[Nasional-m] Komnas HAM Bentuk Tim Advokasi Kerusuhan Mei

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 7 Nov 2002 00:05:39 +0100


Media Indonesia
 Kamis, 7 November 2002

Komnas HAM Bentuk Tim Advokasi Kerusuhan Mei

JAKARTA (Media): Komnas HAM segera membentuk tim advokasi kerusuhan Mei
1998. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan hal itu
kepada pers di Jakarta, kemarin.

Ia menjelaskan, kendati kasus itu sudah diselidiki oleh Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie dan telah menghasilkan
laporan lengkap, hingga kini tidak ada tindak lanjutnya.

"Menyikapi ketiadaan tindak lanjut laporan TGPF yang telah diserahkan kepada
pemerintah ketika itu, Komnas HAM memutuskan untuk membentuk tim pengajian
dan advokasi. Tim yang diketuai oleh Solahuddin Wahid ini, nantinya akan
mengaji hasil penyelidikan TGPF," katanya.

Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berupa tindakan kekerasan disertai aksi pembakaran
dan pemerkosaan, menurut TGPF yang dipimpin Marzuki Darusman, adalah tragedi
nasional yang sangat menyedihkan dan merupakan satu aib terhadap martabat
dan kehormatan manusia, bangsa, dan negara secara keseluruhan.

Berdasarkan Ringkasan Eksekutif laporan TGPF tertanggal 23 Oktober 1998,
disimpulkan sebab pokok peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah terjadinya
persilangan ganda antara dua proses pokok, yakni proses pergumulan elite
politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan
nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. Di dalam proses
pergumulan elite politik itu, ada pemeran-pemeran Makostrad tanggal 14 Mei
1998, patut diduga dapat mengungkap peranan pelaku dan pola pergumulan yang
menuju pada kerusuhan yang terjadi.

Disebutkan pula, peristiwa kerusuhan 14 Mei 1998 adalah puncak dari rentetan
kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti
penculikan yang sesunguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan
intelijen yang tidak dapat diawasi secara efektif dan peristiwa Trisakti.
Dapat disimpulkan bahwa peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti telah
menciptakan faktor martir yang telah menjadi pemicu (triggering factor)
kerusuhan.

Menurut Abdul Hakim, Komnas HAM membentuk tim --bukan KPP HAM-- untuk
menghindari multiinterpretasi UU 26/2000 tentang HAM. Ia menjelaskan, ada
interpretasi yang menyebut bahwa untuk kasus pelanggaran HAM yang retroaktif
harus ada rekomendasi dari DPR terlebih dulu yang mengusulkan kepada
Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Baru kemudian, tambahnya,
dilakukan penyelidikan.

"Penafsiran lain mengatakan, penyelidikan sudah bisa dilakukan sebelum
proses pengajuan rekomendasi dari DPR kepada Presiden untuk membentuk
pengadilan HAM ad hoc. Dan, karena Komnas HAM sudah punya pengalaman,
misalnya kasus Trisakti-Semanggi I dan II, yang dimulai dari Komnas dan
mendapat banyak hambatan, maka akan dilakukan pengajian terlebih dahulu,"
terangnya.

Sehingga, kata dia, jika ternyata hasil dari pengajian tim itu dianggap
sebagai penyidikan sudah memadai untuk sampai pada fakta-fakta pelanggaran
HAM berat, bisa langsung usulkan ke DPR dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Pada bagian lain, Abdul Hakim juga mendesak DPR untuk menolak pemberlakuan
Perpu Antiterorisme. Ia juga menyoroti defisit 40% anggaran Komnas HAM dari
dana yang disediakan pemerintah Rp3,4 miliar. Komnas HAM, kata dia, sudah
meminta anggaran tambahan tapi belum ada jawaban dari Presiden.

"Ini adalah institusi negara dan merupakan tanggung jawab pemerintah
Indonesia, kita tidak dapat meminta bantuan dari luar negeri untuk menutupi
biaya operasional kita," katanya.

Menurut dia, biaya operasional Komnas HAM meningkat untuk melakukan
pemantauan. Dulu, katanya, anggota Komnas HAM yang berada di luar daerah
hanya satu orang, sekarang meningkat menjadi tujuh orang.

Jika Presiden Megawati tidak juga memberikan jawaban yang jelas, kata dia,
berarti pemerintah dengan sengaja mempersulit kerja Komnas HAM dan akhirnya
dapat membunuh institusi ini. (RG/CR-21/CR-30/P-2)