[Nasional-m] Menyoal Keputusan "Impeachment" DPRD

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Sep 7 00:36:35 2002


KOmpas
Sabtu, 7 September 2002

Menyoal Keputusan "Impeachment" DPRD
Oleh Laode Ida

DINAMIKA politik lokal dalam implementasi otonomi daerah kian terasakan,
sekaligus menunjukkan rentannya kondisi stabilitas daerah akibat manuver
elite politiknya.
Pemecatan Gubernur dan Wakil Gubernur (wagub) Kalimantan Selatan (Kalsel)
Syahril Dahram dan Husin Kasah oleh DPRD setempat merupakan kasus aktual.
Sebelumnya sudah pernah terjadi upaya DPRD Kota Surabaya meng-impeach dua
wali kotanya, meski upaya itu tidak disetujui pemerintah pusat.
Kasus-kasus seperti itu jelas menunjukkan gairah elite lokal untuk berkuasa.
Sementara kendali pemerintah pusat terasa demikian lemah. Soalnya, para
elite itu mencoba menafsirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 secara subyektif, di
mana era otonomi daerah dianggap sebagai peluang untuk menampilkan diri dan
mengekspresikan kekuasaan di daerah, setelah sebelumnya hanya menjadi
penonton di daerahnya di tengah intervensi, kooptasi, dan kendali pemerintah
pusat. Dengan kata lain, sebenarnya era otonomi daerah ini merupakan
kesempatan "balas dendam" para elite di daerah terhadap pemerintah pusat
yang sebelumnya sewenang-wenang.
Namun, kekuasaan di daerah, setidaknya sebagai penyebab munculnya kasus
seperti pemecatan gubernur dan wagub Kalsel itu atau bentuk-bentuk konflik
dan ketegangan horizontal elitis lainnya, tidak lagi terkonsentrasi pada
eksekutif, tetapi justru locus-nya berpindah ke DPRD. Kalangan anggota DPRD
merasa sebagai penguasa politik tunggal di daerah yang mengendalikan
eksekutif. Pada saat yang sama, pemilik atau pengelola uang daerah,
sebagaimana fungsinya, adalah pemerintah daerah (pemda).
Parahnya, sebagian besar (untuk tidak dikatakan semua) anggota DPRD kondisi
sosial ekonominya rentan, sementara mereka mengendalikan pihak yang memiliki
atau mengelola uang (pemda). Maka tidak heran bila perasaan berkuasa
diekspresikan dengan melakukan berbagai tekanan terhadap
gubernur/bupati/wali kota atau jajaran pejabat pemda lain sehingga bisa
memperoleh uang atau bentuk-bentuk kompensasi materi lain bagi kepentingan
pribadi atau kelompok.
***
DALAM kondisi seperti itu, bila pihak pemda bersifat kooperatif dalam arti
memahami kehendak terselubung para anggota DPRD, maka gubernur/bupati/wali
kota akan selamat dari ancaman impeachment. Tetapi, saat itu pula konspirasi
yang menyalahgunakan uang negara/rakyat terjadi, karena untuk saling
menyelamatkan dan memuaskan tiada lain kompensasinya adalah uang.
Proses-proses konspirasi dan penyalahgunaan uang itu sendiri berlangsung
amat tertutup atau tak bisa secara langsung dipantau masyarakat luas.
Sebaliknya, bagi gubernur/wali kota/ bupati yang tak bisa memuaskan atau
memenuhi kepentingan materi anggota DPRD, maka akan selalu dibayang-bayangi
upaya impeachment.
Ada dua alasan yang saling terkait yang digunakan para anggota DPRD untuk
menggoyang posisi gubernur/bupati/wali kota. Pertama, alasan-alasan
administrasi dalam kepemimpinan yang tidak mampu memuaskan anggota DPRD. Ini
biasanya muncul dalam kasus-kasus penolakan terhadap pertanggungjawaban
gubernur/bupati/wali kota di beberapa daerah di Indonesia, termasuk dalam
kasus impeachment terhadap Wali Kota Surabaya. Tetapi, biasanya
gubernur/bupati/wali kota cepat tanggap terhadap tuntutan itu, sehingga
tidak berakhir dengan keputusan untuk mundur, yang sudah pasti kompensasinya
adalah materi. Maka, lagi-lagi, uang negara/rakyatlah yang disalahgunakan.
Kedua, alasan tuntutan masyarakat yang tidak puas dengan kepemimpinan
gubernur/bupati/wali kota. Tuntutan seperti ini memiliki alasan fundamental,
yakni rakyat berhak memilih figur yang dianggap layak, dan sebaliknya berhak
menolak figur yang dianggap tidak layak menjadi pemimpin atau tidak layak
dipertahankan. Kasus di Kalsel mengekspresikan alasan kedua ini, di mana
setelah terjadi gelombang demonstrasi massa menjadikan anggota DPRD merasa
memiliki dukungan untuk segera memecat gubernur dan wagubnya.
Pertanyaannya, apakah massa itu merupakan ekspresi representasi nyata dari
publik suatu wilayah administrasi pemerintah tertentu? Bukankah mereka
merupakan korban rekayasa dari para elite politik dan ekonomi tertentu yang
tidak puas dengan kebijakan gubernur? Di sinilah keraguan utama dalam kasus
pemecatan Gubernur dan Wagub Kalsel.
Kecenderungan seperti itu pasti amat mengabaikan aspek-aspek normatif yang
seharusnya menjadi acuan. Pemerintah pusat melalui Mendagri Hari Sabarno,
misalnya, memberi reaksi penolakan terhadap tindakan DPRD Provinsi Kalsel
seperti halnya dengan tindakan DPRD Kota Surabaya yang terakhir/ kedua.
Alasannya karena putusan kedua DPRD itu (Kalsel dan Kota Surabaya) melanggar
PP No 108/2000. Dalam PP ini DPRD berpeluang dan berhak melengserkan
pimpinan eksekutif, tetapi melalui mekanisme tertentu yang sudah ada.
Pertanyaannya, apakah para anggota DPRD tidak mengetahui berbagai PP sebagai
acuan dalam implementasi UU No 22/ 1999? Atau apakah semua itu tidak
disosialisasikan kepada anggota DPRD atau pejabat dan elemen-elemen
strategis masyarakat lokal sehingga mereka melakukan pelanggaran terhadap
hukum?
Saya kira amat tidak masuk akal bila kedua pertanyaan itu dijawab "ya".
Karena bukan saja dokumen tertulis yang niscaya mereka miliki masing-masing,
tetapi juga segala upaya telah dilakukan untuk menjadikan para elite di
daerah tahu dan paham tentang UU No 22/ 1999 dengan segala PP pendukungnya.
Hanya saja, kesadaran tentang apa yang diketahui itu menjadi terkalahkan
oleh berbagai tafsir subyektif guna kepentingan pribadi dan kelompok seperti
dikemukakan di atas. Apalagi mereka merasa tahu dan lebih dekat dengan
realitas ketimbang pemerintah pusat yang secara paksa dari atas mengeluarkan
berbagai aturan itu dan meminta daerah untuk melakukannya.
***
HAL lain yang menjadikan sebagian elite di daerah membangkang terhadap
pemerintah pusat, adalah berkait dengan standar ganda yang kerap
diberlakukan pemerintah pusat terhadap tindakan penyimpangan yang dilakukan
elite pengambil kebijakan di daerah. Bila pada kasus Kalsel dan Kota
Surabaya yang terakhir, misalnya, pemerintah pusat (baca: Mendagri)
menggunakan dasar legalistik untuk membatalkannya, namun pada kasus lain
seperti dalam kaitan dengan pemilihan Wali Kota Kendari (Sultra)-yang
pelantikan atau proses pengulangan pemilihannya masih terkatung-katung
hingga kini, justru pemerintah pusat (Mendagri dan Presiden) mengabaikan
pemberlakuan PP No 151/2000 tentang proses pemilihan Kepala Daerah.
Akibatnya, tanpa disadari, dalam proses-proses seperti itulah citra
pemerintah pusat semakin buruk di mata publik daerah otonom.
Apa yang ingin dikemukakan di sini adalah perlunya pemerintah memikirkan dua
faktor utama untuk mengendalikannya. Pertama, sistem kontrol masyarakat yang
efektif. Dalam kasus arogansi DPRD dengan berbagai perilaku konspirasinya
dengan pihak eksekutif seperti digambarkan di atas, sebenarnya berawal dari
lemahnya sistem kendali masyarakat atau rakyat yang memperoleh pengakuan
publik atau lembaga-lembaga penegak hukum untuk menindaklanjutinya. DPRD di
mana kini menjadi raja yang seolah-olah menganggap kekuasaannya mutlak,
tidak ada yang mengontrolnya sehingga mereka bertindak seenaknya. Memang
kini sudah ada lembaga-lembaga masyarakat yang independen guna melakukan
pemantauan terhadap DPRD (seperti parliament watch). Tetapi, temuan-temuan
mereka dianggap sebagai sampah atau dibiarkan begitu saja tanpa perlu
ditindaklanjuti para penegak hukum.
Kedua, berkait dengan formula perencanaan dan pengambilan kebijakan.
Stakeholders masyarakat daerah sebenarnya harus dilibatkan dalam proses
perumusan kebijakan. Asumsinya, bila stakeholders dilibatkan dalam mengambil
kebijakan yang akan diberlakukan di daerahnya, maka mereka pasti akan
menjadikannya sebagai acuan bersama. Sebaliknya bila pemerintah pusat,
sebagaimana yang sering terjadi selama ini, hanya menurunkan aturan ke
daerah-daerah otonom tanpa mengonsultasikannya lebih dahulu dengan
masyarakat atau stakeholders di daerah, maka kasusnya seperti yang terjadi
sekarang ini: masyarakat masa bodoh.
Dalam konteks itulah perlu melibatkan stakeholders masyarakat daerah dalam
merumuskan apa dan bagaimana kriteria impeachment bagi pejabat lokal,
termasuk kriteria figur pimpinan dan atau wakil rakyat. Dan tentu saja di
antara eksekutif-legislatif-masyarakat lokal, harus menyepakati standar baku
penilaian kinerja baik pimpinan daerah maupun anggota legislatif.

LAODE IDA Direktur Pusat Studi Pengembangan Kawasan/PSPK, Jakarta
Search :