[Nasional-m] Agresi, Fenomena Masyarakat Atas dan Bawah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 13 11:15:46 2002


Sinar Harapan
12 Sept. 2002

Agresi, Fenomena Masyarakat Atas dan Bawah
Oleh Ayub Sani Ibrahim

Secara terbuka, ini hanyalah sebuah ung-kapan, pada saat memberikan laporan
akhir masa jabatannya, Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
Sutiyoso, menyebutkan bahwa dia betul-betul gagal dalam hal memberi rasa
tenteram bagi warga Jakarta. Secara khusus kegagalan tersebut dijabarkan
dalam upaya-upaya menciptakan rasa aman. Walaupun tidak dikemukakan secara
jelas dan terbuka, namun hal itu muncul dalam kalimat yang diperhalus.
Kalimat yang terinci dalam laporan di depan DPRD DKI hari Kamis, 18 Juli
lalu, menyatakan bahwa dirinya selama lima tahun masa jabatannya
(1997-2002), belum bisa menyelesaikan—bukan gagal dalam memberi rasa
aman—serta ketenteraman dan ketertiban di Jakarta. Keamanan, ketenteraman
dan kekerasan, dalam satu kata yang singkat disebut dengan tindakan
kekerasan yang dimotivasi oleh agresi.
Dengan kata lain, keamanan merupakan nol besar, dan tindakan agresi dalam
berbagai manifestasinya meraksasa dan menggurita, yang menjadi sedemikian
besar. Meledak setiap harinya dalam bentuk perampokan, pembunuhan, pemalakan
dan tindakan kekerasan lainnya.
Ibaratnya, Jakarta telah menjadi hutan belukar bagi rasa tak aman, tak
tenteram dan tak tertib. Malah suatu anekdot yang telah muncul adalah jika
tak ada kekerasan di Ibu Kota, maka nama Jakarta akan kembali menjadi
Betawi.
Kekerasan telah berkembang sedemikian rupa. Dalam masing-masing kasus,
apapun bentuk dan alasannya, kekerasan menimbulkan penderitaan terhadap
orang lain. Kekerasan yang terjadi di Jakarta, tidak hanya terjadi di pusat
kota, pinggir kota, dan di tengah kota, juga terjadi dalam forum dan lembaga
yang sangat terhormat, misalnya dalam sidang-sidang dan pertemuan para tokoh
yang teramat dimuliakan.
Ibarat perang, agresi telah mengelilingi kota Jakarta. Kalau ada kabut atau
asap, maka kabut dan asap itu juga bernama agresi, sehingga tak mungkin
warga Jakarta melarikan diri dari situasi yang sangat menyesakkan ini.
Jakarta telah menjadi kota dengan jargon agresi. Di jalan raya terjadi
agresi, di perempatan jalan terjadi agresi, bahkan dalam sidang dan rapatnya
partai-partai politik, yang terpecah belah tidak karuan, juga terjadi
agresi. Ini semua menunjukkan bahwa yang namanya agresi telah menjadi bagian
hidup warga kota Jakarta.
Agresi dan tindakan kekerasan terbentang luas, antara satu sisi dengan sisi
yang lain, dari suatu tindakan yang dianggap sebagai penyimpangan sampai
pada keadaan anti-sosial. Sikap anti-sosial menjadi merupakan kenyataan
dalam hidup bermasyarakat yang centang-perenang di kota-kota besar yang juga
telah menjalar ke daerah pinggiran.
Anti-sosial adalah sikap yang sama sekali tidak fleksibel, dan setiap sikap
anti-sosial menunjukkan ketidakmampuan untuk beradaptasi. Banyak contoh
sikap yang mirip anti-sosial berkembang dengan maraknya. Di jalan raya,
kemacetan terjadi di mana-mana. Penyebabnya tidak secara keseluruhan
diakibatkan oleh jumlah kendaraan yang tak seimbang dengan panjang jalan,
namun kemacetan yang terjadi lebih dikarenakan motivasi agresi manusianya
yang tidak dapat dikendalikan

Ketidakseimbangan Impuls dan Kontrol
Agresi adalah setiap bentuk keinginan (drive-motivation) yang diarahkan pada
tujuan untuk menyakiti atau melukai seseorang. Sedangkan kekerasan meliputi
tindakan, perkataan, dalam berbagai struktur atau sistem kekerasan yang akan
menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan.
Sebagai akibat dari motivasi agresif yang akan diikuti dengan tindakan
kekerasan, akan membuat korban tindak kekerasan berada dalam kondisi yang
terhalang untuk meraih potensinya secara optimal.
Agresi dan kekerasan pada umumnya akan terjadi bila terdapat
ketidak-seimbangan antara impuls dan kontrol. Huru-hara misalnya, begitu
juga pembajakan, pembunuhan, mogok kerja, dan mogok makan, merupakan
manifestasi kekerasan dalam bentuk yang lain. Yang teramat mengerikan bila
terjadi tindakan kekerasan akibat motivasi agresi massal masyarakat, diikuti
dengan tindakan membakar hidup-hidup penjahat yang tertangkap dan belum
sempat diamankan oleh pihak keamanan.
Seseorang mungkin memiliki pikiran atau fantasi agresi. Namun jika individu
tersebut tidak kehilangan kendali, maka pikiran atau fantasi tersebut tidak
akan menjadi tindakan kekerasan. Tiap kondisi yang menyebabkan peningkatan
impuls agresi di dalam konteks penurunan kendali dapat menghasilkan tindakan
kekerasan.
Konrad Lorenz menyebutkan bahwa agresi yang menyebabkan kerusakan fisik pada
orang lain timbul dari insting berkelahi (fight instinc) yang dimiliki oleh
manusia. Sedangkan enerji yang berhubungan dengan insting secara spontan
dihasilkan tubuh individu bersangkutan, dalam kecepatan yang tidak tetap,
dengan kemungkinan bahwa agresi akan menjadi kenyataan bila terdapat
stimulus baru yang secara sertamerta akan melepaskan agresi
(agresion-releasing stimuli). Agresi yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat luas, berdasarkan teori dari Albert Bandura merupakan bentuk yang
dipelajari dari perilaku sosial.

Mereka mendapatkan respon agresif dan melakukan tindakan kekerasan melalui
pengalaman hidup di masa lalu dan dari situasi lingkungan sosialnya. Dengan
kata lain, tindakan kekerasan dari individu atau dalam bentuk tindakan
massal dapat terhasut oleh lingkungan sosial.
Teori insting untuk berkelahi dan pengalaman hidup sebagai akibat stimuli
lingkungan sosial, kalau disimak dalam kausa (sebab - akibat) dapatlah
ditarik konklusi, bahwa insting berkelahi yang dimiliki oleh manusia,
dikemudian hari akan terpicu dalam bentuk tindakan agresi.
Di Jakarta, juga dikota-kota besar lainnya di Indonesia, dengan telanjang
mata orang dapat menyaksikan pembusukan terhadap kepentingan dan kebutuhan
rakyat banyak yang dilakukan oleh aparat negara (legislatif, eksekutif dan
judikatif). Keadaan ini telah menimbulkan frustrasi pada khalayak ramai.
Determinan agresivitas, yaitu frustrasi sedikit demi sedikit akan
terakumulasi. Frustrasi merupakan determinan satu-satunya yang paling kuat
untuk menyebabkan manusia beragresi.
Suatu hipotesis dari John Dollard menyatakan, bahwa frustrasi akan
menyebabkan agresi dan agresi selalu berakar dari frustrasi. Manusia yang
frustrasi tidak selalu berespons dengan tindakan fisik.
Pikiran, kata-kata dapat pula menjelma dalam perbuatan agresif, ditunjukkan
dalam bentuk reaksi, seperti misalnya pasrah, depresi, putus asa, yang
merupakan upayanya untuk mengatasi sumber frustrasinya. Namun bila kondisi
frustrasinya sedemikian kuat, maka yang namanya pasrah tidak pernah terjadi,
langsung akan terjadi tindakan kekerasan.
Kondisi yang semacam ini terdapat pada banyak anggota masyarakat, terutama
mereka yang telah mengakumulasi berbagai bentuk frustrasi, selalu dan secara
permanen menghadapi berbagai peristiwa yang menimbulkan frustrasi.
Tawuran antarpelajar, bahkan tawuran antarkampung di Jakarta bukan sifat
gagah-gagahan. Pemerintah jarang sekali atau bahkan sama sekali tidak
bersedia untuk menganalisis tawuran yang terjadi baik antarpelajar apalagi
kalau hal itu terjadi antarkampung.
Ataupun kalau kejadian tersebut mendapat perhatian, dijawab dan dijelmakan
dalam bentuk tindakan fisik, misalnya dengan memasang pagar besi yang
membatasi antara kampung yang melakukan tawuran.
Walaupun terjadi pemborosan anggaran belanja dan namun tidak pernah terbukti
bahwa pemasangan pagar pembatas antara dua kawasan yang bermasalah mampu
mencegah terjadinya tindakan kekerasan. Tawuran terus terjadi bahkan dalam
kadar yang lebih dahsyat.
Tindakan kekerasan lebih karena didalangi oleh frustrasi, yang merupakan
akar persoalan. Dalam proses selanjutnya frustrasi demi frustrasi menjadi
semakin marak.
Ditambah lagi dengan pemaparan (atau tanpa pemaparan pun) motivasi agresi
yang diikuti tindakan kekerasan terjadi pada tingkat pemerintahan, yang
diberitakan dalam media cetak dan elekronik. Gambaran adanya motivasi
agresivitas pada para petinggi negara, juga pada kelompok judikatif (hakim
dan jaksa ), anggota Dewan Perwakilan, bahkan anggota Majelis
Permusyarawatan, merupakan sumber dari tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh masyarakat.
Kadar agresivitas yang dipertontonkan oleh petinggi negara bahkan lebih
kasar dan brutal bila dibandingkan dengan motiv agresif dan tindakan
kekerasan yang diperlihatkan oleh masyarakat luas.
Agresivitas yang dilakukan dalam bentuk tindakan menyiksa masyarakat luas
dengan sikap yang semena-mena. Penyiksaaan yang sedemikian ini juga
dilakukan dalam bentuk terselubung yang dibuktikan dalam berbagai benluk
sikap seperti misalnya kebohongan publik, korupsi dan nepotisme serta
politik dagang sapi yang sedemikian parahnya.
Keadaan yang semacam ini menunjukkan bahwa kebrutalan yang dilakukan
pemerintah terhadap masyarakat pada saat ini luar biasa kasarnya
dibandingkan dengan penyiksaan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Reformasi rupanya baru sampai pada tingkat slogan. Para pionir dan pahlawan
reformasi terutama para mahasiswa yang pada waktu itu dengan segala
keberanian mampu merobohkan pemerintahan Orde Baru, pastilah akan sangat
kecewa dengan keadaan pada saat ini.
Dalam kurun waktu selama dan sejak dari awal masa reformasi, yang namanya
elite politik ternyata tidak hanya bertindak agresif terhadap masyarakat
luas, tetapi juga melakukan tindakan agresi terhadap hati nuraninya.

Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan tindakan agresif yang terjadi di dalam masyarakat luas di tingkat
atas dan bawah perlu dilaksanakan dengan segera dan secara arif. Pencegahan
ini harus mempunyai tujuan jelas, yaitu meminimalisir jumlah korban.
Tidak ada yang lebih pas kecuali menerapkan tindakan hukum yang setimpal
bagi mereka yang berperilaku agresif terhadap masyarakat luas. Tindakan
diprioritaskan terhadap tingkat paling atas. Bukan masanya lagi, kata-kata
pemanis atau berbagai jenis pedoman hidup yang berbudi pekerti seperti yang
banyak disampaikan dalam bentuk pidato ataupun sejumlah wejangan guna
meninabobokkan masyarakat terhadap tindakan agresif yang dilakukan
pemerintah terhadap rakyatnya.
Pada saat ini, tindakan agresif dan kekerasan melanda seluruh kelompok
masyarakat di negeri ini. Namun kanibalisme oleh kelompok masyarakat lebih
atas terhadap masyarakat bawah telah dilakukan dengan cara yang sangat
kasar, bahkan dipertontonkan kepada masyarakat dunia.

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti.