[Nasional-m] Krisis Demokrasi Perwakilan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Oct 1 10:24:02 2002


Suara Merdeka
 Selasa, 1 Oktober 2002 Karangan Khas

Krisis Demokrasi Perwakilan
Oleh: Teguh Yuwono

LEMBAGA perwakilan kita nampaknya mengarah kepada perkembangan yang tidak
menggembirakan. Terbukti sepanjang sejarah reformasi dimulai, sikap,
perilaku, dan pola tindak anggota-anggota lembaga perwakilan baik di pusat
maupun daerah semakin jauh dari sikap, perilaku, dan pola tindak rakyat yang
semestinya diwakilinya.
Hal ini merupakan imbas dari kualitas partai politik yang memang masih
sangat jauh dari yang diharapkan (Magnis Suseno; Owen Podger 2002). Di
berbagai daerah, DPRD ternyata lebih konsen untuk mengurus kepentingannya
sendiri ketimbang kepentingan rakyat.
Sudah berkali-kali diingatkan oleh para ahli politik (seperti David
Robertson, James Buchanan, Gordon Tullock dan sebagainya), politisi
sebenarnya tidak sekadar self interest maximizers. Artinya kepentingan
rakyat akan menjadi pertimbangan kedua, ketiga, atau selanjutnya di bawah
pertimbangan pertama, yaitu kepentingan pribadi.
Aroma menyengat money politics dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di
sebagian besar daerah salah satu indikasi hal ini. Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta menunjukkan realitas krisis demokrasi perwakilan di daerah.
Tulisan ini bermaksud memberikan analisis yang lebih luas mengenai lembaga
perwakilan sebagai self warning (peringatan melekat) menjalankan tugas mulia
sebagai wakil rakyat.
Wakil Rakyat ?
Reformasi 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto merupakan kesempatan berharga
untuk menata kembali politik pemerintahan menuju kehidupan demokratis.
Kenyataannya justru terbalik sebagaimana yang disinyalemen oleh
Robertson-Snape. Ia mengemukakan, transisi menuju demokrasi di Indonesia
yang dimulai dengan momentum reformasi 1998 tidak berkorelasi positif dengan
penciptaan good governance dan pemberantasan penyelewengan kekuasaan.
Kecenderungan yang terjadi sekarang ini, penyelewengan kekuasaan malah
merajalela dan menyebar ke berbagai relung kehidupan di pusat dan dae rah.
Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan KKN nampaknya masih setengah
hati. Bahkan dalam konteks internasional, Indonesia cukup sering menjadi
bahan olok-olok sebagai sarang dan negara paling korup di dunia.
Kredibilitas internasional sudah sangat rendah tentang Indonesia. Kewibawaan
nama Indonesia jauh menurun, diperparah dengan survei terbaru tentang
kondisi impotensi penegakan hukum terhadap kasus-kasus KKN yang akut dan
parah.
Dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia masih termasuk kategori
paling bobrok.
Semenjak penerapan otonomi daerah diberlakukan, penyelewengan kekuasaan yang
dilakukan oleh elite politik lokal, keparahannya mencengangkan. (Hermawan
Sulistyo, 2002). Kekhawatiran bahwa efek samping pelaksanaan otonomi daerah
akan menyebarkan "virus" penyelewengan kekuasaan semakin banyak bukti.
Self Interest Maximizers
Melihat berbagai kasus yang terjadi khususnya di daerah yang penulis intens
melakukan observasi dan penelitian menunjukkan, kecenderungan penyelewengan
kekuasaan semakin meluas dan sulit dikontrol.
Tabel berikut menunjukkan, bagaimana penyelewengan kekuasaan dikemas dalam
bentuk formalitas hukum yang sulit ditembus pemberantasannya, karena secara
formal memang memungkinkan. Inilah salah satu kelemahan dasar pemberantasan
penyelewengan kekuasaan di Indonesia.
Pooling yang dilakukan oleh koran terbesar Jawa Tengah, Suara Merdeka juga
menunjukkan kecenderungan krisis kepercayaan terhadap lembaga perwakilan.
Krisis ini salah satu sebab dasarnya adalah tidak adanya komitmen anggota
perwakilan untuk mewujudkan komitmen terhadap pembangunan dan pelayanan
publik.
Mereka lebih enjoy dan cenderung menumpuk kekayaan untuk kepentingan mereka
pribadi (apa yang disebut oleh ahli public choice sebagai maximinng self
interests) ketimbang kepentingan umum atau orang banyak.
Pada tingkat daerah yang seperti di atas juga merupakan imbas yang tidak
langsung terhadap apa yang terjadi di tingkat nasional. Berbagai peristiwa
"penyelewengan kekuasaan politik" yang dilakukan oleh lembaga perwakilan
melalui berbagai upaya peningkatan kualitas hidup yang mewah kepada mereka
mengakibatkan lunturnya kepercayaan publik kepada para pihak yang mengaku
wakil rakyat.
Media cetak Kompas melalui telepoling yang dilakukan secara berseri
menunjukkan kecenderungan hasil yang sama bahwa DPR tidak mewakili
kepentingan publik (sekitar 80% responden menyatakan mewakili kepentingan
pribadi & partai). Dengan demikian semakin beratlah tugas para penegak hukum
di negeri ini untuk memberantas berbagai macam penyelewengan kekuasaan.
Poin dasar yang ingin digarisbawahi dalam bagian ini adalah kecenderungan
penyelewengan kekuasaan, apa pun bentuknya, menjadi menyebar dan menggejala
di hampir sebagian besar daerah di Indonesia.
Hal ini tidak saja menyangkut semakin beratnya penegakan hukum di Indonesia,
tetapi juga semakin jauhnya perbaikan nasib sebagian besar rakyat oleh
karena semakin jauhnya perbaikan dan pembangunan publik yang berpihak kepada
mereka. Atas dasar inilah berbagai alternatif solusi harus terus
dikembangkan dan diwacanakan dalam rangka pemberantasan penyelewengan
kekuasaan, kolusi dan nepotisme tersebut.
Hal-hal di atas pada prinsipnya menunjukan pada era sekarang ini telah
terjadi krisis demokrasi perwakilan yang serius dalam praktik politik di
Indonesia. Krisis yang ditandai dengan semakin tidak dipercayanya anggota
lembaga perwakilan oleh rakyat pemilihnya, komitmen wakil kepada rakyat yang
kecil serta semakin besar kecenderungan untuk abuse of power (baik melalui
kebijakan publik yang tidak merakyat serta kecenderungan self interest
maximizing
Krisis demokrasi perwakilan ini akan terus berlanjut jika tidak segera
dilakukan antisipasi kebijakan untuk membatasinya.
Solusi pemilihan langsung dalam memilih Kepala Pemerintahan (eksekutif)
seperti pada Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan salah satu
dari sekian banyak metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis
demokrasi perwakilan. Khusus untuk pemilihan langsung kepala daerah masih
menjadi obsesi semata oleh karena belum adanya kebijakan tertulis yang jelas
merujuk pada mekanisme pemilihan langsung ini.
Namun demikian, kalau komitmen good governance berada pada prioritas utama,
kesadaran meletakan demokrasi rakyat di atas demokrasi perwakilan bukanlah
hal yang mustahil. Menyadari potret buram demokrasi perwakilan kita maka
Pemilu 2004 adalah ujian yang paling berat bagi para partai politik dan
calon-calon "wakil rakyat" kita. (18)
-Drs Teguh Yuwono, M Pol.Admin, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Undip
Semarang; Alumnus Flinders University, Australia & Anggota Asian Networking
for Public Policy Studies.
Fenomena Abuse of Power Elite Politik Daerah
(Kasus Jawa Tengah)
No Fenomena Abuse of PowerAktor Yang Diuntungkan
1 Kunjungan Kerja Ke Luar Negeri Eksekutif & Legislatif Daerah
2 Dana Mobilitas masing-masing @ Rp 95 juta DPRD
3 Bantuan Rumah Ibadah Tetapi Tidak Sampai Pada SasaranOknum Anggota DPRD
4 Kasus Pengadaan Mobil dinas Honda CRV @ Rp 300 juta (47 buah)Anggota DPRD
5 Kasus Mobil Suzuki Escudo @ Rp 187 juta (22 buah)Anggota DPRD
6 Kasus Jembatan Wedarikjaksa, Pati Melibatkan Oknum DPRD
7 Dana Purnabakti @ Rp 100 juta (untuk 100 anggota) = Rp 10 miliarAnggota
DPRD
8 Dana Jambore Nasional Elit Politik Daerah
Sumber: Semarang Corruption Collution and Nepotism Watch (SCCNW) & Suara
Merdeka, 10 Agustus 2002