[Nasional-m] Tantangan Industri Pariwisata di Daerah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 11 Nov 2002 22:23:37 +0100


Jawa Pos
Selasa, 12 Nov 2002

Tantangan Industri Pariwisata di Daerah
Oleh Ponco Sutowo

Sejatinya, pariwisata sebagai industri jasa menjadi pendorong utama
perekonomian dunia. Karena itu, banyak negara berlomba-lomba menjadikan
negerinya sebagai objek yang kaya daya tarik kepariwisataan.

Pada sisi lain, muncul kecenderungan global, yakni semakin naiknya dinamika
perkembangan pariwisata. Bukan hanya atas panggilan primordial kemanusiaan
semata, seperti kecenderungan manusia untuk mengenal atau menyenangi yang
indah-indah, ingin senantiasa menjelajahi berbagai keunikan yang terdapat di
berbagai belahan dunia. Namun, juga didorong oleh munculnya kreativitas
untuk membuat sejarah baru yang dapat menyita pandangan para penikmat
perjalanan.

Kini hampir setiap bangsa ingin mengukir perjalanan hidup sejarahnya
sehingga memiliki khazanah yang bernilai tinggi. Khazanah ini kemudian
dipelihara, dikemas, dan dipromosikan sehingga dapat membangun citra
bangsanya, sekaligus menjadi produksi industri pariwisata.

Berbagai khazanah itu kemudian dikemas dan dipromosikan. Misalnya, khazanah
yang dipromosikan itu, antara lain, peninggalan sejarah lama, kemegahan
bangunan arsitektur kuno, tempat-tempat peribadatan, dan benda-benda
bersejarah yang terhimpun di berbagai museum. Selain itu, dipromosikan pula
keindahan alam, kekayaan habitat, dan berbagai kesenian, serta aneka adat
budaya.

Semua itu merupakan modal dasar yang memungkinkan para pelancong mendapatkan
pengetahuan dan memahami sebuah bangsa dengan khazanah kekayaan budaya serta
kemegahan masa lalu, baik dilihat dari peradaban yang dicapainya maupun
tradisi kehidupan kunonya.

Meski demikian, perlu rangkaian kegiatan yang harus ditempuh untuk
mengembangkan sektor pariwisata jika ingin memperoleh devisa. Rangkaian itu,
antara lain, tersedianya sarana dan prasarana. Misalnya, transportasi,
akomodasi, aksestabilitas, serta informasi dan daya dukung lain, seperti
kondisi yang tertib, damai, dan aman.

Di Era Otonomi

Di Indonesia, pariwisata merupakan penghasil devisa negara nomor tiga
setelah minyak dan tekstil -sebelum terjadinya peledakan bom di Legian,
Kuta, Bali, 12 Oktober lalu. Ini berarti industri jasa bidang pariwisata
memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi tulang punggung perekonomian
nasional di masa mendatang.

Terlebih lagi, bila hal itu dilihat dari situasi kekinian, kita boleh yakin
bahwa sektor pariwisata dapat menjadi salah satu solusi untuk keluar dari
krisis perekonomian yang menimpa Indonesia sejak pertengahan 1997.

Sadar mengenai potensi yang cukup besar serta sarana yang relatif tersedia,
perlu dicari terobosan baru. Dengan begitu, sektor pariwisata menjadi
pilihan semua pihak dan semua lapisan masyarakat, serta pemerintah agar
menjadi salah satu model pembangunan berkelanjutan.

Saat ini, impelementasi pembangunan nasional memasuki era baru. Sebelumnya,
pendekatan pembangunan bersifat top-down (dari atas) dan sentralistik. Kini
pendekatan itu berubah menjadi bersifat bottom-up (dari bawah) dengan
inisiatif berada di daerah melalui pemberian otonomi yang cukup luas.

Dengan pendekatan bottom-up tersebut, daerah diberi kesempatan yang luas
untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan
di daerah. Pendekatan ini dijamin oleh UU No 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Dengan otonomi daerah itu pula, daerah dapat merencanakan dan melaksanakan
pembangunan sektor pariwisatanya masing-masing yang dianggap potensial.

Toh, ini bukan berarti dengan otonomi daerah, segala sesuatu mengenai
pembangunan daerah akan berjalan tanpa kendala apa pun. Bagi daerah yang
tergolong kaya potensi dan sumber daya alam, dengan otonomi daerah, mereka
akan leluasa menggali sumber-sumber penghasilan lokalnya. Termasuk dalam hal
ini menggali sumber daya keuangan yang berasal dari sektor pariwisata.

Masalah akan terjadi jika ada daerah yang sangat miskin. Sumber daya alamnya
terbatas. Karena itu, potensi penghasilan daerah tersebut sangat terbatas.
Kecenderungan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan ketegangan sosial
antardaerah.

Karena itu, perlu dikembangkan sektor-sektor lain yang memungkinkan dapat
memberikan keseimbangan dan nilai tambah bagi daerah yang memiliki sumber
daya alam miskin. Dalam kaitan inilah, sektor pariwisata sangat memungkinkan
menjadi penyeimbang untuk daerah-daetah yang tergolong miskin.

Dalam rangka itu, selayaknya daerah yang relatif maju di sektor pariwisata
menarik daerah-daerah yang miskin untuk melakukan inventarisasi potensi
pariwisatanya. Misalnya, menginventarisasi pariwisata panorama alam, laut,
objek sejarah, dan atraksi kesenian yang berpeluang atau memungkinkan untuk
dikembangkan menjadi industri pariwisata.

Karena itu, geliat pembangunan daerah melalui otonomi daerah harus diiringi
dengan pendekatan pembangunan yang saling mengisi. Bukan sekadar
berlomba-lomba memajukan daerah, tetapi memicu ketegangan dengan daerah lain
yang masih terbelakang. Jika ini yang terjadi, betapa pun besarnya potensi
pariwisata daerah tidak akan berkembang. Mengapa? Sebab, beberapa syaratnya,
yakni kondisi yang tertib, damai, dan aman, tidak terpenuhi.
* Ponco Sutowo, ketua umum Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI)