[Nasional-m] Kuota Perempuan dalam UU Politik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 9 Oct 2002 22:36:54 +0200


Suara Merdeka
Kamis, 10 Oktober 2002 Karangan Khas

Kuota Perempuan dalam UU Politik
Oleh: Ida Budhiati

DITINJAU dari sisi yuridis, kesetaraan laki-laki dan perempuan, baik di muka
hukum maupun pemerintahan, memang dijamin UUD 45. Namun realitasnya hingga
kini kesetaraan itu tidak pernah tercapai. Kebijakan politik Orde Baru
justru meminggirkan perempuan dari posisi-posisi politik yang strategis
dalam pengambilan keputusan. Akibatnya sebagian besar produk kebijakan
sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Berikut beberapa persoalan hukum, sosial dan budaya yang mempengaruhi
representasi perempuan di dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan. Di
dalam masyarakat kita, laki-laki ditempatkan sebagai figur sentral. Dengan
demikian laki-laki mendapat kesempatan luas berkiprah di wilayah pu blik.
Sedangkan perempuan yang berpredikat sebagai ibu rumah tangga cukup
beraktivitas di wilayah domestik.
Pembagian peran tersebut dilegitimasi oleh negara melalui Pasal 31 dan 34 UU
Perkawinan. Di samping melakukan pembagian peran laki-laki dan perempuan, UU
Perkawinan Nomor 1/1974 juga membakukan struktur keluarga yang terdiri atas
kepala keluarga dan anggota keluarga. Struktur ini membawa akibat pada
tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda. Dalam keluarga, ibu
mempunyai tugas mengasuh anak dan lain-lain.
Pencitraan ibu rumah tangga yang baik dan tidak baik membawa persoalan
tersendiri bagi para ibu yang melakukan pekerjaan di luar rumah.
Di samping melakukan pekerjaan di luar rumah sebagai perempuan karier, juga
masih dituntut melakukan pekerjaan domestiknya. Tolok ukur untuk menyandang
citra ibu rumah tangga yang baik ditentukan pada beberapa hal, seperti
apakah ia memasak untuk anak dan suaminya. Apakah ia membersihkan rumah dan
mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Berbeda dari suami (laki-laki). Dia mempunyai kekuasaan penuh dan kedudukan
lebih tinggi dari anggota keluarga lainnya. Seorang suami yang merasa
berkuasa akan memukul anak dan istrinya apabila mereka tidak mau menuruti
perintah.
Sangat Minim
Hubungan yang tidak setara dalam rumah tangga juga mengakibatkan
ketidaksetaraan hak dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga. Jika
sudah demikian, persoalan yang berkaitan dengan kepentingan dan usulan
pemikiran ibu rumah tangga menjadi terabaikan, misalnya dalam hal pendidikan
anak-anak dan perencanaan keluarga.
Di dalam masyarakat, kepala keluarga diberi hak istimewa. Rapat-rapat
lingkungan dan pemilihan RT dan RW hanya dihadiri kepala keluarga. Hal ini
mengakibatkan segala urusan yang berkaitan dengan lingkungan diputuskan
tanpa adanya usulan dari ibu rumah tangga. Padahal segala persoalan yang
mereka putuskan itu sangat berkaitan dengan kepentingan ibu rumah tangga.
Realitas terebut menunjukkan sejak awal posisi perempuan di dalam proses
pengambilan keputusan memang telah dipinggirkan. Akibatnya berbagai produk
kebijakan tidak cukup mengakomodasi kepentingan perempuan. Kondisi demikian
menimbulkan dampak lebih luas, yakni keterwakilan perempuan dalam
lembaga-lembaga pengambil keputusan. Representasi perempuan di lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih sangat minim. Analisa data
keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD menunjukkan jumlah perempuan yang
menduduki posisi anggota legislatif di DPR Pusat 8,8%, DPRD I 7%, DPRD II
2%.
Apabila ditampilkan dalam gambar, persentase ini berbentuk piramida terbalik
yang artinya semakin rendah tingkat lembaga perwakilan akan semakin kecil
pula persentase keterwakilan perempuan. Padahal lembaga perwakilan di
tingkat terendah paling dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat
menyelesaikan persoalan melalui penyusunan peraturan daerah dan
pengalokasian dana pembangunan.
Solusi yang diusulkan organisasi perempuan dan beberapa partai politik untuk
mengatasi keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan
adalah menetapkan kuota bagi perempuan. Tindakan khusus bersifat sementara
merupakan tindakan strategis yang harus diambil untuk mempercepat
peningkatan representasi perempuan dalam bidang politik.
Pencantuman ketentuan jaminan keterwakilan perempuan telah memiliki dasar
konstitusional yang kuat. Ketentuan Pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan
setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan sama dalam mencapai persamaan dan keadilan.
UU No 39/ 1999 dan UU No 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga mengakui pentingnya
jaminan keterwakilan perempuan. Secara eksplisit Pasal 46 UU No 39/1999
menyatakan "sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan
legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus
menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan."
Kemudian Pasal 4 ayat I Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan yang diratisikasi melalui UU No 7/1984 memberi kewajiban
kepada negara membuat peraturan khusus guna mempercepat persamaan de facto
antara laki-laki dan perempuan. Peraturan ini akan diberhentikan apabila
tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
Saat ini legislatif sedang membahas paket UU Politik guna mendorong
terwujudnya peningkatan representasi perempuan di bidang politik, badan
legislatif seharusnya merumuskan klausul jaminan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% di lembaga perwakilan (DPR, DPRD dan DPD) dalam UU
Pemilu. Jika dalam RUU Pemilu disebutkan DPD diwakili empat orang, maka
sekurang-kurangnya satu di antaranya harus perempuan. Di samping itu UU
Parpol harus mewajibkan sekurang-kurangnya 30% perempuan kader partai duduk
di kepengurusan partai. Hal demikian dapat mendorong partai menciptakan
kader kepemimpinan perempuan.
Masih Jauh
Harapan kaum perempuan terhadap cita-cita terwujudnya persamaan di bidang
politik masih jauh dari kenyataan. Dikabarkan beberapa fraksi (FPG, FKB dan
Fraksi Reformasi) yang membahas RUU Politik dan tergabung dalam rapat kerja
Pansus DPR RI mengusulkan agar rekruitmen politik dalam pengisian jabatan
politik memperhatikan kesetaraan gender minimal 30% bagi perempuan. Namun
usulan ini ditolak pemerintah. Realitas demikian menunjukkan kerja advokasi
kebijakan nasional yang dapat mendorong peningkatan representasi perempuan
di bidang politik masih membutuhkan perjalanan panjang. Untuk itu perjuangan
peningkatan representasi perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan
hendaknya tidak hanya terfokus pada kerja advokasi kebijakan nasional saja.
Di tingkat daerah, peranan perempuan di dalam proses pengambilan keputusan
dapat diperjuangkan melalui perda yang mengatur tentang Badan Perwakilan
Desa (BPD). Ketentuan Pasal 3 dan 4 Keppres Nomor 49/2001 tentang Penataan
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa memberikan peluang kepada masyarakat luas
(laki-laki dan perempuan) untuk terlibat dalam proses pembentukan organisasi
tingkat desa/kelurahan. Berdasarkan ketentuan ini pemerintah daerah
seharusnya merumuskan klausul jaminan representasi perempuan dalam
organisasi tingkat desa/kelurahan. Klausul ini perlu dicantumkan karena
situasi dan kondisi belum memungkinkan berkompetisi. Di dalam masyarakat
rapat-rapat lingkungan hanya dihadiri laki-laki. Guna mendorong keterwakilan
perempuan dalam organisasi tingkat desa/kelurahan maka di dalam perda yang
mengatur tentang BPD perlu disebutkan jika kepengurusan BPD berjumlah 12
orang, sekurang-kurangnya 4 orang harus perempuan.
Di samping mendesakkan diberlakukannya kuota perempuan, upaya lain yang
harus dilakukan dalam memperjuangkan peran perempuan adalah merubah konsep
kepemimpinan dalam keluarga. Karena hanya dengan demikian perempuan dapat
memiliki akses di setiap proses pengambilan keputusan baik dalam lingkup
keluarga maupun lembaga pengambilan keputusan. Jika tidak ada jaminan
terhadap peningkatan representasi perempuan di bidang politik, jangan pernah
berharap negara ini akan menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan.
Tiada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan.(33)
-Ida Budhiati, praktisi hukum di Law Offices Ida, Hadi & Partners dan
pengurus Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi Cabang
Semarang