[Nasional-m] Kisruh Badan Hukum Pendidikan vs Yayasan Pendidikan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 26 Oct 2002 22:06:54 +0200


Sinar Harapan
26/10/2002

 Kisruh Badan Hukum Pendidikan vs Yayasan Pendidikan
Oleh Khoe Yao Tung

Kisruh dunia pendidikan kembali berdentang belum lama ini. Perang pernyataan
dan klaim hukum antara Rektor Universitas Trisakti dan Yayasan Trisakti tak
henti-hentinya meramaikan media massa. Kasusnya menjadi menarik untuk
disimak, karena dilatarbelakangi oleh argumentasi hukum dari perspektif yang
berbeda. Argumentasi yang melatarbelakangi klaim hukum keduanya cukup kuat,
mulai dari klaim de-facto mekanisme pemilihan rektor yang sesuai statuta
universitas, dukungan dari sivitas akademika serta konsekuensi status hukum
berikut masing-masing somasi dan tuntutan mewarnai perebutan takhta rektor.
Masing-masing pihak mengaku Rektor Trisakti periode tahun 2002-2006, baik
rektor Prof Dr. Thoby Mutis dengan versi perguruan tinggi berstatus badan
hukum pendidikan yang didirikannya, maupun Yayasan Trisakti yang telah
menunjuk Prof. Dr. Azril Azahari sebagai rektor periode yang sama.

Regulasi Pemerintah
Sebab-sebab tarik menarik hak pengelolaan eksekutif dari universitas
Trisakti antara pihak pengurus yayasan dan pihak operasional universitas,
sebenarnya berpangkal dari tidak jelasnya peraturan pemerintah tentang
status hukum yayasan yang menaungi pendidikan, manakala dimunculkannya
penanding lain selain yayasan. Yaitu, Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang
dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, istilah ini
dimunculkan lagi tanpa ada sebab dan asal usul penjelasan mengenai apa dan
bagaimana, status dari BHP. Sebelumnya istilah BHP ini pertama kali muncul
di Peraturan Pemerintah PP No 61/1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) sebagai badan hukum yang mengatur PTN berbadan hukum milik
negara, yang mengatur kelembagaan dan kewenangan perguruan tinggi (PT).
Termasuk didalamnya konsepsi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan
lembaga tertinggi non-akademik perguruan tinggi yang terdiri dari berbagai
komponen dalam masyarakat. MWA inilah yang menyelenggarakan pemilihan,
pengangkatan dan pemberhentian rektor. Selama ini PP tidak menyangkut
keterangan yang jelas tentang pengelolaan pendidikan baik itu peraturan dan
status badan hukum pendidikan bagi seluruh perguruan tinggi negeri dan
perguruan tinggi swasta.
Kejelasan tentang BHP yang relatif baru harus diklarifikasi oleh pemerintah,
termasuk keharusannya untuk swasta atau negeri tentu saja ruang lingkupnya
harus disesuaikan pada Undang-undang Yayasan yang baru UU No.16 tahun 2001,
termasuk usulan revisi yang diajukan. Kerancuan peraturan dan
perundang-undangan pendidikan selama ini memang kurang jelas peruntukannya,
bahkan cenderung mengeneralisasi masalah dan memberikan penyelesaian umum,
termasuk untuk tingkat prasekolah, sekolah dasar dan sekolah menengah
sekalipun. Secara operasional kerancuan tentang peruntukannya terlihat dari
peraturan tentang manajemen berbasis sekolah berkenaan dengan otonomi
sekolah, generalisasi peraturan seperti Keputusan Mendiknas No.44/U/2002
yaitu tentang dewan sekolah dan komite sekolah, padahal struktur organisasi
sekolah swasta secara internal sangat berbeda dengan sekolah negeri.
Dukungan finansial dan advokasi sekolah swasta dilakukan oleh yayasan, dan
beberapa di antaranya sangat professional sehingga kualitas pendidikannya
tidak diragukan lagi. Beda halnya dengan sekolah negeri, dukungan finansial
selain dilakukan oleh pemerintah dan juga oleh orang tua (stake holder) yang
tergabung dalam BP3 (Badan Pengelola Penunjang Pendidikan), POMG (persatuan
orang tua murid dan guru) atau organisasi sejenisnya.

Hubungan PT dan Yayasan
Sistem pemilihan rektor, secara lengkap terdapat dalam statuta (anggaran
dasar) perguruan tinggi, yang pada umumnya mengatur tentang berbagai ruang
lingkup pimpinan PT, kelembagaan universitas, kelembagaan fakultas, dosen,
dan mahasiswa, termasuk didalamnya mekanisme dan tata cara pemilihan rektor,
periode jabatan, sampai pada tata cara mengisi kekosongan pimpinan PT, bila
rektor meninggal atau mengundurkan diri. Statuta secara rinci mengatur
kelembagaan, hak dan wewenang perguruan tinggi termasuk didalamnya hubungan
kerja yayasan dan rektor, yayasan dengan sumber daya yang ada. Statuta ini
umumnya merupakan modifikasi dan mengacu pada perundangan yang telah
ditetapkan pemerintah dalam PP No.60/1999 yaitu peraturan pemerintah tentang
pendidikan tinggi.
PT swasta yang bernaung di bawah yayasan, secara operasional sering
terjadi ”benturan” dengan yayasan. Dan yang telah menjadi kasus umum adalah
tarik-menarik kepentingan dan kekuasaan (vested interest) antara yayasan dan
PT. Yayasan merasa sebagai pemilik, berhak mencampuri urusan operasional,
sampai pada masalah-masalah pengaturan ruangan, posisi ruangan, proses
seleksi dosen, sementara pihak universitas (PT) merasa yayasan terlalu jauh
mengintervensi pelaksanaan operasional universitas. Sikap yang terlalu
hati-hati terkesan tidak adanya trust yayasan terhadap operasional, apalagi
kalau berurusan dengan proyek, dana dan pengadaan barang tertentu.
Sebaliknya universitas terlalu mencurigai yayasan dalam berbagai hal, karena
tingkah polahnya yang terlalu kuat mendominasi, termasuk hal-hal ”sepele”
yang dapat digolongkan pelanggaran statuta. Hal ini diperparah dengan
komunikasi yang tidak transparan, pelanggaran hak dan wewenang pekerjaan
membuat lingkup dan koridor wewenang semakin tidak jelas. Kondisi inilah
yang menjadi isu utama terjadinya perpecahan serta tarik menarik kekuasaan
antara yayasan dan universitas.
Lain halnya PT swasta, yang didirikan oleh yayasan yang mirip perusahaan
keluarga, termasuk orang-orang operasional yang masih dalam ikatan
kekerabatan keluarga, sehingga PTS yang dikelolanya seolah ”miliknya
 pribadi” atau ”milik kelompoknya”. Masalahnya yayasan dan operasional
menjadi sangat harmonis, sehingga mudah tergoda secara masif dan kompak
menyimpang pada tujuan semula. Yayasan lebih cenderung dan mudah terbuai
pada kepentingan rent seeking and profit oriented yang semata-mata
berorientasi pada bisnis, kepentingan keluarga, kepentingan kerabat,
kepentingan konco-konconya dan kepentingan golongannya, walaupun PT dikelola
secara professional dan berdalih sebagai noble industry (industri mulia).
Itu sebabnya pemerintah merasa perlu mengatur hal ini, termasuk yayasan yang
mengelola pendidikan, dalam UU yayasan yang baru (UU No.16 tahun 2001), agar
akuntabilitas dan mutu pendidikan yang dikelolanya dapat lebih
dipertanggungjawabkan pada masyarakat.

Badan Hukum Pendidikan
Dukungan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), pada pembentukan BHP Trisaksi
seolah memberi kesan restu pemerintah pada proses ”pengambilalihan” hak dan
wewenang pengelolaan yayasan pada universitas di bawah naungannya. Di balik
itu semua seolah pemerintah melalui Dirjen Dikti mulai mensosialisasikan BHP
sebagai institusi pengganti yayasan ”pendidikan” yang berhak dalam
pengelolaan penyelenggaraan pendidikan terutama pendidikan tinggi. Istilah
BHP yang tertuang dalam penjelasan RUU sistem pendidikan nasional yang akan
menggantikan UU Sisdiknas No. 2/89, RUU sisdiknas itu sudah mengalami proses
panjang dan masih dalam proses tarik menarik kepentingan. Dalam RUU pasal
48, 28 Agustus 2002 sisdiknas ini yang dimaksudkan

BHP adalah badan hukum satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat yang mempunyai fungsi untuk
memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
untuk memajukan satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang berbentuk badan
hukum diperuntukkan bagi pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
Dilihat dari RUU yang sedang dibahas, kelahiran BHP sangat pematur,
sedangkan kalau acuannya berdasarkan PP No.61/1999 yaitu, tentang Penetapan
Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum, dasar hukumnya kuat tapi
sasaranya tidak tepat, karena dalam PP tersebut termaktub jelas hanya untuk
empat perguruan tinggi negeri untuk UI, ITB, IPB dan UGM. Bila RUU sisdiknas
telah menjadi UU yang di dalamnya mengandung konsep BHP diluluskan,
konsekuensinya ada dua. Pertama, yaitu setiap penyelenggara pendidikan yang
bernaung di bawah yayasan haruslah menjadi BHP, karena secara eksplisit
dijelaskan dalam Pasal 58 ayat (1), Satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Badan.
Ayat (2), badan hukum pendidikan yang dimaksud ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. Ayat (3). Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
yang dipergunakan untuk memajukan satuan pendidikan. Ayat (4) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Konsekuensi kedua, yayasan tetap
berdiri, tetapi setiap satuan pendidikan, tiap jejang satuan pendidikan, SD,
SLTP, SMU dan PT yang dikelola yayasan dibuatkan badan hukum pendidikan per
satuan pendidikan. Kemungkinan konsekuensi ini akan merepotkan dan
menyibukkan yayasan yang memiliki banyak sekolah. Yayasan akan membuatkan
akta notaris bagi satuan pendidikan untuk membentuk BHP, oleh karenanya
boleh jadi kemungkinan konsekuensi kedua bisa kita abaikan.
Bila kemungkinan konsekuensi pertama yang dimaksud, keberadaan BHP menjadi
lebih kuat, karena keberadaanya penyelenggara satuan pendidikan secara
khusus didukung oleh UU sisdiknas. Sayangnya bahasan hukum yang mengaitkan
hubungan yayasan dan badan hukum pendidikan tidak ada, bahasan BHP pun
hanya ”secuil”, sepotong-potong dan tidak terkait satu sama lain dengan
perangkat hukum lain. Tidak terkait satu instansi dengan instansi lainnya,
apalagi memuat mekanisme perubahan yayasan menjadi BHP. Paradigma hukum
menyangkut Yayasan menurut UU No16/2001 adalah organisasi sosial nirlaba,
dan amat berbeda dengan BHP yang menurut PP No 61/1999 yang dikelola secara
professional seperti layaknya sebuah badan usaha. Kontradiksi menambah dunia
pendidikan kita semakin ruwet, dan carut marut.
Ada baiknya kisruh tarik-menarik kelembagaan Trisakti kita selesaikan dengan
kekeluargaan dan damai menurut peraturan hukum yang berlaku saat ini, tanpa
pernah mengabaikan keberadaan BHP yang sudah terbentuk, tanpa pernah
mengabaikan dukungan sivitas akademika terhadap rektor mereka. Mari kita
selesaikan kasus ini dengan hati nurani yang jenih, yang selalu bercermin
andai kita ada di pihak ”seberang”. Keberadaan BHP masih mengundang tanda
tanya besar, apalagi belum didukung tersedianya perangkat hukum seperti
Undang-undang (masih RUU), peraturan pemerintah apalagi Kepmendiknas. Kita
masih menantikan sikap reaktif pemerintah untuk mengkoordinasikan lembaganya
yang lintas departemen untuk mampu menelurkan keberadaan BHP sebagai
pengganti yayasan pendidikan.
Semoga ”nikmatnya” ingar-bingar kisruh kasus ini tidak melemahkan semangat
para pejuang pendidikan kita. Para pejuang yang hanya dapat berupaya,
berharap dan berdoa. Semoga suatu kelak nanti anak bangsa kita dapat
menjadikan pendidikan sebagai tulang punggung untuk membangun negeri,
membangun kembali harkat dan martabat bangsa yang sudah terkoyak. Semoga
berhasil.

Penulis adalah pemerhati pendidikan