[Nasional-m] Modal Sosial Merajut Kebersamaan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 18 Dec 2002 00:23:52 +0100


Jawa Pos
Rabu, 18 Des 2002

Modal Sosial Merajut Kebersamaan
Oleh YY Alim *

Konsep modal sosial (social capital) diperkenalkan Robert Putnam (1993)
sewaktu meneliti Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di Italia Utara,
memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi karena tiap indvidu punya
minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antarmasyarakat
lebih bersifat horizontal karena semua masyarakat mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.

Sementara itu, Putnam prihatin atas kecenderungan runtuhnya jalinan sosial
masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan kontribusi bagi terciptanya
"couch potato syndrome". Kebiasaan orang Amerika "nongkrong" di depan layar
televisi berjam-jam sebagai cerminan hidup yang sangat individualistik.

Menurut Putnam (1993), modal sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi
masalah publik dalam iklim demokratis. Schaft dan Brown (2002) mengatakan
bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan interaksi dan
transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat dapat
diselenggarakan dengan mudah.

Menurut penulis, modal sosial adalah kerja sama antarwarga untuk
menghasilkan tindakan kolektif. Pilar modal sosial, menurut Paldam (2000),
adalah kepercayaan (trust), eksistensi jaringan (network), dan kemudahan
bekerja sama (ease of cooperation). Dalam kenyataannya, modal sosial seperti
mata uang dengan dua sisi yang berbeda.

Penyanggah teori Putnam mengatakan, justru Amerika-lah tempat tumbuhnya
semangat charity (amal), volunteerism (kesukarelawanan), dan civic
involvement (keaktifan warga). Sisi negatif modal sosial di Italia adalah
berkembangnya praktik mafia (Sciarrone, 2002). Jaringan internal yang kuat
dan kemampuan dalam menjual security (perlindugan) adalah resep dasar
suksesnya kejahatan terorganisasi ini.

Modal sosial di Indonesia justru berkembang dalam sisi gelapnya. Contohnya
adalah dominasi praktik kolusi-nepotisme dan berbagai bentuk praktik mafia.
Indikasi nyata dari gejala ini adalah naiknya peringkat kebusukan praktik
korupsi. Akar praktik kolusi-nepotisme adalah kuatnya tradisi "anak babe"
(anak penguasa) yang selalu mendapat kemudahan berusaha karena jaringan
kekuasaan yang dibangun oleh orang tua mereka. "Anak babe" memperoleh secara
mudah tiga faktor Paldam tentang modal sosial karena status mereka.
Lancarnya transaksi sosial berarti penghematan besar dalam transaksi
ekonomi. Dengan modal sosial yang kuat, mereka tak mengeluarkan sepeser pun
untuk berusaha.

Benih praktik mafia tumbuh dari prinsip seperti "kita harus berbaik sangka"
atau "jangan makan tulang kawan". Prinsip yang bagus untuk membangun modal
sosial namun salah kaprah. Banyak yang tahu persis kapan seseorang mulai
memanipulasi jabatan. Karena sikap toleran tersebut, pelanggaran itu terus
berlangsung sehingga tercipta suatu kerja sama korupsi antarinstansi dan
lembaga. Praktik korupsi ala mafia ini begitu parah sehingga penggantian
seluruh pegawai negeri dan wakil rakyat sekaligus tidak akan mengatasi
masalah ini. Sebab, cara korupsi sudah sangat jelas terlihat semua orang
sehingga yang belum kebagian hanya menunggu waktu. Dalam era reformasi ini,
peran dominan birokrat agak tergeser oleh para wakil rakyat. Hal ini
menunjukkan betapa kuatnya modal sosial negatif tersebut sehingga mampu
menjalarkan pengetahuan korupsi dalam waktu singkat. Empat tahun sejak masa
pemilu pertama yang disebut-sebaut sebagai pemilu yang demokratis,
keterampilan korupsi telah merata.

Modal sosial negatif tumbuh subur karena kita asyik dengan teori pertumbuhan
ekonomi. Menurut Walter Isard (1997), kebijakan ekonomi tak akan efektif
tanpa memasukkan faktor sosial-budaya. Modal sosial positif, arisan dan
gotong royong, digunakan sebagai kosmetik kebijaksanaan pembangunan.
Padahal, modal sosial positif justru membuka peluang pembangunan ekonomi
(Kinsley, 1997). Karena itu, perlu pengamatan yang jeli untuk lebih
memperbaiki modal sosial yang salah kaprah.

Arisan dan gotong royong telah bergeser dari makna dasarnya. Semangat arisan
adalah untuk menjalin hubungan antaranggota sambil menggilir dana yang dapat
meringankan beban seorang anggotanya. Dalam arisan, kerap dihasilkan
kesepakatan bersama untuk melakukan sesuatu. Namun, tradisi arisan ini telah
"melenceng" menjadi sarana pamer kekayaan, bahkan muncul "arisan tender".
Begitu halnya gotong royong kebersihan kampung. Pada masa lalu, kegiatan ini
dilakukan spontan oleh masyarakat. Namun, terjadi perubahan karena dorongan
kompetisi dalam perlombaan kebersihan nasional atau gotong royong yang
dipaksakan kepala desa dalam rangka menyambut kunjungan pejabat tinggi.
Hasil akhirnya adalah kebersihan untuk perlombaan, bukan kebersihan untuk
kesehatan. Dalam contoh tersebut, terlihat bahwa faktor eksternal lebih kuat
dalam mendorong modal sosial. Misalnya, arisan yang berubah karena pola
hidup konsumtif dan kesemuan gotong royong akibat tekanan hubungan vertikal.

Ada juga modal sosial warga Indonesia di mancanegara, misalnya Permias
(Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika). Tujuan semula organisasi adalah
menciptakan wadah komunikasi antarmasyarakat Indonesia di AS. Manfaat ini
sangat terasa, terutama bagi orang yang baru pertama datang ke Negeri Paman
Sam.

Namun, dalam beberapa periode kepengurusannya, terlihat bahwa organisasi ini
didominasi oleh "anak babe" atau tokoh-tokoh yang ternyata sangat dekat
dengan pemerintahan Orba. Beberapa pengurusnya juga menggunakan organisasi
ini sebagai batu loncatan karir sepulangnya ke tanah air. Gonjang-ganjing
politik di tanah air membuat tingkat partisipasi anggotanya turun.

Contoh lain ialah organisasi semacam Isnet (Islamic Network) yang
mengandalkan silaturahmi melalui jalur internet. Jalinan komunikasi tersebut
menghasilkan kegiatan nyata di lapangan, antara lain, pengiriman buku dan
usaha ternak sapi. Namun, modal sosial ini menghadapi tantangan berat ketika
kampanye antiterorisme yang praktiknya mematikan organisasi terkait dengan
umat Islam.
* Y.Y. Alim, mahasiswa S-3, Regional Science, Department of City and
Regional Planning-Cornell University, USA.