[Nasional-m] KAHMI jangan jadi kuda tunggangan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 00:36:07 2002


17/9/2002
SALAM SURYA

KAHMI jangan jadi kuda tunggangan


TAHUN 2002 nampaknya membuat partai maupun ormas terbelah menjadi dua,
seperti ramalan paranormal. Kini ormas yang terancam perpecahan yakni Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). KAHMI yang baru dua tahun
melaksanakan hasil Munas VI di Surabaya pada 15 Juli 2002, kini diterpa
perpecahan dengan digelarnya munas luar biasa (munaslub) di Jogjakarta.
Ormas yang selama ini dikenal adem ayem seolah tersentak dengan manuver yang
dilakukan Fuad Bawazier dan Tamsil Linrung. Kedua tokoh yang aktif di Partai
Amanat Nasional (PAN) ini merasa ingin mengubah suasana di KAHMI.
Setidaknya ada dua pendapat yang mencuat ke permukaan. Dari kubu Ketua
Harian Presidium KAHMI Laode Kamaluddin menyatakan, Munaslub yang digelar
Fuad Bawazier adalah ilegal. Bahkan disinyalir terjadi pemalsuan tanda
tangan atau pencatutan nama dibalik aksi munaslub tersebut.
Sejak awal kubu yang tak menyetujui munaslub itu menyatakan, ambisi Fuad
Bawazier menggelar Munaslub KAHMI untuk merebut kembali posisi Ketua KAHMI.
Mantan menteri keuangan di era Orde Baru ini menyatakan keinginannya untuk
mengubah bentuk kepemimpinan di KAHMI yang berdasarkan kolektif kolegial
menjadi sistem presidensiil, artinya dipimpin seorang ketua umum sampai
habis masa periodisasinya.
Hanya saja ide Fuad Bawazier itu ditentang anggota KAHMI yang mengikuti
munas di Hotel Garden Palace Surabaya. Fuad pun mengalah dan melaksanakan
amanat munas KAHMI, artinya Fuad Bawazier hanya bisa memegang kendali
sebagai Ketua Harian Presidium KAHMI selama enam bulan.
Mungkin karena keinginan Fuad Bawazier yang besar untuk memimpin kembali
KAHMI inilah, digalang Munaslub KAHMI. Tudingan itu meluncur mulus dari
pihak yang anti-Munaslub.
Namun bagaimana dengan Fuad Bawazier? Mantan Dirjen Pajak ini mengaku
prihatin dengan kedekatan KAHMI pada warna kuning. Ada kesan KAHMI hanya
dijadikan kuda tunggangan untuk partai tertentu. Keprihatinan inilah yang
mendorong Fuad Bawazier dan Tamsil Linrung menggelar munaslub.
Harus diakui cukup banyak anggota KAHMI yang memasuki partai, dan urutan
terbesar adalah di Partai Golkar. Meski jumlah anggota KAHMI yang memasuki
partai lain seperti PDIP, PPP, PKB, PAN, PBB juga cukup banyak. Hanya saja,
jumlahnya tidak sebanding dengan anggota KAHMI yang berada di Partai Golkar.
Sebagaimana HMI, KAHMI juga tetap dituntut idenpenden. Refleksi dari
independen itu KAHMI seharusnya tidak diombang-ambing oleh kekuatan
tertentu, atau digiring ke mana maunya para pemimpin presidium KAHMI.
Banyaknya anggota KAHMI yang aktif di Partai Golkar merupakan realitas
politik yang terjadi. Pasalnya, KAHMI tidak akan melakukan pembatasan ruang
gerak pada anggotanya. Anggota KAHMI berhak mengaktulisasikan diri ke mana
mereka suka, di pemerintahan boleh, di partai juga tidak dilarang, menjadi
wiraswasta juga oke, menjadi karyawan swasta juga sah.
Secara garis besar tidak ada larangan anggota KAHMI bila terlalu dekat
dengan partai berwarna kuning. Pelanggaran itu akan terjadi bilamana KAHMI
dijadikan alat untuk menyelamatkan seseorang dari kepentingan partai
tertentu. Apalagi seseorang yang dibela itu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan. Di sini nilai independensinya akan kabur.
Apabila menengok ke belakang, cukup banyaknya anggota KAHMI yang berada di
partai berwarna kuning ini tak terlepas dari warisan Orde Baru. Di zaman
pemerintahan Soeharto ini memang relatif banyak anggota KAHMI yang mewarnai,
baik di legislatif, yudikatif maupun eksekutif.
Seolah ada magnet yang kuat untuk masuk ke Golkar yang saat itu berkuasa.
Namun, bukan berarti tidak ada anggota KAHMI yang berada di partai lain. Di
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga cukup banyak anggota KAHMI yang
berkiprah, apalagi PPP pernah dipimpin kader HMI, Buya Ismail Hasan
Metareum.
Lantas mengapa baru sekarang Fuad Bawazier mempersoalkan? Bila dilihat dari
kacamata politik, bisa jadi Fuad Bawazier memiliki kepentingan besar atas
KAHMI untuk menghadapi Pemilu 2004 mendatang. Coba saja amati bagaimana lobi
dan peran Fuad Bawazier dalam Sidang Umum 2000. Seorang Amien Rais yang
partainya mendapat 34 kursi di DPR bisa menjadi Ketua MPR.
Amien Rais berhasil menyisihkan Matori Abdul Djalil yang waktu itu kabarnya
selain mendapat dukungan dari FKB juga banyak suara datang dari FPDIP. Amien
akhirnya bisa melenggang menjadi Ketua MPR hingga saat ini.
Usul perubahan pola kepemimpinan di KAHMI yang meninggalkan kolektif
kolegial ini perlu diamati secara jeli. Janganlah karena kepentingan sesaat
atau untuk kepentingan partai tertentu, lantas merusak tantanan KAHMI yang
telah lama dijadikan rumah bagi alumni HMI.