[Nasional-m] Momen Penting Banting Setir

munindo nasional-m@polarhome.com
Sun, 20 Oct 2002 03:20:40 +0200


Rabu, 16 Okt 2002

Momen Penting Banting Setir

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

SAYA baru saja selesai menyampaikan ceramah mengenai Isu-Isu Kontemporer
Islam di Indonesia di STSI  (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar ketika
ledakan di samping Konsulat AS di Renon itu terjadi sekitar pukul sebelas malam
Minggu, 12 Oktober 2002 (Saya belum tahu ada ledakan besar di Kuta). Begitu
suara ledakan itu terdengar, saya langsung teriak, "Ini bom!" sementara
teman-teman lain belum percaya dan tersenyum saja. Mungkin mereka masih
beranggapan bahwa Bali adalah "surga" turisme yang paling aman di Indonesia dan
tak akan tersentuh oleh "tentakel" kekerasan yang sudah merambah lebih dahulu
daerah-daerah yang lain.

Esok harinya, di Kantor Majalah Latitude (majalah berbahasa Inggris yang
dirintis oleh Degung Santikarma dan menurut saya bagus sekali; nomor terakhir
majalah itu menurunkan sebuah liputan yang bagus tentang Pesantren Ngruki asuhan
Abubakar Ba'asyir berjudul School of Jihad), seharian saya menonton kanal lokal,
TV Bali, menyaksikan puluhan jenazah diangkat dari reruntuhan bangunan dalam
latar musik Peter Gabriel yang menyayat.

Sambil menyaksikan "tontotan" yang sarat duka dan kesedihan itu, saya hanya
meneriakkan satu kata yang saya ulang-ulang, "Kejam!" Sementara saya
menghentikan pikiran saya. Saya sengaja menghindar untuk menganalisis kenapa
peristiwa itu terjadi dan kenapa mesti di Bali, "surga" turisme yang menjadi
andalan satu-satunya dunia turisme Indonesia yang sudah nyaris sekarat. Saya
ikuti peristiwa itu dengan perasaan yang mendalam, dengan kesedihan yang
menusuk-nusuk.

Sore harinya, saya berangkat ke Bandara Ngurah Rai untuk kembali ke Jakarta.
Saya sudah siap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan: penundaan pesawat,
proses pengecekan keamanan yang akan berbelit-belit dan lama, serta antrean
orang-orang yang buru-buru meninggalkan "Pulau Dewata" itu. Ternyata perkiraan
itu keliru. Wajah orang-orang di bandara tidak memperlihatkan kesedihan atau
panik, sementara petugas bandara juga tidak tampak "on alert". Yang agak
mengagetkan adalah di bandara itu tidak terlihat tanda bahwa Provinsi Bali
benar-bendar sedang dirundung musibah. Saya berharap, ada semacam spanduk,
poster, bendera, atau tanda-tanda lain yang memperlihatkan bahwa suatu tragedi
sedang terjadi dan "kita" layak untuk berduka bersama-sama. Sore, 12 Oktober, di
Bandara Ngurah Rai itu, saya merasakan bahwa tak ada sesuatu yang berubah,
seolah-olah keadaannya seperti mau membiarkan "kafilah berlalu" saja atau
tepatnya businness as usual.

Saya meninggalkan Bali dengan kesedihan yang mendalam.
Sejumlah hal berkecamuk dalam pikiran saya. Pertama yang membayang:
tragedi ini pasti akan membuat prospek pemulihan ekonomi kita yang sudah
berjalan seperti siput ini akan makin "menyiput". Kejadian ini juga akan
menempatkan umat Islam dalam kedudukan yang makin terpojok lagi.

Sejak dari menit pertama, insting saya sudah menuntun bahwa arah pengeboman ini
dalam kerangka "protes" terhadap kebijakan-kebijakan Amerika yang terlalu
unilateral atas Iraq. Jika serangan itu benar-benar terjadi, saya sudah
membayangkan bahwa chain of violence akan makin panjang lagi. Saya membayangkan,
jika kekerasan seperti ini menerjang kembali Jakarta, apa yang akan terjadi.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, pikiran saya dipenuhi oleh
gambaran-gambaran apokaliptik yang agak mengerikan. Saya megira-ngira, jika
pemerintah tidak tegas dan firm dalam satu kasus ini, rangkaian kekerasan serupa
akan sangat mungkin terjadi di tempat-tempat lain. Jika pemerintah tak becus
mengatasi keadaan ini, sebuah sinyal telah dikirimkan ke masyarakat bahwa begitu
buruknya sistem pengamanan di negeri kita ini sehingga setiap orang dengan mudah
bisa berbuat hal-hal yang mengancam keamanan umum tanpa harus khawatir diborgol
dan diadili.

Senin pagi saya dikejutkan komentar Abubakar Ba'asyir dan beberapa tokoh agama
di Solo yang dimuat oleh beberapa media ibu kota. Komentar itu kira-kira mau
mengatakan, ledakan ini adalah upaya AS untuk mengesahkan tuduhan selama ini
bahwa Indonesia benar-benar merupakan sarang terorisme. Dengan demikian, AS
mempunyai alasan untuk campur tangan di negeri kita. Komentar ini merupakan
sesuatu yang "janggal" di tengah-tengah chorus kesedihan dan kutukan yang
dikemukakan semua pihak dan tokoh-tokoh masyarakat atas ledakan itu. (Ponpes Al
Mukmin yang dipimpin Ba'asyir dan ponpes yang lain di Solo juga mengecam
peledakan di Bali itu, Red). Saya baru sadar bahwa pandangan semacam itu juga
meluas di beberapa kalangan masyarakat. Bukan saja di kalangan masyarakat awam,
tetapi juga kalangan terdidik.

Selama ini orang seperti Abubakar Ba'asyir menyatakan bahwa tuduhan AS terhadap
Al Qaidah sebagai pelaku serangan atas WTC tidak didukung oleh bukti yang
memadai. Menurut saya, hal yang sama juga dilakukan Ba'asyir dan kawan-kawan:
menuduh tanpa bukti kepada AS merekayasa ledakan di Bali.

Ledakan di Bali itu seharusnya menjadi "wake up call", bel yang membangunkan
kita yang selama ini bersikap "burung unta" bahwa potensi terorisme itu tak ada
di Indonesia. Sikap menolak kenyataan semacam itu (saya menyebutnya self
-denial) akan menjadi "selimut" yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok yang
selama ini memang mengesahkan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan
politiknya.

Bagaimanapun, kita perlu memberikan dorongan dan vote of confidence kepada
pemerintah untuk menegakkan keamanan sehingga menjaga proses transisi menuju
demokrasi tidak dibajak oleh "anarki". Ledakan di Bali itu, bagi saya, merupakan
bab baru yang tak main-main dalam proses penyelenggaraan negara kita ini. Jika
sikap yang berkembang dalam masyarakat dan pemerintah adalah sedemikian "lembek"
dan masih menganggap, "Oke, keadaan masih baik-baik saja, jangan khawatir,
sebentar lagi juga akan normal lagi," atau, "Jangan tuduh kami dong, ini kan
perbuatan negara asing untuk menjatuhkan citra Islam,", saya khawatir, keadaan
akan makin terpuruk lagi.

Saya mengkritik keras kecenderungan selama ini yang seolah-olah hendak
menyamakan Islam dengan kelompok-kelompok tertentu. Setiap tuduhan diarahkan ke
Al Qaidah, tokoh-tokoh Islam langsung bersikap negatif dan menganggap hal itu
akan mencemarkan nama Islam secara keseluruhan. Menurut saya, tidak ada
untungnya Islam disamakan dengan organisasi Al Qaidah pimpinan Usamah Bin Laden
itu. Islam jauh lebih besar daripada sekadar satu dua kelompok yang selama ini
berkoar-koar mengatasnamakan diri sebagai "pembela Islam".

Tokoh-tokoh Islam harus mengembangkan diskursus baru yang lebih sehat, yaitu
mengakui tanpa malu-malu bahwa potensi Islam (dan juga agama-agama lain)
diselewengkan sebagai pengesah tindakan terorisme sangat-sangat mungkin.
Kelompok-kelompok keagamaan yang prokekerasan harus dikritik terus-menerus
sehingga kehilangan legitimasinya sebagai "wakil" tunggal umat Islam.

Dalam era kebebasan yang sangat "murah" ini, barang dagangan yang cepat laku di
mata publik adalah agama; barang siapa bisa mengemas "agama" untuk menarik
perhatian publik, dia akan dapat menguasai pendapat umum. Pada dasarnya, semua
agama bisa dan berpotensi untuk "diperdagangkan" sebagai komoditas politik,
sebagai pengesah kekerasan, dan sebagai alat untuk memonopoli kebenaran. 

Pandangan bahwa ledakan di Bali merupakan "rekayasa" negara asing untuk
mengesahkan citra Indonesia sebagai sarang terorisme merupakan pertanda adanya
sikap mental yang, menurut saya, kacau: seolah-olah rakyat Indonesia begitu baik
dan luhur budi pekertinya sehingga tak mungkin berbuat hal-hal yang bodoh. Sikap
mental yang "sok suci" semacam ini tidak akan banyak membantu bahaya kekerasan
yang sudah membayang di langit-langit negara kita. 

Bangsa Indonesia perlu belajar dari bangsa Jerman yang tanpa malu-malu mengakui
bahwa Hitler adalah anak kandung mereka sendiri dan tidak usah enggan untuk
"mengamputasi" gejala-gejala ke arah munculnya kembali hitlerisme. Bangsa
Indonesia tak usah malu untuk mengakui bahwa di bumi Nusantara ini sangatlah
mungkin muncul orang-orang yang  menyalahgunakan agama untuk mengesahkan
kekerasan.
Umat Islam tak usah ragu-ragu untuk mengakui bahwa dari rahimnya bisa muncul
"anak-anak" yang melakukan tindakan terorisme dan mengabaikan nilai-nilai dasar
Islam itu sendiri.

Tak usah kita meneruskan sikap menyalah-nyalahkan orang lain untuk kejahatan
yang  mungkin ada dalam tubuh kita sendiri. Kita perlu melakukan mental switch,
banting setir mental, dan berpikiran yang lebih dewasa: apa yang salah pada diri
kita, pada umat kita; apakah kita telah begitu sucinya sehingga tak mungkin
berbuat salah?

Penulis adalah ketua Lakpesdam-NU, Jakarta