[Nasional-m] Ekonomi dalam Lingkungan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 25 Nov 2002 22:55:53 +0100


Kompas
Selasa, 26 November 2002

Ekonomi dalam Lingkungan
Oleh Emil Salim

DALAM pertemuan baru-baru ini dengan Pengurus Kadin tentang hasil keputusan
"Pertemuan Kepala Pemerintahan tentang Pembangunan Berkelanjutan" di
Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002, Ketua Umum Kadin Indonesia Aburizal
Bakrie, mengusulkan agar di masa krisis ekonomi sekarang ini diutamakan
pembangunan ekonomi lebih dulu tanpa penanganan masalah lingkungan hidup.

Alasannya jelas, menanggapi masalah lingkungan makan ongkos. Dalam keadaan
sekarang ini sekadar mempertahankan hidup perusahaan saja sudah menguras
segala dana, daya, dan tenaga perusahaan. Apalagi jika ditambah untuk biaya
lingkungan. Lagipula bukankah negara industri tadinya membangun ekonomi juga
tanpa pertimbangan lingkungan, dan baru kemudian menggarapnya setelah
industri sudah maju?

Maka yang ingin diusulkan Ketua Umum Kadin Indonesia adalah pendekatan pola
"ekonomi dulu, lingkungan kemudian."

Sementara ini, rekan-rekan di lembaga swadaya masyarakat cemas menyaksikan
kemerosotan lingkungan. Pembangunan yang dilaksanakan di kebanyakan negara
berkembang sudah membahayakan daya dukung alam guna menopang kehidupan
manusia. Di Indonesia saja, luas areal hutan sudah amat menciut.
Dikhawatirkan lima tahun lagi hutan dataran rendah Pulau Sumatera akan
gundul, dan sepuluh tahun lagi nasib sama berlaku untuk Pulau Kalimantan.
Kondisi sungai-sungai Pulau Jawa sudah tercemar berat. Lautan di Indonesia
bagian barat sudah terkuras ikannya melebihi kemampuan perkembang-biakannya,
sehingga jumlah stok ikan di laut menciut. Pencemaran udara, terutama di
kota-kota, sudah amat memprihatinkan dan berdampak luas pada naiknya korban
akibat infeksi saluran pernapasan. Dan kerusakan lingkungan Indonesia
berdampak global. Tahun 1997 kebakaran hutan Indonesia dan pembakaran tanah
gambut telah melepaskan ke atmosfir 2,6 milyar ton karbon, sehingga
menaikkan laju pertambahan CO2 dengan dua kali di angkasa bumi. Kebakaran
hutan ini seakan tak terkendali lagi, dan berlaku setiap tahun hingga kini.
Juga mencemaskan adalah penyedotan air tanah melebihi kemampuan alam untuk
mengisinya kembali sehingga volume air dalam tanah kian berkurang.

Dalam keadaan seperti ini bisa dipahami bila lembaga swadaya masyarakat di
lingkungan gelisah-resah, mengepalkan tinju dan berseru: "selamatkan
lingkungan dulu, baru ekonomi!"


***
KITA perlukan kedua alur pikiran ini untuk bertumburan. Orang bijak berkata
"dalam perbenturan pikiran itulah lahir kebenaran-kebenaran baru." Dan
kebenaran baru yang harus dikembangkan kini bukan "ekonomi dulu baru
lingkungan" tidak pula "lingkungan dulu baru ekonomi" tetapi memadukan
"ekonomi dalam lingkungan" dan memasukkan perpaduan ini dalam arus tengah
pembangunan.

Semula, dalam setiap model pembangunan, "ekonomi" merupakan suatu sistem
dengan "lingkungan" sebagai subsistemnya. Yang dominan menentukan adalah
"kepentingan ekonomi." Akibatnya, kepentingan lingkungan diletakkan di bawah
kepentingan ekonomi. Bendera ekonomi berkibar di atas wilayah lingkungan.
Ini berarti, kepentingan ekonomi dapat menyingkirkan pertimbangan
lingkungan. Jika suatu proyek memberi manfaat lebih besar dari biaya
ekonomi, maka proyek itu layak dibangun. Bila dalam proses pembangunan
terjadi kerusakan lingkungan, maka itu adalah "biaya" yang harus dibayar
masyarakat untuk pembangunan.

Namun, mengutamakan alur ekonomi seperti ini tidak menjamin keberlanjutan
pembangunan. Menciutnya hutan, tidak bisa menghasilkan bahan bagi industri
kayu. Ikan yang terkuras habis membangkrutkan perusahaan perikanan. Sungai
yang tercemar mematikan tanaman beririgasi. Pantai laut yang tercemar
mematikan industri pariwisata. Ringkasnya, lingkungan yang rusak mematikan
pembangunan ekonomi.

Ekonomi hanya bisa tumbuh jika didukung ekosistem lingkungan sebagai sistem
penopang kehidupan yang berfungsi sebagai jaringan kehidupan. Dalam jaringan
kehidupan ini "semua bergantung pada semua." Udara bersih yang kita hirup
bergantung pada kehadiran tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon berzat hijau daun
yang mampu menyerap karbon dan melepaskan zat udara bersih. Hutan dan
tumbuh-tumbuhan bisa tumbuh berkembang jika ada curahan hujan yang berasal
dari penguapan air laut yang ditiup angin ke tanah daratan. Tanah daratan
terdiri dari lapisan lahan yang mampu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang
nantinya gugur membentuk lapisan lahan baru. Tumbuh-tumbuhan dimakan hewan
yang mengeluarkan kotoran dan menjadi penyubur tanaman. Udara, air, tanah,
tumbuh-tumbuhan dan hewan saling kait-mengait dalam mata rantai ekosistem
yang hidup dan menghidupi. Inilah sebabnya mengapa kita menyebutnya:
lingkungan hidup.

Dalam sistem kehidupan lingkungan inilah dikembangkan ekonomi sebagai
subsistem. Jadi, pembangunan ekonomi perlu memperhitungkan kendala sistem
kehidupan lingkungan ini, supaya tidak sampai mematikan kehidupan itu
sendiri.

Yang kini diperlukan adalah menempatkan pembangunan ekonomi di dalam
lingkungan sehingga pengolahan sumber daya alam perlu memperhatikan cirinya
dalam lingkungan. Sumber daya alam yang bisa diperbaharui, dikelola di bawah
ambang batas pembaharuan-dirinya. Ini berarti penangkapan hewan dan ikan
perlu mengindahkan ambang batas pembiakan dirinya. Tumbuh-tumbuhan
dimanfaatkan dengan memperhatikan ambang batas tingkat regenerasinya. Dengan
begitu hasil dapat dipetik namun "modal alam" tidak musnah.

Bagi sumber daya alam yang tidak diperbaharukan, seperti minyak energi dan
bahan tambang, penggunaannya harus efisien. Karena pemanfaatannya kini
mengurangi persediaannya untuk generasi masa depan. Maka, sudah selayaknya
sumber daya alam tidak diperbaharukan ini tidak memperoleh subsidi.
Penggunaannya secara hemat pada harga yang layak perlu disertai usaha daur
ulang agar sumber daya alam tak terbaharukan ini bisa dimanfaatkan secara
berlanjut.

Berkat hukum thermodinamika, pemanfaatan sumber daya alam diikuti pelepasan
limbah cair, gas, atau padat. Dengan begitu, pemanfaatan sumber daya alam
harus dilaksanakan dengan teknologi bersih lingkungan. Secara khusus harus
dihindari jenis limbah yang beracun dan berbahaya bagi perikehidupan makhluk
hidup.

Berdasarkan anggapan ekonomi adalah subsistem dari lingkungan, perlu
dikembangkan pola pembangunan baru yang kini dikenal dengan pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development. Proses pembangunan ekonomi bisa
berlanjut bila dijaga agar ekosistem bisa berfungsi secara berkelanjutan.

Secara praktis, ini memerlukan perubahan dalam cara membangun. Yakni dari
cara produksi konvensional menjadi cara produksi dengan menggunakan sumber
daya alam semakin sedikit, membakar energi semakin rendah, menggunakan
ruang-tempat/ space lebih kecil, membuang limbah dan sampah lebih sedikit
dengan hasil produk yang setelah dikonsumsi masih bisa didaur ulang.

Pola produksi ini dilaksanakan dalam ruang lingkup dunia usaha yang
merangsang diterapkannya secara lebih meluas ISO-9000 untuk peningkatan
kualitas produksi dan ISO-14000 untuk peningkatan pola produksi berwawasan
lingkungan, membangun pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan
sasaran "keselamatan kerja, kesehatan, dan lingkungan" yang maksimal dan
pola produksi dengan "limbah-nol" (zero waste), mendorong penjualan dengan
pengepakan barang secara minimal dan bisa dikembalikan untuk didaur-ulang
kepada penjual, merangsang perusahaan asuransi mengembangkan "risiko
lingkungan" dan mendorong Bursa Jakarta mengembangkan semacam "Dow Jones
Sustainable Development Index.".

Langkah-langkah ini memerlukan ditegakkannya kode etika "tanggung jawab dan
akuntabilitas korporasi" (corporate responsibility and accountability) yang
diawasi ketat oleh asosiasi-asosiasi perusahaan dan masyarakat umum.

Juga diperlukan segera adalah kebijakan dan rangsangan pemerintah yang
secara pro-aktif menjabarkan hasil pertemuan puncak Johannesburg yang sudah
memuat berbagai langkah-tindak ini dalam rencana aksi untuk dituangkan dalam
Rancangan APBN 2003 nanti.

EMIL SALIM Mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup