[Nasional-m] Melihat Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 11 Nov 2002 22:21:35 +0100


Jawa Pos
Selasa, 12 Nov 2002

Melihat Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Meskipun para ulama di Aceh sudah bertekad melaksanakan syariat Islam mulai
Ramadan ini, praktiknya masih menghadapi banyak kendala. Akibatnya, hukum
cambuk bagi umat muslim yang tidak berpuasa pun belum bisa dilaksanakan.

Riznal - Banda Aceh

Seorang lelaki kurus menyendiri di sebuah sudut gudang tua. Dia duduk di
atas sebuah kursi butut. Dengan santai, dia menyedot rokok dalam-dalam dan
mengepulkan asapnya. Kelihatan nikmat sekali. Padahal, pada bulan puasa
seperti ini, tindakan dia itu bisa dikenai hukuman cambuk, hukuman yang
masih cukup menakutkan.

Tapi, lelaki tersebut tak peduli apakah pemerintah Aceh memberlakukan hukum
cambuk pada Ramadan ini atau tidak. "Siapa yang tahu kalau saya enggak
puasa," katanya enteng kepada Jawa Pos.

Menurut pengamatan Jawa Pos, masih banyak orang yang makan, minum, dan
merokok pada siang, meski itu dilakukan sembunyi-sembunyi. Entahlah, mereka
mengetahui atau tidak, pelaksanaan hukum Islam di Aceh masih sulit
dilaksanakan.

"Ini bukan perkara mudah. Sebagai pembuktian, harus ada saksi dan pengakuan
dari pelaku. Hukuman bagi pelaku diputuskan di Mahkamah Syariah," kata Ketua
Komisi A DPRD Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Said Muchsin.

Selain orang yang tidak berpuasa, ada sejumlah pelanggaran lain yang bisa
dikenai hukum cambuk. Misalnya, membuka warung pada siang di bulan Ramadan.
Juga, mereka yang menyediakan makanan, minuman, atau rokok yang dikonsumsi
pada siang.

Sesuai Bab VIII Ketentuan Pidana pasal 17 ayat (2) Qanun Bidang Aqidah,
Ibadah, dan Syiar Islam, perbuatan tersebut diancam dengan hukuman denda
sebanyak-banyaknya empat juta rupiah atau dipenjara selama-lamanya satu
tahun kurungan atau hukuman cambuk sebanyak-banyaknya lima kali.

Tak hanya itu. Pasal 17 ayat (2) menyebutkan, barang siapa tidak
melaksanakan salat Jumat tiga kali berturut-tururt tanpa uzur syar’i akan
diancam hukuman denda sebanyak-banyaknya dua juta rupiah atau dipenjara
paling lama enam bulan atau di hukum cambuk sebanyak-banyaknya enam kali.

Walau Qanun (Perda) tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah, Ibadah,
dan Syiar Islam telah disahkan DPRD Aceh, hukum tersebut tidak serta-merta
bisa diberlakukan. Sebab, untuk menerapkan aturan tersebut, mesti ada qanun
lain tentang tata cara pelaksanaannya. "Saat ini, baru ada qanun materiil.
Sedangkan qanun formalnya belum ada," kata Anggota DPRD Aceh Abdullah Saleh
SH.

Menurut dia, qanun materiil sama seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) dalam peradilan umum. Sedangkan, qanun formal sama dengan KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam Bab VI pasal 11 tentang pengawasan disebutkan, penyidikan terhadap
pelanggaran qanun dilakukan pejabat polisi NAD atau pejabat penyidik
pembantu yang diangkat. Sedangkan pada Bab VII pasal 15 disebutkan,
pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang terdapat dalam qanun itu
diperiksa dan diputuskan Mahkamah Syariah. "Itulah yang belum diatur," jelas
Saleh.

Karena itu, qanun tentang hukum cambuk tersebut sebenarnya belum bisa
diberlakukan. "Saya kira, masalah hukum cambuk itu baru bertahap
sosialisasi. Kita masih butuh waktu 1-2 tahun lagi untuk menyiapkan
perangkat aturan tentang pelaksanaan ketentuan syariat tersebut sebelum
benar-benar dapat diterapkan," katanya.

Ketua Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) Aceh Dr Muslim Ibrahim membenarkan
hal itu. "Sebenarnya, qanun mengenai hukum cambuk tersebut telah berlaku.
Tapi, penerapannya belum bisa dilaksanakan karena peraturan pelaksanaan
belum lengkap. Masih perlu dibuat hukum prosedur atau hukum acara,"
tegasnya.

Misalnya, soal pengadilan, Mahkamah Agung baru berencana meresmikan
perubahan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di Aceh menjadi
mahkamah syariah dan mahkamah tinggi syariah pada 17 Ramadan nanti.
"Mahkamah inilah yang nanti mengadili orang-orang yang melanggar syariat,"
katanya.