[Nasional-m] Perempuan dan Tatanan Patriarki Global

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 24 Nov 2002 22:10:40 +0100


Suara Merdeka
Senin, 25 November 2002  Karangan Khas

Perempuan dan Tatanan Patriarki Global
Oleh: Triyono Lukmantoro

"KAUM perempuan sedunia, bersatulah!" Pernyataan ini, memang terkesan sangat
provokatif dan mustahil untuk dilakukan. Bahkan dapat saja statement itu
dianggap sekadar mengadaptasi serta menjiplak gagasan yang pernah
dikemukakan Marx, untuk menyatukan kekuatan buruh sedunia.

Landasan filosofis utama yang dapat dikemukakan untuk mempersatukan kaum
perempuan sedunia, berkaitan erat dengan peringatan Hari Internasional
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang jatuh setiap tanggal 25 November.

Apakah nilai urgensifnya untuk menyatukan kaum perempuan? Bukankah ini
merupakan sebuah "proyek" yang tidak mungkin dilakukan? Alasannya lebih pada
realitas yang memberikan deskripsi sosiologis dan kultural, kaum perempuan
itu sendiri bukanlah entitas yang tunggal.

Keberagaman identitas dan kepentingan yang terpecah-pecah inilah yang memang
sulit untuk menyatukan perempuan. Tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada
ruang serta alasan sedikit pun yang tersisa untuk menghimpun perempuan
secara internasional.

Kekuatan yang mampu mendorong perempuan untuk bersatu sangat mungkin
terlaksana jika ada persoalan atau isu sentral yang digulirkan. Bahkan lebih
ekstrem lagi kaum perempuan se-dunia dapat dihimpun dalam satu kekuatan yang
utuh apabila ada musuh bersama (common enemy) yang hendak diperangi.

Pertanyaan esensial selanjutnya, siapakah musuh yang dimaksud itu? Jawaban
tegas yang sesuai denan konteks historis dan sosiologis sekarang ini adalah
nilai-nilai kultural serta struktur patriarki global. Apa pun alasan yang
mendasarinya, akar yang menindas perempuan adalah patriarki. Di bawah sistem
patriarki, nasib perempuan tidak lebih sebagai sosok manusia yang sengaja
disubordinasikan dan dijadikan kekuatan yang sangat inferior.

Tidak Hanya Perempuan

Apa yang dimaksud dengan patriarki global ? Secara literal atau kebahasaan,
patriarki berarti rule of the father, aturan dari Sang Bapak. Dalam sistem
patriarki, laki-laki yang berusia lebih tua (atau "Sang Bapak" tadi)
menghendalikan kekuasaan secara absolut terhadap pihak lain. Pihak yang
dikuasai tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki yang lebih muda dan
berposisi secara subordinat karena tidak mempunyai ikatan keturunan (darah).
Konsep penguasaan laki-laki yang bersifat absolut ini merupakan prinsip
pengorganisasian universal.

Aturan main yang sengaja diterapkan dalam sistem patriarki adalah
memosisikan laki-laki yang dianggap lebih dewasa sebagai Sang Diri (the
self) yang memiliki otoritas kebenaran, sedangkan kaum perempuan dan pria
yang lebih muda merupakan profil yang ditempatkan sebagai Sang Lain (the
Other) yang harus tunduk dan patuh.

Relasi yang terjadi melibatkan kekuasaan serta ideologi yang berjalan secara
masif, misalnya laki-laki merupakan sosok yang powerful sedangkan perempuan
sengaja dibuat tidak berdaya (powerless). Hal ini memberikan implikasi
besar, patriarki memberikan hukum yang tetap bahwa laki-laki merupakan
subjek yang menentukan Sebenarnya, aturan permainan patriarki ini dapat
menjangkau hingga ke wilayah global. Apa bukti terbaik untuk dapat
memberikan identifikasi terhadap tatanan patriarki global (global patriarchy
order)?

Secara konkret tatanan ini diformulasikan dalam bentuk maupun isu perang
melawan terorisme dalam skala multinasional di bawah hegemoni AS. Jelas, di
sini AS sengaja mendefinisikan dirinya sebagai "Sang Bapak" yang dengan
dalih memberangus kaum teroris telah menerapkan praktik kekerasan dalam
skala global. Dunia internasional sengaja direkayasa seperti banyaknya
tatanan keluarga patriarkis, hanya saja karakteristik keanggotannya bukanlah
individu-individu yang bersifat personal melainkan negara-bangsa
(nation-state) yang berlingkup nasional.

Dalam tatanan patriarki global untuk menciptakan kepatuhan bukan dilakukan
dengan menerapkan pendisiplinan yang partisipatif dan suka rela, melainkan
dengan mekanisme kekerasan untuk menumpas kekerasan yang lain.

Memang untuk melancarkan program antiterorisme ini, AS secara sistematis
menciptakan institusionalisasi (pelembagaan) bahwa kekerasan yang
dilakukannya berdalih untuk menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia.

Di sini kekerasan yang sudah terlembaga itu dianggap benar dan tidak dapat
dibantah sedikit pun, karena memiliki legitimasi yang kuat. Model kekerasan
semacam inilah yang layak disebut sebagai kekerasan yang resmi dan memiliki
legitimasi . Sebaliknya, kalangan teroris yang juga menerapkan kekerasan
serupa tidak lebih bernilai sebagai pihak yang menjalankan perilaku brutal.
Ini disebabkan kekerasan yang mereka gunakan telah diberi label sebagai
tidak terlembaga sehingga tidak mempunyai keabsahan sedikit pun

Bagaimana tatanan patriarki global ini tidak dapat dibendung?

Apabila mengadopsi pemikiran yang dikemukakan sosiolog Charles Wright Mills
dalam bukunya yang berjudul The Power Elite (1956), hal ini tidak lepas dari
elite kekuasaan yang membentuk aliansi di antara kalangan pemimpin dalam
bidang politik, militer, serta industrial. Ketiga jenis kepemimpinan inilah
yang secara sistemik dalam tingkat global menciptakan tatanan yang
memperbolehkan dijalankannya berbagai praktik kekerasan.

Para pemimpin politik mengeluarkan kebijakan global yang mengandalkan
kekuasaan dengan kedok moralitas bernama ketertiban dunia . Pemimpin
industri sengaja menerima kebijakan itu untuk menyelamatkan serta
menyukseskan bergulirnya kapitalisme global yang tujuan akhirnya adalah
meraih keuntungan sebanyak mungkin .

Sedangkan kalangan pemimpin militer menyediakan diri sebagai pihak yang
bertugas menggempur siapa pun yang dianggap musuh melebihi kekerasan fisik

Masyarakat Massa

Hampir seluruh bagian penduduk dunia hanya dapat tercekam dan melakukan
perlawanan kecil-kecilan yang sama sekali tidak signifikan. Hal ini
disebabkan masyarakat global telah diubah dan dicetak sebagai masyarakat
massa yang mempunyai karakteristik, sebagaimana mengikuti gagasan Mills,
yaitu: Pertama, rasio (perbandingan) antara pihak yang memberikan opini
dengan pihak yang menerimanya.

Kedua, kenyataan pertama tadi memperlihatkan komunikasi massa merupakan
otoritas yang sengaja disentralisasikan dan terjadi pengendalian terhadap
distribusi informasi. Ketiga, otoritas yang terdapat dalam tatanan
patriarkis global itu juga mengontrol lembaga penentu kebijakan lain.
Keempat, puncak dari semua itu adalah kurangnya atau tidak adanya otonomi
yang dimiliki masyarakat global.

Tatanan patriarki global yang berimplikasi pada penciptaan masyarakat massa
yang tidak berdaya sama sekali itu, justru membawa korban paling banyak pada
kalangan perempuan. Selama ini gambaran dominan yang muncul terhadap sosok
yang dianggap teroris pastilah laki-laki. Tetapi, sebenarnya, realitas ini
juga membawa dampak yang menghancurkan eksistensi perempuan. Hal ini dengan
sejumlah alasan utama, yaitu:

Pertama, perempuan dalam rezim kekuasaan patriarkis yang bersifat lokal atau
partikular sengaja dijadikan "umpan" atau "tameng" untuk melindungi
kekerasan itu sendiri.

Kedua, lebih dari semua itu, pada sejumlah negara yang menerapkan hukum
Islam secara naif, diberlakukan purdah yang berarti praktik memisahkan
perempuan dengan cara menutupi tubuh mereka dari tatapan mata lelaki dan
secara virtual berarti juga menyingkirkan eksistensi perempuan itu sendiri.

Ketiga, dalam kondisi yang relatif normal, tubuh perempuan juga tetap tidak
memiliki kemerdekaan ketika dipekerjakan pada sejumlah industri yang
berlingkup global.

Yang harus disadari, perang melawan terorisme tidak lain merupakan formula
lain dari kolonialisme baru yang pada akhirnya juga menghabisi perempuan
dengan cara-cara kekerasan. Maka sudah saatnya kaum perempuan sedunia
bersatu dengan dua alasan, yaitu menenang praktik kekerasan serta membawa
dunia pada tatanan yang damai (peaceful world order).(18)


- Triyono Lukmantoro, staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip
Semarang, peserta Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi UGM
Yogyakarta.