[Nasional-m] Bisnis Sesudah Neoliberalism

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 01:24:15 2002


Kompas
Rabu, 18 September 2002

Bisnis Sesudah Neoliberalisme
Oleh B Herry-Priyono

JEFFREY Skilling, mantan CEO (Chief Executive Officer) Enron, adalah sebuah
contoh absurditas malpraktik bisnis dalam dunia yang tunggang-langgang.
Suatu hari, ketika masih menjadi mahasiswa di Harvard Business School, ia
ditanya dalam debat di ruang seminar, apa yang akan Anda lakukan bila
perusahaan Anda memproduksi barang/jasa yang mencelakai konsumen?
Menurut mantan guru besarnya, Skilling menjawab, "Aku akan tetap membuat dan
menjual produk itu. Kerjaku sebagai businessman memaksimalkan laba pemilik
saham. Adalah tugas pemerintah untuk melakukan sesuatu bila produk itu
berbahaya" (The Guardian, 28/7/02).
Tanggal 14 Agustus 2001, Skilling mendadak mundur. Hari-hari berikutnya
sederetan kasus Enron meledak satu per satu. Kemudian Tyco International,
Adelphia, Global Crossing, Xerox, WorldCom, Disney, Imclone, Merck, dan
sebagainya.
Setahun kemudian, genaplah tuturan Skilling. Tanggal 14 Agustus 2002, para
CEO dari 695 perusahaan publik yang punya revenue 1,2 milyar dollar AS per
tahun harus bersumpah tentang kebenaran laporan keuangan mereka. Lalu,
paling lambat 29 Agustus 2002, dengan dasar undang-undang baru
(Sarbanes-Oxley act), para CEO sekitar 14.000 perusahaan publik yang
terdaftar di bursa efek AS (termasuk yang berbasis di luar AS) harus
melakukan sertifikasi neraca pada SEC (Security and Exchange Commission).
Benteng laissez-faire sedang guncang. Pasar bursa menahan prahara, jutaan
warga kehilangan pensiun dan tabungan. Sebuah rezim neoliberal dipaksa
memunguti fakta: korupsi tak hanya terjadi di lembaga negara, tetapi justru
luas pada inti laissez-faire itu sendiri, yaitu "pasar" (market).
Amerika sedang kehilangan kepercayaan kepada para eksekutif dan manajer,
karena mereka tidak lagi bisa membedakan antara penipuan dan kebenaran.
Sebagai cara jitu bagi transaksi ekonomi, moga-moga "pasar" tidak mati.
Justru karena itulah mengapa bulan-bulan ini ia butuh reformasi.
Reformasi
Berbagai sumpah publik di bulan Agustus itu hanya langkah pertama dari
sederet reformasi yang akan dibuat. Sasarannya adalah kualitas disclosure
kondisi nyata neraca tiap perusahaan. Pokok ini menjadi masalah besar justru
karena semua skandal yang terjadi menyangkut manipulasi pembukuan.
Dennis Kozlowski, mantan CEO Tyco (konglomerasi yang punya bisnis dari popok
bayi sampai kabel serat optik ba-wah laut), adalah contohnya. Sebelum mundur
(2 Juni 2002), ia CEO yang paling dipuja Wall Street sebagai mahaguru
manajemen. Hanya sesudah investigasi tentang laporan pajak, utang, dan
mark-up laba yang dipakai untuk mengungkit harga saham, ditemukan lebih dari
135 juta dollar AS uang Tyco lama mengalir ke rekening Kozlowski dalam rupa
penghapusan utang, real estate, dana amal, dan berbagai pengeluaran pribadi.
Yang terbesar adalah 25 juta dollar AS utang Kozlowski yang secara diam-diam
dihapus Tyco di tahun 1999 (AWSJ, 8/8/02). Tentu saja, semua itu melibatkan
praktik "memasak buku" yang dilakukan staf manajerial keuangan Tyco.
Pola yang mirip, ditemukan luas pada berbagai skandal perusahaan lain, tentu
dengan kasus lain juga, seperti penggelapan pajak, mark-up laba, penipuan
sekuritas, dan insider trading. Semua dilakukan dengan tingkat kecanggihan
tinggi, bahkan dalam batasan hukum yang ada.
Dibanding kasus-kasus itu, skandal PT QSAR (Qurnia Subur Alam Raya) dan
berbagai skandal bisnis lain yang sedang terjadi di Indonesia (misal BLBI
dan PKPS) merupakan jenis skandal yang kelewat vulgar. Bila kasus yang
vulgar pun lolos, akarnya tentu bisa kita temukan pada "sirkularitas
ayam-telur" antara penegakan hukum yang lemah dan kekuasaan finansial bisnis
yang sedemikian besar untuk membeli jajaran aparat hukum. Soal governance
memang bukan sekadar soal tata-kelola pemerintah.
Reformasi bisnis yang sedang berlangsung di AS akan menyangkut banyak pokok.
Dalam regulasi baru, misalnya, mayoritas direktur dalam dewan komisaris
perusahaan harus orang-orang independen nonperusahaan. Lalu, hanya para
direktur independen yang bisa duduk dalam komite audit perusahaan itu.
Begitu juga semua anggota komite yang memilih para CEO dan menentukan gaji
mereka haruslah orang-orang independen.
Dengan itu, yang akan terjadi bukan lagi hanya pemisahan pemilikan (legal
ownership) dan manajemen (managerial control), seperti yang selama ini
dipraktikkan. Reformasi regulasi itu akan melahirkan satu lapisan pengontrol
kinerja manajemen keuangan, personalia, dan penggajian perusahaan.
Selain itu, stock options (saham bagi eksekutif-manajer) mesti disetujui
rapat pemegang saham. Perusahaan dilarang memberi subsidi pada utang para
eksekutif-manajer. Kepada otoritas pemerintah, para CEO harus melaporkan
penjualan saham dalam waktu yang ditentukan.
Presiden Bush Jr, misalnya, sampai kini masih dalam proses penyelidikan atas
penjualan saham Harken (perusahaan energi) yang dilakukan tahun 1990, dan
tidak dilaporkan. Bush Jr menyangkal kesalahan.
Masih banyak detail lain yang menjadi pokok reformasi regulasi. Yang
menarik, regulasi-regulasi itu juga diberlakukan pada semua perusahaan
"asing" yang terdaftar di pasar bursa AS, perusahaan AS di luar AS, dan
perusahaan akuntansi serta audit non-AS. Berbagai langkah regulasi itu
bagaikan pil pahit yang mesti ditelan untuk memperbaiki kinerja bisnis yang
sedang digulung krisis.
Namun, justru karena pokok-pokok reformasi itu menyangkut langkah-langkah
mendasar, perubahan akan berlangsung alot. Seperti ditunjuk The Economist
(17/8/02), karena kecanggihan eksekutif-manajer, "amat jarang kejahatan
kerah putih berakhir di penjara, apalagi hukuman yang lama. Selain itu,
dalam rangka perburuan laba, para investor juga yang mendorong para
eksekutif memasak buku..."
Reformasi yang mulai di AS itu rupanya akan berimplikasi luas pada etos dan
kinerja bisnis di berbagai kawasan, karena hampir setiap perusahaan
berambisi untuk memasang diri di pasar bursa AS. Kepada perusahaan-
perusahaan AS, Paul O'Neill, Sekretaris Keuangan AS, mencanangkan etos
kejujuran bisnis sebagai "patriotisme baru" (the new patriotism).
Patria
"Patriotisme" berasal dari kata Latin patria (tanah air). Barangkali
kampanye patriotisme hanya sebentuk retorika. Namun, seandainya hanya
retorika, ada perkara menarik yang terlibat di dalamnya. Intinya, kinerja
ekonomi yang terlepas dari proses survival (hidup-mati) begitu banyak warga
sebuah komunitas politik rupanya tidak akan bertahan lama. Maksudnya?
Ekonomi-politik klasik melihat, proses produksi barang/ jasa bergantung pada
kaitan yang tak terpisah antara tiga faktor: tanah (land), tenaga-kerja
(labour), dan modal (money/capital). Apa yang terjadi dalam globalisasi
finansial adalah dilepasnya uang dari kaitannya dengan tanah dan tenaga
kerja.
Sebagai aksis spasial, tanah tentu tidak punya mobilitas. Tentang tenaga
kerja, kita hanya butuh membaca koran hari-hari ini untuk mengerti regulasi
ketat yang diberlakukan pada mereka. Tragedi TKI di Nunukan adalah hasil
langsung dari regulasi Pemerintah Malaysia terhadap tenaga kerja.
Dalam metafor, dilepasnya uang/modal dari kaitannya dengan tenaga kerja dan
tanah (patria) itu bagai dilepasnya macan dari kerangkeng. Ia tampak
alamiah, kekar, kuat, dan perkasa, karena dapat memangsa apa saja.
Demikian pula, lepasnya uang/modal dari kaitannya dengan proses survival
tenaga-kerja (warga komunitas) dan tanah (patria) de facto merupakan
ekspansi kekuasaan modal finansial yang begitu besar. Itulah mengapa "tenaga
kerja" (labour) dan "tanah air" (patria) akhirnya menjadi bulan-bulanan
mobilitas dan kekuasaan modal finansial.
Ada beberapa cara bagaimana neoliberalisme dimengerti. Pada hemat saya,
salah satunya menunjuk pada gejala dilepasnya kinerja "uang" dari kinerja
"tenaga kerja" dan "tanah". Dengan kata lain, uang/ modal beroperasi tanpa
patria. "Tanpa patria" berarti kinerja uang/modal makin tidak terkait proses
survival warga suatu komunitas politik dan kultural. Apakah para buruh kena
PHK atau mati, dan apakah tanah makin digenggam beberapa orang saja, tidak
lagi menjadi urusan modal dan para pemiliknya.
Ada cara lain untuk memahami gejala itu. Hidup masyarakat modern yang sehat
dibangun di atas kaitan-perimbangan tiga poros kekuatan: sektor bisnis,
badan publik (pemerintah), dan komunitas.
Apa yang berlangsung selama dua-tiga dasawarsa terakhir adalah lepasnya
kinerja sektor bisnis dari kaitannya dengan poros "komunitas" dan "badan
publik". Dengan itu, terjadilah dominasi sektor bisnis atas dua poros lain.
Hasilnya adalah sederetan skandal di jantung laissez-faire itu sendiri.
Tahun 1944, seorang pemikir ekonomi Hungaria, Karl Polanyi, mengajukan
peringatan dalam buku yang kemudian menjadi klasik, The Great
Transformation. Pasar (market) hanya akan menjadi cara jitu bagi kegiatan
ekonomi jika, dan hanya jika, ia tidak dilepaskan dari kaitan
konstitutif-nya (embedded) dengan gugus institusi lain yang menyangga hidup
bersama, termasuk tenaga kerja dan patria.
Dari pelacakan sejarah, Polanyi menemukan pola berikut. Setiap kali kita
mencoba melepaskan kinerja pasar (disembedding) dari kaitannya dengan gugus
institusi-institusi lain penyangga hidup bersama, setiap kali pula terjadi
apa yang disebut double movement. Maksudnya, tiap kali laissez-faire
melakukan ekspansi dan kolonisasi atas makin banyak bidang kehidupan
(dis-embedding), tiap kali pula muncul gerakan luas untuk mengembalikan
kinerja pasar (re-embedding) ke mozaik tata-kelembagaan yang menyangga hidup
bersama.
Rentetan deregulasi sejak awal dekade 1980, boom finansial, perluasan
ekonomi maya (dotcom), krisis ekonomi 1997, rontoknya harga saham, kritik
pada globalisasi, deretan skandal bisnis, dan akhirnya reformasi regulasi
bulan-bulan ini, rupanya merupakan contoh double movement itu.
Mungkin tidak disengaja, namun reformasi regulasi yang sedang dilancarkan
"badan publik" di AS itu merupakan langkah kecil untuk mengembalikan kaitan
kinerja "bisnis" dengan proses survival "komunitas" (warga AS). Reformasi
itu juga kritik terhadap neo-liberalisme yang dilancarkan rezim neoliberal
sendiri.
Kinerja ekonomi tanpa kaitan proses survival warga dalam suatu lokasi memang
sebuah ilusi. Cuma, apakah reformasi itu akan berlanjut? Mungkin bisa
dibayangkan adegan imajiner berikut.
Pasar bursa Wall Street dilanda krisis, jutaan warga kehilangan dana pensiun
dan tabungan. Presiden Bush Jr mengirim jet-jet pemburu, sebab dia mengira
jaringan Osama bin Laden atau Saddam Hussein sedang mengacau AS. Namun, para
penasihatnya segera memberitahu Bush, para pelaku ada di Wall Street, dan
mengebom New York hanya akan membawa petaka. Maka, duduklah Bush bersama
para penasihatnya yang sabar menerangkan bagaimana korupsi dalam bisnis
modern terjadi. Akhirnya mereka bilang: "Tuan Presiden, itulah mengapa
bermilyar dollar sekarang telah lenyap".
"Aku tahu. Apa tadi ada yang lihat mobil perampok meloloskan diri?", tanya
Bush. Seorang penasihatnya menjawab dengan takut: "No, Sir, uang sebanyak
itu tidak dicuri, tetapi lenyap melalui penipuan...." Belum selesai dijawab,
sang Presiden mengejar: "Jadi, uang-uang itu adalah uang palsu yang harus
segera kita buru?" Para penasihatnya hanya bisa saling pandang dengan senyum
kecut.
Di situlah ironinya. Ekonomi komando pasti bukan jalan bagi masyarakat
modern. Celakanya, mereka yang paling fanatik dengan laissez-faire rupanya
yang paling tidak tahu dampak ekonomi laissez-faire.
B HERRY-PRIYONO Peneliti, alumnus London School of Economics (LSE), Inggris
Search :










Berita Lainnya :
•Bisnis Sesudah Neoliberalisme
•KARIKATUR
•Menggulirkan Dewan Buku Nasional
•POJOK
•REDAKSI YTH
•TAJUK RENCANA