[Nasional-m] Perpeloncoan atau Kegiatan Akademik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 4 13:53:07 2002


Suara Merdeka
Rabu, 4 September 2002 Karangan Khas

Perpeloncoan atau Kegiatan Akademik
Oleh: Nugroho

SUDAH sejak lama banyak pihak menilai berbagai bentuk perpeloncoan tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat kampus. Namun, dari tahun ke tahun
bentuk-bentuk perpeloncoan masih saja berlangsung. Dengan proposal yang
lebih rapi mereka ada yang menyebut orientasi pendidikan, orientasi studi
dan pengenalan kampus dan banyak lagi istilah yang digunakan untuk mengemas
kegiatan yang intinya menyambut mahasiswa baru.
Memperhatikan maksud yang terkandung dalam proposal itu rasanya siapa pun
akan setuju untuk dilakukan kegiatan tersebut. Sebab manfaatnya sangat
penting karena diasumsikan akan mampu menjembatani perubahan pola pikir dan
perilaku dari siswa SMU menjadi mahasiswa.
Tapi di balik semua itu terbukti selalu saja ada kepentingan tertentu yang
sejak awal menyelinap dan bahkan bisa membelokkan niat mulia itu.
Selanjutnya mudah ditebak bencana demi bencana serta penderitaan menimpa
para mahasiswa baru.
Hal ini juga yang tampaknya terjadi terhadap Cisilia Puji Rahayu, mahasiswi
Fakultas Peternakan Undip saat mengikuti orientasi kampus yang berlabel
pengenalan kehidupan ilmiah kampus (Pekik). Dari judul kegiatannya tidak
terlintas sedikit pun terjadi kegiatan-kegiatan yang bisa berakibat pada
hilangnya nyawa seorang Cisilia.
Kehidupan Kampus
Kehidupan kampus memang berbeda dari kehidupan masyarakat awam. Dimensi
penting yang menonjol sebagai inti perbedaan itu adalah kehidupan kampus
kental diwarnai iklim ilmiah. Itulah sebabnya kampus sering juga dijuluki
sebagai komunitas ilmiah. Cirinya, terbentuknya sikap kritis, berbicara
berdasar fakta-data, dan menghargai perbedaan pendapat.
Ringkasnya, mahasiswa dikatakan sebagai man of analysis (Daud Jusuf, 1977).
Atas dasar pemikiran tersebut tampak jelas kehidupan kampus berbeda dari
kehidupan siswa semasa SMU. Oleh karenanya mereka yang baru lulus SMU dan
kini menjadi warga kampus perlu diperkenalkan dengan dunia baru yang namanya
kampus.
Harapannya, agar kelak mereka dapat mengikuti berbagai tuntutan kehidupan
kampus utamanya tuntutan tugas perkuliahan sehingga sukses mencapai prestasi
yang baik. Persoalannya bagaimana cara dan strategi pengenalan itu ditempuh.
Juga patut dikritisi seberapa besar manfaat yang diperoleh dari suatu model
pengenalan kehidupan kampus dengan risiko yang akan ditanggung mahasiswa
baru dan nama besar kampusnya.
Penyimpangan dari tujuan mulia itu bisa dilihat dari dua hal. Pertama, apa
yang dikenal dengan arogansi senioritas. Yakni para mahasiswa senior merasa
diri lebih berkuasa dari yunior.
Hal ini sesungguhnya menyalahi kodrat kehidupan kampus yang tidak
mengedepankan senioritas tapi lebih pada sumbangan ilmiah dalam kehidupan
kampus.
Dari arogansi senioritas ini melahirkan perilaku sok kuasa yang tak
terkontrol bahkan oleh pihak lembaga sekali pun, dalam hal ini para pembantu
dekan dan dekan. Maka para senior itu bisa leluasa melakukan berbagai agenda
kegiatan yang sering tidak masuk akal kalau itu dimaksudkan untuk
memperkenalkan kehidupan ilmiah kampus.
Arogansi itu subur menjadi penyaluran perilaku agresi untuk mempertahankan
eksistensinya sebagai mahasiswa senior. Selanjutnya dorongan agresi tersebut
sangat gampang menyulut munculnya tindak destruktif yang oleh Lorent (1927),
dikatakan sebagai kecenderungan merusak dan menikmati kehancuran. Atau
meminjam istilah Eric Fromm (1936) disebut sebagai nekrofilia yakni hasrat
merusak yang hidup dan punya ketertarikan pada segala sesuatu yang rusak
atau bahkan mati.
Pendapat Lorent dan Eric Fromm ini sangat tepat dijadikan acuan dalam
memahami perilaku mahasiswa senior dalam proses perpeloncoan. Mereka sangat
menikmati ketika bisa membentak-bentak yunior yang sesungguhnya tidak salah.
Mereka juga sangat menikmati saat melihat yuniornya cemas, grogi, ketakutan
dan tidak berdaya.
Kedua, kondisi psikologis mahasiswa senior semacam ini apalagi bagi mereka
yang berada dalam kondisi frustrasi dan stres karena masa studinya juga
sudah kedaluwarsa, acara pekan pengenalan kehidupan ilmiah kampus menjadi
kehilangan kredo ilmiahnya. Sebaliknya kegiatan itu berubah arah menjadi
ajang penyaluran agresi, balas dendam masa lalu, dan beragam tindakan
destruktif yang sulit dipertanggungjawabkan.
Kalangan kampus perlu melakukan penelitian untuk mengungkap seberapa besar
sumbangan nyata suksesnya acara sejenis "Pekik" ini bagi keberhasilan studi
mahasiswa.
Di sana nanti akan terungkap apakah ada hubungan yang signifikan antara
mahasiswa yang cakap mencari roti dengan empat rasa, mencari kue moho warna
biru dan sejenisnya dengan pencapaian prestasi belajar? Jelas kita tahu
semua itu tidak ada kaitannya tapi kalangan kampus perlu melihat relevansi
kegiatan semacam itu bagi terselenggaranya iklim kampus yang benar-benar
memenuhi standar budaya akademik yang sehat. Sebab kalau tidak hal semacam
itu tidak bisa dihentikan karena selalu menyisakan dendam tahunan dari
setiap angkatan mahasiswa baru.
Kemandirian
Perbedaan yang paling menonjol antara kehidupan akademis selama SMU dan
kehidupan kampus sesungguhnya terletak pada satu kata kunci yakni
kemandirian dalam belajar. Dari kemandirian ini memunculkan perilaku
proaktif, kritis dan kreatif. Untuk itu sesungguhnya yang dibutuhkan
mahasiswa baru adalah bagaimana menumbuhkan sifat-sifat atau kebiasaan untuk
mandiri, proaktif, kritis dan kreatif dalam setiap proses pembelajaran.
Celakanya hal-hal semacam ini justru diabaikan dalam berbagai acara
pengenalan kampus.
Sebaliknya yang menonjol justru berbagai kegiatan yang coraknya sangat fisik
dan kental diwarnai pola-pola pendidikan militeristik. Sangat paradoksal
jika kita sehari-hari dengar bahwa mahasiswa sangat anti-militer, tapi
nyatanya mereka sendiri tidak bisa melepaskan praktik kehidupan militeristik
terhadap mahasiswa baru.
Bekal utama yang dibutuhkan mahasiswa adalah menyesuaikan kehidupan kampus
untuk mandiri, proaktif, kritis dan kreatif. Mereka ini perlu memiliki apa
yang oleh Zimmerman (1989) disebut self-regulated learning. Zimmerman
mendeskripsikan self-regulated learning sebagai derajat metakognisi,
motivasional, dan perilaku aktif yang ditempuh individu dalam proses
belajar. Di dalamnya terkandung tiga elemen utama yakni strategi pengaturan
diri untuk belajar, persepsi rasa mampu diri untuk menampilkan
keterampilannya, dan komitmen untuk mencapai tujuan belajar.
Idealnya, kegiatan pengenalan kehidupan ilmiah kampus harus menjadi wahana
untuk memfasilitasi para mahasiswa baru agar mereka dapat membangun
self-regulated learning dalam diri masing-masing sehingga bisa menjadi modal
awal meraih sukses belajar di kampus. Belajar dari pengalaman ini, ke depan
penyelenggaraan sejenis perlu dikontrol lebih cermat apa relevansinya dengan
terbentuknya iklim akademik di kampus. Meski harus diakui saat ini
penyelenggaraan kegiatan sejenis sudah jauh lebih ringan dibanding masa
lalu, tapi bukan berarti tidak perlu penyempurnaan. Para pimpinan fakultas
harus bekerja sungguh-sungguh agar tidak terjadi kesalahan yang merugikan
masyarakat dan lembaga perguruan tinggi. Para petinggi fakultas ini dibayar
dengan tunjangan jabatan yang memadai sehingga harusnya mereka memahami
benar apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga jika terjadi hal-hal
seperti kasus di Fakultas Peternakan Undip mereka punya kendali. Kiranya
perlu juga dipikirkan aspek yuridis formal penyelenggaraan kegiatan semacam
ini yang sifatnya bukan sebagai kegiatan wajib, melainkan optional bagi yang
berminat dan berbadan sehat. Itu pun tetap dalam koridor kegiatan akademik
bukan perpeloncoan. Hal itu dilakukan antara lain melakukan seleksi ketat
terhadap calon panitia. Maksudnya agar mereka yang bertanggung jawab dan
menyusun agenda kegiatan ilmiah ini benar-benar mahasiswa senior yang
sehari-hari menggeluti kegiatan ilmiah dalam organisasi kampus. Jangan
sampai panitia itu justru bukan mahasiswa yang memiliki pencapaian akademik,
asing dengan kegiatan ilmiah akibatnya mereka tidak bisa membedakan apakah
yang mereka lakukan terhadap mahasiswa baru itu ilmiah atau tidak. Dalam hal
ini peran dosen pembimbing himpunan mahasiswa atau dosen pendamping prodi
beserta PD III sangat penting. Hal ini penting untuk kita renungkan jangan
sampai setiap tahun kita kehilangan bunga bangsa yang harus mati atau cedera
di medan perpeloncoan. Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk suatu
kegiatan semacam itu.(33)
-Nugroho, Sekretaris Dewan Riset Daerah Jateng dan mantan ketua senat di era
80-an