[Nasional-m] Yang Ditunggu Lawan Politik Akbar

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 4 13:53:06 2002


Suara Merdeka
Rabu, 4 September 2002 Analisis Berita

Yang Ditunggu Lawan Politik Akbar

HARI ini nasib Ketua DPP Partai Golkar Akbar Tandjung sebagai terdakwa dalam
kasus dana nonbujeter Bulog atau yang lebih dikenal dengan Buloggate II akan
diputuskan. Berapa tahun vonis hukuman terhadap Ketua DPR itu, akan terjawab
hari ini, atau mukin malahan akan bebas. Itulah yang ditunggu oleh Akbar,
pendukungnya, dan masyarakat.
Sejak awal kasus yang menyangkut dana nonbujeter Rp 40 miliar ini muncul ke
permukaan, sangat kental dengan masalah politik, tak hanya masalah hukum
semata. Setidak-tidaknya bisa dilihat dari kasus sebelumnya, yaitu Buloggate
I yang melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat itu.
Dari kasus dugaan penyelewengan dana Yanatera Bulog Rp 35 miliar, menggiring
Gus Dur ke Sidang Istimewa (SI) MPR 2001. Akhirnya mantan Ketua Umum PBNU
itu dilengserkan meski alasan penggusuran itu bukan kasus Bulog II, tapi
dekrit yang dikeluarkan Gus Dur.
Setelah kasus Bulog I berhenti, muncul kasus yang menyangkut dana nonbujeter
Bulog yang melibatkan Akbar Tandjung, kemudian dikenal dengan sebutan
Buloggate II. Para pendukung Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
"balas dendam" terhadap Partai Golkar.
Dengan berbagai usaha, Fraksi PKB di DPR akhirnya bisa mengangkat masalah
itu dengan mengusulkan membentuk Pansus Bulog II melalui pengumpulan tanda
tangan sejumlah anggota DPR. Pimpinan DPR akhirnya membahas setelah
diagendakan oleh Bamus DPR.
Jalur Hukum
Bersamaan dengan usaha pembentukan Pansus Bulog II di DPR yang dimotori
Fraksi PKB, Akbar Tandjung serta orang-orangnya di DPR melakukan lobi-lobi
politik dengan kekuatan di lembaga tersebut, untuk menggagalkan pembentukan
pansus.
Tak tanggung-tanggung, Akbar melakukan pertemuan dengan suami Presiden
Megawati Soekarnoputri, Taufik Kiemas. Disertai petinggi partai, Taufik
bersedia datang ke kediaman rumah dinas Akbar di Kompleks Widya Candra.
Inti lobi yang dilakukan, menghadapi kasus Bulog II, Akbar lebih memilih
jalur hukum. Banyak yang memprediksi, pertimbangan memilih jalur itu karena
ketimbang harus dedel-duwel diproses secara politis di DPR. Risikonya, kalau
di pansus, seperti Gus Dur, belum tentu salah, sudah divonis terlebih dulu
oleh pernyataan-pernyataan anggota Dewan, baik melalui proses sidang maupun
ke publik.
Melalui berbagai lobi yang dilakukan, akhirnya kasus itu hanya diproses
melalui jalur hukum. Pihak PDI-P dan Presiden Megawati juga menyampaikan
ingin menempuh jalur hukum dalam memberantas KKN sesuai dengan Tap MPR.
Ancang-ancang
Terlepas dari keputusan yang akan dijatuhkan kepada Akbar Tandjung, hari
ini, posisi Akbar memang menjadi incaran. Terutama bagi elite politik
berkaitan dengan rivalitas, baik secara internal partai maupun dari
parta-partai lain yang menjadi pesaing.
Apalagi jika divonis salah dan dijatuhi hukuman. Meski masih harus menunggu
kekuatan hukum tetap karena banding atau kasasi, polemik akan muncul
berkaitan dengan posisinya sebagai ketua DPR dan Ketua DPP Partai Golkar.
Rival politik Akbar jelas akan mempermasalahkan sisi moral jika lembaga itu
dipimpin oleh seorang yang berstatus tahanan. Begitu juga dengan Partai
Golkar, bagi saingan Akbar yang ingin memimpin partai, jelas akan
mempersoalkan dengan alasan demi masa depan partai berlambang pohon beringin
tersebut.
Soal kondisi sekarang di Partai Golkar, salah seorang anggota partai yang
duduk di DPR memberi istilah, sudah banyak yang mengambil ancang-ancang.
Ibarat lomba lari, mereka sudah ambil ancang-ancang sewaktu-waktu peluit
tanda start dibunyikan.
Mereka yang disebut-sebut berpeluang ikut maju adalah tokoh-tokoh yang sudah
punya nama dan berjasa di Partai Golkar. Sebut saja Yusuf Kalla, Fahmi
Idris, Agung Laksono, dan Marzuki Darusman, adalah tokoh yang layak untuk
menggantikan Akbar Tandjung, jika benar-benar nanti dia dijatuhi hukuman.
Kubu-kubuan di DPP Partai Golkar itu sudah mulai mengkristal. Tentu pihak
Akbar Tandjung tidak ikut tinggal diam. Bahkan, sebagian besar pengurus DPD
sudah ngumpul di Jakarta untuk memberi dukungan kepada Akbar, dan menangkal
kemungkinan adanya upaya desakan menggelar musyawarah nasional luar biasa
(MLB) untuk mengganti Akbar.
Meski banyak yang membantah dan kabar usulan MLB itu masih sebatas rumor,
tampaknya bukan isapan jempol. Terbukti, dalam pertemuan dengan DPD yang
dipandegani Wakil Sekjen Bomer Pasaribu, tampaknya sejumlah ketua serta
elite politik Golkar yang memiliki kesibukan lain, tak ikut hadir dalam
pertemuan yang intinya untuk mendukung Akbar.
Kurangi Saingan
Bagi partai lain, khususnya yang memiliki rivalitas dalam pencalonan
Presiden RI pada Pemilu 2004, tampaknya juga melihat ini sebagai kesempatan
untuk mengurangi persaingan. Jika dilepas, memang Akbar bisa-bisa jadi rival
yang kuat untuk memperebutkan kursi presiden.
Presiden Megawati menyatakan, tetap konsisten menegakkan hukum dalam
memberantas KKN. Ketua Umum DPP PDI-P itu menyerahkan persoalan ini pada
proses hukum, dan tidak melakukan intervensi terhadap kekuasaan pengadilan.
Terserah, apakah pengadilan akan memvonis atau membebaskan, itu kewenangan
penuh pihak yudikatif. Itulah posisi Megawati sekarang menjelang sidang
pengadilan terhadap Akbar.
Bahkan, menjelang vonis Akbar, Megawati menutup pintu alias tidak menerima
kunjungan yang bersifat lobi dari pihak Golkar atau orangnya Akbar Tandjung.
Intinya tidak melakukan intervensi, dan mempersilakan masalah ini
diselesaikan secara hukum.
Jika demikian, masalah yang dihadapi Akbar lebih kompleks. Sebab,
sebagaimana prediksi kalangan pengamat, momentum ini akan dijadikan manuver
politik bagi elite Golkar dan elite politik menghadapi pemilu mendatang.
Dari berbagai sudut, posisi Akbar tidak menguntungkan.
Jika diputus bebas kalangan pengamat memprediksi akan muncul reaksi
masyarakat yang selama ini ingin melihat penegakan hukum. Jelas aksi massa
tidak bisa dihindari. Mereka justru melihat kegagalan reformasi di bidang
hukum.
Jika divonis bersalah, pendukung Akbar di DPR serta koalisi yang dibangun
akan beraksi. Tentu targetnya adalah pemerintahan Megawati. Buktinya, Akbar
sudah berani bermanuver dengan menyetujui dibentuk Pansus TKI, menyusul
kasus TKI ilegal dan kepergian Presiden ke luar negeri.
Apakah Akbar akan lolos dari bidikan itu? Secara internal partai, Akbar
mungkin bisa lolos, mengingat posisi dukungan terus mengalir dari
daerah-daerah. Apalagi dia dikenal sebagai politikus yang licin yang bisa
lolos dari berbagai himpitan.
Maklum, pengalaman politiknya sudah matang, bahkan ada kelakar, Akbar itu
ikut ambil bagian jatuhnya empat presiden. Pada masa Presiden Soekarno, dia
aktif sebagai eksponen 66 yang ikut demontrasi menjatuhkan Bung Karno.
Pada masa Soeharto, meski berkali-kali menjadi pembantu Presiden Soeharto,
pada akhir masa jabatannya adalah menteri yang ikut mendorong kejatuhan
penguasa Orde Baru. Pada masa Habibie, dia juga dianggap oleh pendukung
Habibie dari daerah Indonesia Timur sebagai orang yang ikut berperan dalam
penolakan pertanggungjawaban presiden.
Ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, Akbar dan partainya yang berperan aktif
ikut menggulingkan Gus Dur. Wajar jika saking geregetan, dalam dekrit itu
termasuk yang dibubarkan. Jadi, istilahnya sudah "habis" empat presiden.
Dari pengalaman politik itulah, tampaknya PDI-P sebagai partai besar mencoba
mengambil langkah pasif, artinya tidak membantu Akbar dengan melakukan
intervensi seperti yang pernah dilakukan parpol besar itu dalam pembentukan
Pansus Bulog II di DPR.
Diakui oleh orang PDI-P, Akbar telah mengambil manuver dengan menyatakan
setuju dibentuk Pansus TKI. Apakah ini bentuk perlawanan jika sampai pihak
Megawati harus berani melakukan intervensi untuk membebaskan dia. Kita
tunggu hari ini di pengadilan yang akan memutuskan apakah Akbar bersalah
atau tidak. (A. Adib-16t)