu mencari tahu dari manakah uang yang dikembalikan oleh
terdakwa, padahal patut diduga bahwa jangan-jangan uang tersebut diperoleh
dari hasil korupsi pula. Begitu juga keterangan para saksi ahli yang sedikit
banyak menguntungkan terdakwa terlalu dibesar-besarkan. Serta masih banyak
contoh yang lain, di mana sebagian lawyer berargumentasi terhadap hal-hal
yang sesungguhnya tidak substansial. Ini merupakan suatu contoh penegakan
hukum yang tidak progresif. Keambrukan sistem hukum kita sesungguhnya
dimulai dari sana. Ketika kita semua bermain-main dengan prosedur formal,
ketentuan dalam hukum acara dianggap segala-galanya, semenjak saat itu
kebenaran yang hendak ditemukan mulai menjadi samar-samar. Keinginan untuk
menegakkan hukum berganti dengan tekat untuk menjalankan undang-undang
secara kaku. Seakan dilupakan bahwa upaya menjalankan hukum adalah ditujukan
untuk mencapai keadilan, menciptakan kesejahteraan dan memelihara
nilai-nilai kemanusiaan. Proses peradilan yang heavily proceduralized ini
telah menjadi prosedur di atas ketepatan penanganan substansinya sendiri dan
akan membawa pengadilan kepada perjuangan untuk memperoleh kemenangan apapun
resiko dan berapapun biayanya. Apa yang terjadi di AS tentu tidak kita
inginkan terjadi di sini. Dalam keterpurukan itu, masyarakat AS berteriak
“Apakah hukum sudah mati”? karena ternyata telah gagal memberikan keadilan
kepada warganya serta menjawab permasalah di dalam masyarakatnya sendiri.
Kesemuanya itu tidak lain karena permainan prosedur yang berlebih-lebihan
tadi. Sekarang, ada gejala orang berperkara tidak lagi untuk menemukan
kebenaran dan keadilan. Akan tetapi untuk tujuan-tujuan yang sempit guna
meraih keuntungan materi dan perlindungan harga diri yang berlebihan.
Keadaan hukum kita sudah begitu parah, oleh karena itu marilah kita hentikan
sikap-sikap liberal dalam upaya pencarian kebenaran. Kita semua membutuhkan
keadilan substantif/progresif ditegakkan, agar kebenaran dan keadilan hakiki
dapat diwujudkan. Menggunakan pengadilan untuk mencari kebenaran merupakan
pilihan yang tepat dan bermakna. Itulah pilihan yang mendesak saat ini untuk
kita lakukan.

 DARI REDAKSI

PEMBACA yang budiman. Redaksi Sripo menerima tulisan dari siapa saja yang
berminat menulis, dengan syarat diketik dua spasi sebanyak 5-6 halaman
kuarto. Penulis juga harus mengirim fotokopi identitas diri dan pasfoto.
Jika dalam waktu satu bulan tulisan yang dikirim tidak diterbitkan, maka
penulis boleh mengirim tulisan pada media lain. Tulisan akan dikembalikan
jika tak termuat, dengan syarat disertai perangko dan alamat yang jelas.
Bagi Netter bisa dikirim  lewat E-mail Sripo (sripo@mdp.net.id), jangan lupa
identitas yang jelas serta E-mail Anda. Kalau ada rekening Bank BCA atau
Bank Mandiri.